Chereads / One Perfect Mistake / Chapter 20 - Trik Licik

Chapter 20 - Trik Licik

Lucy mulai berjalan ke arah meja kerjaku yang besar dan terbuat dari kayu. Gerakannya luwes dan penuh perhitungan seperti kucing hendak menangkap mangsanya.

Dia membungkuk dan menumpukan kedua tangannya ke atas meja dan membiarkan dadanya terpapar jelas karena posisi tubuhnya.

Dari dekat kulihat riasannya sempurna. Alisnya yang tebal dirapikan dengan sempurna. Matanya yang seperti kucing berwarna hijau dengan lipatan mata yang dirias tebal. Ada warna coklat kehitaman pada kelopak matanya. Hidungnya sangat mancung dengan tulang pipi tinggi. Bibirnya tipis dilapisi lipstik ungu hampir hitam.

Dari jarak yang amat dekat, aku bisa mencium bau parfumnya yang seperti sampanye. Penampilan Lucy saat ini mirip model pada halaman depan majalah playboy. Posenya luar biasa menggoda.

Aku tetap diam duduk di kursiku dan tersenyum sinis, berharap Lucy tidak melanjutkan permainannya dan keluar dari kamarku.

Ternyata Lucy berjalan menuju kursi aku duduk hanya dengan mengenakan bra dan celana dalam. Dia menaruh kedua tangannya di bahuku dan menyodorkan buah dadanya.

"Lucy, hubungan kita sudah berakhir," aku melepaskan tangannya lalu bangkit berdiri.

"Hubungan kita bisa berakhir di kertas James. Tapi kita masih bisa bermain bersama kan?" Dia tersenyum sambil mengelus perutku.

"Tidak Lucy. Aku menunggumu menandatangani berkas-berkas itu dan secepatnya mengakhiri pernikahan ini." Aku menyingkirkan tangannya yang memegang sabukku.

Kulihat mata Lucy mulai berkilat marah, "bajingan sombong."

"Terserah apa katamu. Keputusanku sudah bulat. Dulu kau menginginkan kebebasan. Sekarang aku akan melepasmu."

Lucy marah dan mengepalkan tangannya lalu memukulku secara membabi buta. Aku menahan kedua tangannya dan menariknya menuju pintu.

Tapi dia meronta sambil terus berusaha memukulku, "kau tidak akan bisa mencampakkanku James. Akulah yang akan membuangmu saat aku tidak membutuhkanmu. Tapi hari ini aku masih belum akan melepasmu!"

Aku terus mendorongnya terus hingga sampai keluar kamar. Lalu menutup pintu kamarku dan menguncinya.

Lucy masih terus memukul tapi kali ini sasarannya adalah pintu kamarku. Aku berharap dia akan berhenti kalau tangannya sudah mulai sakit. Pintu kamarku terbuat dari kayu jati tua yang keras. Mungkin tidak lama lagi Lucy akan menyerah.

Tebakanku ternyata benar. Lima menit setelah Lucy memukul, menggedor dan menendang pintu kamarku, akhirnya dia menyerah. Dia pasti sudah menyerah sekarang.

Aku mematikan lampu dan kemudian bersiap untuk tidur.

***

Paginya sinar matahari menerobos masuk ke arah kamarku. Aku menyalakan ponselku dan mengirimkan pesan singkat pada Anne. Aku tersenyum. Aku tidak tahu kalau jatuh cinta bisa membuat seseorang sebahagia ini.

Hari ini kita bisa mengirimkan pesan singkat setiap waktu pada orang yang kita inginkan. Semuanya terasa begitu mudah dan instan.

Aku bersiap-siap lalu turun ke arah meja makan. Lucy dan Mike telah duduk di meja makan. Bukan pemandangan yang lazim kulihat.

Pagi ini Lucy berbincang-bincang dengan santai dengan Mike. Waktu melihat aku datang, mereka melihatku dan tersenyum dan aku hanya membalas senyum Mike. Permainan macam apa lagi yang diinginkan Lucy hari ini?

Mike tampak sangat bahagia hari ini. Dia sedang bercerita pada Lucy tentang kampusnya tempat dia mendaftarkan diri. Mike sudah memutuskan akan tinggal di asrama kampusnya dan pulang ke rumah pada saat libur panjang.

Mike terlihat sangat antusias dan menikmati perhatian yang diberikan Lucy. Hatiku mencelos melihat kepolosan seorang anak yang merindukan ibunya.

Lucy juga tertawa dan mendengarkan Mike penuh seksama. Hari ini dia tampak seperti businesswoman dengan gaun hitam ketat selutut dipadu blazer putih yang dijahit seksama pas di badannya. Seuntai kalung mutiara tergantung di lehernya dan rambutnya dijepit di kedua sisinya. Dengan penampilan seperti ini, Lucy tampak seperti manusia normal tanpa kelainan.

Namun karena aku tahu kelainan yang dimilikinya, maka aku tidak mudah percaya akan penampilannya hari ini.

"Kopi James?" Tanya Lucy.

Aku menyodorkan cangkirku menerima tawaran Lucy. Aku mengambil beberapa potong roti dan memutuskan untuk ikut mendengarkan Mike berbicara.

"Aku memberitahu ibu kalau sudah mendaftarkan diri di Southern College. Mungkin bulan depan aku akan berangkat ke sana."

