Chereads / One Perfect Mistake / Chapter 24 - Shock

Chapter 24 - Shock

Setelah kejadian tadi agak sulit bagiku untuk bertindak seolah-olah tidak ada apapun. Hal tersebut terasa begitu hebat mengoyak ku karena nilai uang yang terkandung di dalamnya pun cukup fantastis. Dan semua itu adalah hasil jerih payah orang lain. Mungkin kalau itu adalah uangku sendiri maka aku tidak akan semenyesal ini.

Aku dan Mike berkendara menuju pusat perbelanjaan. Mike yang menyetir di sebelahku bersikap sangat diam seolah-olah tidak ingin menyenggolku sedikitpun. Hanya ada alunan musik pelan di dalam mobil.

Dia menggunakan T-shirt biru tua dan jeans belel serta jaket bomber berwarna hijau. Kulihat warna kulitnya agak pucat. Jalan-jalan sebentar akan membuatnya lebih segar.

Hari ini kami akan membeli beberapa perabotan atau barang-barang lain yang akan dibawa Mike saat tinggal di asramanya. Hal-hal seperti ini biasanya dilakukan anak-anak dengan ibunya tapi karena ibunya tidak berfungsi sejak dia masih bayi, maka aku yang menggantikannya. Aku tidak keberatan karena hari ini juga aku tidak perlu ke kantor. Hanya ada sedikit rasa kasihan.

Walaupun keputusan Mike membuatku marah tapi aku menikmati perjalanan kami hari ini. Pelan-pelan suasana hatiku membaik. Saat aku melihat Mike juga sangat bersemangat, mau tidak mau kemarahanku mereda. Mike yang terlalu polos hanya menjadi pion-pion catur ibunya. Ini bukan murni kesalahannya. Mike tidak tahu ibunya tidak memiliki empati terhadap siapapun karena kelainannya.

Aku mengantar Mike memilih barang-barang keperluannya. Sesekali memberi pendapat namun aku membiarkan dia yang memilih.

Hari sudah menjelang siang saat kami selesai. Begitulah bila pria yang pergi berbelanja. Kami hanya membutuhkan waktu singkat. Saat kami berjalan bersama, aku merasa seperti sedang berjalan dengan adikku karena tingginya yang sama denganku. Rasa sayangku tiba-tiba muncul karena membayangkan betapa dia sudah tumbuh besar sekarang. Darah dagingku.

Kami makan siang di restoran cepat saji di dalam mall dan kulihat nafsu makannya mulai bagus. Kuharap hidup mandiri di asrama akan membawa pengaruh baik kepadanya.

Saat perjalanan pulang, Mike sudah lebih rileks. Dia bicara tentang teman-temannya dan kondisi universitas yang akan dimasukinya bulan depan. Aku menanggapinya dengan berbagai pesan ringan karena aku tahu dia akan bertemu banyak hal nantinya.

"Hati-hati Mike jangan sampai kamu tertangkap basah memasukkan seorang perempuan ke dalam asrama."

"Ah ayah… tidak mungkinlah… aku bahkan belum punya pacar." Katanya malu-malu.

"Yah untuk sekarang. Dan kalau kamu menemukan seorang gadis, berhati-hatilah saat berhubungan. Kamu paham maksud ayah kan?"

"Well yeaah tentu saja…"

"Jangan terlibat dalam obat-obatan Mike. Itu hanya akan menyulitkan hidupmu. Tidak ada satu hal baik pun karena obat-obatan." Lanjutku.

"Baiklaaaah ayah… aku paham. Tenang saja okay. Aku akan menjadi anak yang baik." Katanya sambil tertawa.

Aku juga mulai tertawa. Aku tahu menasehati anak seumurannya tidak mudah. Dia seringkali sudah tahu hal-hal tersebut dan ceramah yang panjang tidak relevan. Tapi tetap saja aku harus mengingatkan lagi. Itulah tugas orang tua. Selalu mengingatkan.

Aku berpikir kalau ayah dulu dengan caranya sendiri telah melindungiku agar tetap berjalan lurus dan tidak terlibat masalah. Aku dulu merasa begitu tertekan karena aturan-aturannya. Tapi sekarang setelah aku memiliki seorang anak, akhirnya aku memahami perasaannya dulu.

Sesampainya dirumah aku mendapati ada beberapa koper tertata rapi di ruang keluarga. Dari model dan warnanya aku memutuskan itu koper Lucy.

Saat aku naik ke lantai dua, aku bertemu Lucy di depan pintu kamarnya. Dia mengenakan gaun terusan panjang selutut berwarna hijau tua dan jaket berwarna lebih muda. Rambutnya diikat ke atas dan ada sepasang anting berlian menggantung di telinganya.

"Hai James." Mukanya terlihat datar seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi.

"Lucy… tolong pertimbangkan kembali keputusanmu." Aku langsung mengucapkan hal itu sesampainya di depan Lucy karena tidak tahan.

"James, kukira pembicaraan kita sudah selesai tadi. Aku harus berangkat ke bandara." Katanya sambil melirik arloji di pergelangan tangannya. Make upnya hari ini yang tajam membingkai matanya dengan tegas. Aku tidak lagi terpesona akan matanya yang hijau.

"Lucy…" aku mencoba lagi.

Tapi Lucy sudah berjalan meninggalkanku dan menuruni tangga.

