Kamar ayah cukup besar dan lapang. Ada tempat tidur bagi penunggu dan kamar mandi pribadi. Dinding rumah sakit yang putih dihiasi wallpaper krem untuk menambah suasana hangat. Dan ada meja makan serta sofa untuk pengunjung. Ruangan ini benar-benar nyaman. Aku hampir tidak bisa membedakannya dengan kamar hotel.
Hanya tempat tidurnya yang tampak berbeda dengan hotel. Tempat tidurnya nyaman tapi ada tombol-tombol untuk panggilan darurat dan bantuan khusus bagi pasien, misalnya bila ingin menegakkan tempat tidur atau makan.
Tapi aku tetap merasa ayah tidak seharusnya berada di sini walaupun tempat ini terlihat nyaman. Ayah tidak memiliki penyakit kronis apapun dalam sepengetahuanku.
"Apa yang terjadi?" Kataku pelan.
"Sejak kemarin malam, bapak minta makanannya dibawa ke dalam ruang kerja. Lalu hari ini saat menjelang malam, saya hendak mengantarkan makan malam bapak, tapi tidak ada jawaban saat saya mengetuk pintu. Lalu saya masuk dan ternyata bapak jatuh di lantai. Lalu saya cepat-cepat menelpon ambulan." Katanya penuh keprihatinan.
"Kenapa ayah makan di dalam ruang kerja?"
"Saya juga tidak paham pak. Tapi sepertinya bapak sedang banyak pikiran."
"Kenapa?"
"Bapak kemarin malam kedatangan tamu, nyonya Lucy. Lalu saya meninggalkan mereka berdua di kamar kerja. Saat saya akan mengantarkan minum, saya mendengar bapak berteriak-teriak."
"Lalu?"
"Tidak lama setelahnya nyonya Lucy keluar."
"Jam berapa Lucy meninggalkan rumah?"
"Kira-kira pukul sembilan pak."
Ada firasat tidak enak dalam hatiku. Aku mengirimkan pesan singkat pada sekretaris Lucy, menanyakan jadwalnya minggu ini. Dalam waktu singkat, sekretarisnya telah mengirimkan jawaban. Lucy telah berada di Korea selama tiga hari untuk urusan bisnis. Dan dia akan kembali pada hari Kamis.
Aku tidak mungkin bertanya pada Lucy melalui pesan. Aku akan menanyai nya saat dia kembali. Lalu aku pergi ke resepsionis dan menanyakan jadwal berkunjung dokter ayah.
Keuntungan tinggal di dalam kamar VVIP adalah bisa mendapatkan hampir segalanya dalam waktu singkat. Tidak lama kemudian ada ketukan pelan di pintu kamar. Dan ada seorang laki-laki berumur sekitar lima puluhan masuk.
"Selamat malam Pak."
"Selamat malam dokter, maaf mengganggu malam-malam. Bagaimana kondisi ayah?" Aku bangkit menghampirinya mendekati tempat tidur ayah.
Dokter mengecek infus yang terpasang dan mengecek mata ayah sekilas.
"Kondisinya malam ini sudah stabil. Sepertinya Pak marcus sedang ada banyak pikiran. Tekanan darahnya yang tinggi harus dijaga pak. Kalau sampai meningkat drastis bisa berbahaya bagi saraf-sarafnya."
"Baik dokter. Kira-kira ayah perlu menginap berapa hari?"
"Besok kami akan melakukan pemeriksaan lebih detail pak. Nanti kita bicarakan setelah hasilnya keluar ya."
"Baik dokter. Terima kasih banyak."
Lalu pak dokter pun meninggalkan kamar ayah. Aku merasa lemas. Besok aku harus mendampingi ayah untuk pemeriksaan lebih lanjut. Aku menelpon Mike untuk mengabarkan hal ini.
Mike buru-buru menawarkan diri untuk menyusulku ke rumah sakit tapi aku menolak tawarannya. Aku memintanya untuk mendampingiku besok saja karena hari sudah larut.
Lalu aku mengirimkan pesan pada sekretarisku untuk mengosongkan jawalku minggu ini. Pikiranku tertuju pada Lucy. Apa yang dikatakannya sehingga membuat ayahku sangat marah. Aku berharap Lucy tidak mengatakan hal tersebut.
Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit. Aku menyuruh sopirku untuk pulang lebih dahulu tadi saat aku tiba di rumah sakit. Umurnya sudah tidak muda lagi dan sebisa mungkin aku menjaga agar tidak membuatnya bekerja lembur terlalu sering.
Kulihat jam sudah pukul sembilan. Aku mengemudikan mobilku pelan. Hanya ada satu tempat dalam benakku. Aku mengarahkan mobilku kesana.
Sesampainya di sana aku keluar dari mobil dan membunyikan bel. Tapi tidak ada jawaban.
Aku mencoba lagi dan masih tidak ada jawaban.
Lalu aku mencoba membunyikannya sekali lagi. Kalau kali ini tidak ada jawaban, aku akan pulang…
Tiba-tiba ada suara pintu dibuka. Lampu depan dinyalakan dan seorang gadis membukakan pintu pagar untukku.
"Anne…" Aku langsung memeluknya erat dan menyandarkan kepalaku di bahunya yang kecil. Baunya wangi seperti baru saja mandi.