"Tanggal berapa kuliahmu akan dimulai?" Tanyaku.

"Tanggal dua belas juli. Tapi mungkin sekitar tanggal lima, aku sudah akan berangkat kesana ayah. Karena aku akan butuh waktu untuk menata kamarku sebelum kuliah dimulai."

"Baik Mike, nanti ayah akan mengantarmu kesana."

"Sungguh? Ayah bisa mengantarku kesana?"

"Tentu saja. Kenapa tidak? Tanggal lima bulan Juli ya. Ayah akan mengosongkan jadwal ayah di kantor hari itu."

"Ibu juga akan ikut mengantarmu Mike." Lucy ikut menjawab.

"Yess!! Terus terang aku agak kuatir juga. Kalau-kalau mungkin ada sesuatu yang perlu kubawa atau kubeli." Mike tampak senang kami berdua mengantarnya ke asramanya.

Dari sejak Mike masuk taman bermain, sekolah dasar dan sekolah menengah. Tidak pernah sekalipun Lucy menemaninya. Bahkan pengambilan hasil studi pun biasanya menjadi tugasku. Dan kalau aku berhalangan biasanya sekertarisku yang akan menggantikanku.

Dan Lucy hendak mengantarkannya ke asrama? Lelucon apa ini.

Lucy pasti sedang merencanakan sesuatu. Aku akan mencari tahu tapi tidak sekarang, saat ada Mike.

"Kemarin aku ke sana dan melihat-lihat sekilas. Bangunannya besar dan banyak sekali muridnya. Ada beberapa teman yang kukenal yang kuliah di sana juga. Aku tidak sabar ingin segera mulai masuk"

Mike melahap pancake nya dengan rakus sambil terus bercerita. Aku sangat senang dengan nafsu makannya yang kembali normal. Mike perlu paling tidak menambah lima belas kilo untuk tampil normal seperti remaja seumurannya.

"Apakah kamu perlu membawa mobil di sana Mike? Tanyaku.

"Hmmm… Asramaku dekat sih dengan kampusku, tapi mungkin kalau waktu weekend, aku akan membutuhkan mobil." Mike tampak seperti mempertimbangkan sesuatu.

"Bawa saja mobilmu Mike, supaya nanti kalau kamu perlu pergi ke suatu tempat, kamu tidak kerepotan mencari transportasi." Aku menyarankannya demikian. Bagaimanapun juga Mike sudah punya izin untuk mengemudi. Dia butuh banyak latihan supaya lebih mandiri.

Anak-anak seumurannya sudah banyak yang menyetir sendiri sejak belum berumur tujuh belas tahun. Sedangkan Mike baru mulai belajar mengemudi tahun ini. Game online benar-benar membuatnya terisolir dari keinginan bersosialisasi.

Di saat teman-temannya pergi ke mall dan cafe, Mike sibuk bermain dengan teman main gamenya di dunia maya yang tidak pernah ditemuinya langsung.

Di saat teman-temannya menonton di bioskop ramai-ramai, Mike memilih duduk di kamarnya menggunakan headset.

Aku benar-benar bersyukur atas perubahan Mike dalam waktu singkat ini. Dan aku berharap Lucy tidak mengacaukan segalanya dengan permainan jahatnya.

"Baiklah kalau begitu ayah. Aku akan berangkat duluan pagi ini" Katanya sambil nyengir.

Mike benar-benar fotokopiku. Tinggi kami sama dan bahkan warna rambut kami sama-sama coklat dan warna mata kami pun sama-sama hijau. Hanya saja perawakan Mike lebih kecil.

Tuhan sepertinya tidak membiarkan sedikit pun gen Lucy menurun pada Mike karena dia tidak pernah mencintai anaknya seperti dia mencintai dirinya sendiri.

"Hati-hati Mike! Nanti kirim pesan ke ayah ya."

Aku melanjutkan sarapanku dalam hening. Aku mendengar langkah kaki Mike menjauhi pintu masuk utama.

"Apa maksudmu Lucy? Sejak kapan kamu tertarik dengan kehidupan anakmu?"

"Tentu saja aku tertarik James."

"Biasanya pagi begini kamu sibuk dengan pelatih yoga."

"Hari ini dia datang sore karena pagi ini aku ada meeting di kantor. Kupikir tidak ada salahnya mendengarkan anakku bercerita sebentar."

"Jangan pernah berpikir kamu bisa mengambil Mike dariku. Anak itu milikku. Kamu tidak pernah menginginkan anak itu"

"Relax James. Aku tidak akan merebut Mike..." Katanya lalu menaruh gelas kopinya dan menatapku tajam, "... tapi kalau Mike memilihku makan kamu juga tidak bisa apa-apa."

"Lucy!! Kau tidak akan bisa!!"

"Jangan pernah menolakku James sayang. Semua keputusan ada di tanganku."

"Apa yang kamu mau?"

"Aku sudah mengatakan kepadamu kan."

"Kamu keterlaluan. Itu bukanlah angka yang realistis. Aku harus menjual semua aset untuk mendapatkan angka itu. Lalu bagaimana nasib pegawai kami?"

"Itu bukan urusanku James."

"Baiklah kalau kamu memang memaksa Lucy. Kita akan bertemu di pengadilan!" Aku melempar serbet dan meninggalkan Lucy di meja makan.