Aku menengadah dan menarik nafas panjang. Tampaknya hal ini benar-benar sudah final. Kecuali bila Lucy mendadak waras dan mengembalikan semuanya secara sukarela.

****

Senin pagi aku sedang berada di dalam kantor bersama dengan Bob, akuntanku. Kami sedang menimbang-nimbang masalah apa yang mungkin terjadi karena pelimpahan aset Mike kepada Lucy.

"Kamu tahu James. Kita bisa mengambilnya kembali. Kalau kita mengajukan keberatan atas hal tersebut karena kondisi Mike…"

"Jangan. Aku tidak ingin Mike terlibat dalam masalah ini. Bulan depan dia akan mulai kuliah. Aku tidak ingin dia terpengaruh."

"Tapi yang kita bicarakan disini adalah puluhan juta dolar James!!"

"Yah itu benar. Tapi aku masih memiliki cukup untuk saat ini."

"Aku tidak bisa mempercayai hal ini." Bob terlihat sangat terpukul karena kabar tersebut. Rambutnya kacau dan dasinya miring setelah mendengar berita tersebut. Bob merasa sangat frustasi hingga menggaruk-garuk kepala, leher dan tangannya.

"Aku juga."

"Apa yang bisa kulakukan…" tanyanya lebih kepada dirinya sendiri sambil menggaruk kepalanya.

"Kumohon jangan sampai ayahku mengetahui hal ini Bob. Semua ini akan menghancurkan hatinya."

"Kau bisa mempercayaiku James. Aku paham maksudmu untuk tidak memperkarakan hal ini tapi…," Bob mengucapkan sumpah serapah.

"Efek negatifnya lebih besar daripada efek positifnya Bob. Bahkan kalau kita berhasil. Semuanya akan terluka."

"Huh dasar wanita jahanam. Licik. Aku tidak paham bagaimana kamu masih bisa setenang itu James, padahal semua yang kita bicarakan adalah milikmu." Bob kembali mengucapkan sumpah serapah.

"Aku tidak punya banyak pilihan Bob untuk saat ini. Yang terpenting aku bisa segera bercerai darinya." Aku mengatupkan kedua tanganku di depan wajah seolah sedang berdoa.

"Aku akan mencari tahu perkembangannya. Dan aku akan sebisa mungkin membantu pengacara perceraianmu untuk segera menyelesaikannya.

"Terima kasih Bob."

"Hei… ini adalah berita terbaik yang kuterima setelah bertahun-tahun kau dipancung parasit itu."

Aku tersenyum pahit.

"Kamu tahu kan James, kalau sesekali kehilangan kendali itu wajar? Aku melihatmu seperti robot selama ini. Apakah kau baik-baik saja man? Suara Bob terdengar prihatin. Kami telah berteman baik sejak Bob bekerja sebagai akuntan perusahaan. Aku memahami perhatiannya. Tapi menunjukkan perasaan dan kelemahan benar-benar tak sanggup kulakukan.

"Tenang saja Bob. Aku bisa mengatasinya."

Setelah Bob memastikan aku baik-baik saja, dia meninggalkan kantorku. Aku menyelesaikan beberapa dokumen dan menelpon beberapa kolega.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat aku menerima telepon dari rumah ayah. Aneh, pikirku. Tidak biasanya aku menerima telepon dari rumahnya. Ayah selalu menelponku dari ponselnya.

"Halo?"

"Pak James. Tolong kemari pak!!" Ternyata Sean, pelayan utama di rumah ayahku yang meneleponku.

Firasatku langsung tidak enak.

"Kenapa Sean?"

"Bapak… bapak dibawa ke rumah sakit pak. Tolong segera menyusul kesana. Saya sudah mengirimkan alamatnya ke ponsel anda. "

Aku buru-buru menutup telepon dan berlari ke arah mobil. Di dalam mobil aku membuka pesan singkat yang ada lalu memberitahu sopirku alamat rumah sakit yang diberitahu Sean.

"Agak cepat ya," kataku pada sopirku.

"Baik pak."

Mobil kami berlari lebih kencang dari biasanya. Untunglah hari sudah gelap dan lalu lintas tidak padat. Pikiranku kalut. Aku berdoa semoga ayah baik-baik saja. Sean tidak menyebutkan alasan ayah dibawa ke rumah sakit di pesan yang dikirimkannya. Semoga tidak gawat.

Sesampainya di rumah sakit aku bertanya arah kepada resepsionis dan lalu menunggu lift datang untuk mengantarku ke lantai tiga.

Tapi waktu berjalan sangat lambat, karena tidak sabar akhirnya aku naik melalui tangga menuju kamar tempat ayah dirawat. Aku mencari kamar ayah dan ternyata kamarnya ada di paling ujung koridor. Lampu di koridor tidak terlalu terang mungkin karena sudah melewati jam berkunjung.

Aku mengetuk sebentar lalu masuk. Ayah terbaring di atas tempat tidur. Sean duduk di kursi di sebelahnya. Dia mengangguk ke arahku tanpa berbicara apapun. Wajah ayah pucat dan ada infus di pergelangan tangannya. Saat aku berjalan masuk, ayah seperti sedang tidur nyenyak. Sean memberi sinyal agar mengikutinya ke sofa yang ada di pojok ruangan.

Kami duduk di sana dan berbicara pelan agar tidak mengganggu ayah.