"James. Ada apa James?" Sepertinya Anne menyadari ada yang salah dari kedatanganku hari ini.
"Aku mau tidur di sini malam ini."
"Tapi kamu tidak bisa James."
"Aku bisa. Aku harus Anne."
Anne bergerak mundur agar kepalaku tidak menyandar di bahunya. Tapi aku memegang bagian punggungnya agar Anne tidak bisa mundur. Aku menggigit bahunya dan dia menegang.
"James…."
Tiba-tiba perutku berbunyi penuh emosi.
Aku mengangkat kepalaku dan kami saling berpandangan. Lalu kami tertawa terbahak-bahak.
"Ayo kita makan dulu," Anne mengajakku masuk. Aku pun mengikutinya.
Di dalam rumah, aku duduk di meja makan sedangkan Anne sibuk di dalam dapur. Meja makannya tidak besar tapi cukup untuk menampung enam orang. Ada beberapa pigura berisikan puisi terpasang di dinding di dekatnya.
Sesaat kemudian Anne muncul dengan membawa dua piring sandwich di atasnya. Dilengkapi dengan kentang goreng.
Sandwich di piringku disusun lebih tinggi daripada milik Anne. Ada bacon, telur, keju leleh, bawang bombay dan selada di dalamnya tidak lupa Anne menambahkan saus mayonaise dan mustard yang banyak.
Aku melahapnya dengan rakus. Aku sangat kelaparan malam ini. Dalam hitungan menit piringku sudah bersih. Aku membawa piringku ke dapur dan mencucinya. Anne melarangku melakukannya tapi aku tetap memaksa.
Lalu setelah makan, kami duduk di ruangan tengah. Aku menceritakan tentang kondisi ayah dan Anne tampak prihatin dari wajahnya.
Aku melirik arlojiku ternyata sudah pukul sepuluh tiga puluh. Aku membuka jaketku dan menaruhnya di lengan sofa. Anne melihatku penuh perlawanan.
"Kamu tidak serius akan menginap di sini kan?
"Aku sudah kehabisan tenaga malam ini Anne."
"Aku bisa memanggilkan taxi."
"Dan aku tidak sanggup berjalan ke luar lagi Anne kecuali kamu mau menggendongku," aku tersenyum polos dan mulai merebahkan badanku yang panjang di atas sofa yang terlalu kecil untukku.
Anne tampak kebingungan dan kesal. Lalu setelah beberapa saat, dia masuk ke dalam kamarnya dan keluar membawa selimut serta bantal untukku.
Saat Anne memberikannya kepadaku, aku menariknya dengan mudah hingga Anne terjatuh ke atas badanku. Dia berteriak kaget dan aku memanfaatkannya untuk menciumnya.
Aku memegang lehernya agar tidak memalingkan wajahnya. Secepat kilat aku membalik posisi kami hingga sekarang Anne yang berada di bawah.
"James… jangan James… kamu sudah berjanji kan…"
"Dan aku sudah berkata tidak berjanji akan menepatinya kan. Dan hari ini sepertinya aku tidak sanggup Anne. Hari ini kau akan menjadi milikku."
Anne mencoba mendorong dengan kedua tangannya, tapi aku menarik kedua tangannya ke atas dengan satu tangan dan tanganku yang lain sibuk membuka kancing kemejanya. Saat aku berhasil membuka tiga kancing teratas, aku mengerang melihatnya. Anne menggunakan bra berenda berwarna merah yang sangat minim dan bentuknya menggoda hampir tidak menutupi apapun di baliknya.
Aku menciumi Anne lagi dan meremas pelan dadanya. Anne memprotes tapi juga melenguh sesekali. Lalu aku menggigit dadanya, dan Anne mengangkat kakinya ke arahku.
"James…" Anne tidak melanjutkan kata-katanya sehingga aku berasumsi Anne menyukainya.
Pelan-pelan aku melepaskan tanganku yang menahan tangannya dan membuka celanaku. Aku menggigit lehernya dan Anne meremas rambutku sambil terengah-engah. Lalu aku mengangkat rok Anne dan menurunkan celana dalamnya.
Aku menciumnya lagi dalam dan lama. Sambil meremas dada dan organ intimnya. Anne begitu panas saat bercinta. Aku menyukainya.
Saat aku mengangkat tubuhnya, aku melihat matanya. Bola matanya menggelap dan menggoda. Aku pun menyatukan tubuh kami dan Anne berteriak penuh kepuasan.
"James… ah…."
"Apakah aku harus berhenti sekarang?" Bisikku di telinganya sambil menjilatnya.
"Jangan James... oh jangan…"
"Jangan apa?" Aku menggigit ujung dadanya
"Jangan berhenti"
Daya tarik di antara kami begitu hebat hingga aku pun terbakar hebat. Aku tidak pernah bercinta dengan nafsu menggila seperti ini. Aku selalu memegang kendali bahkan oada saat bercinta. Tapi kali ini aku seperti hampir kehilangan kendali saat bersama Anne mencapai puncak.
Saat kami mencapai puncak bersama-sama aku mengerang dan Anne pun berteriak pelan. Lalu aku tertidur di sampingnya malam itu. Di atas sofa yang terlalu kecil untuk kami.