Keesokan paginya aku terbangun dengan badan lemas dan tak bersemangat. Semua pikiranku telah menguras habis energi yang tersisa. Aku menelpon ke bawah dan meminta sarapanku untuk dibawakan ke kamar pagi ini.
Lalu aku memaksa diriku untuk mandi dan berganti baju. Aku mencukur kumis yang mulai tumbuh karena beberapa hari ini tidak sempat kuperhatikan.
Saat aku keluar dari kamar mandi, sarapanku telah disiapkan di meja dekat sofa. Aku menggigit pelan telur setengah matang yang dan memutuskan aku sangat lapar. Dalam waktu singkat piringku telah kosong dan aku meminum habis jus dan kopiku. Aku merasa lebih baik sekarang.
Aku turun dan bersiap untuk ke kantor. Aku harus segera mengurus beberapa hal yang tertunda minggu kemarin.
Waktu bergerak begitu cepat dalam beberapa hari ini. Ada begitu banyak hal yang perlu perhatianku. Hingga tak terasa hari berganti dengan sangat cepat. Setiap hari aku pulang malam dan hampir tidak mendapat istirahat yang cukup.
Kulihat di luar sudah gelap. Sebagian besar staf sudah meninggalkan kantor. Hanya ada beberapa saja yang masih duduk di bangkunya.
Aku meninggalkan kantor dan pulang ke rumah. Aku membatalkan niatku menemui Anne malam ini. Aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan dengan hubungan kami.
Saat aku masuk ke dalam rumah aku memastikan semua kunci rumah telah diganti dan memberikan instruksi agar tidak ada seorang pun membiarkan Lucy maupun stafnya masuk untuk selamanya.
Lalu aku naik ke atas dan membuka pintu kamar utama, semua barang-barang Lucy telah dikemas oleh Wina dan siap untuk dikirimkan ke pemiliknya.
Lalu aku memberikan instruksi pada Wina agar menurunkan foto-foto yang berkaitan dengan Lucy. Aku merasa ada sedikit kepuasan dengan pergantian suasana ini. Aku memanggil desainer untuk merombak total dekorasi rumahku dan dalam beberapa hari aku akan terbebas dari masa laluku yang kelam.
Lalu aku makan malam dengan Mike dan beberapa hari lagi Mike sudah akan berangkat ke asramanya. Aku berjanji akan mengantarkannya. Dia sangat senang. Aku berharap Mike juga menemukan kebahagiaannya, tidak seperti ayahnya.
Malamnya aku mencoba tidur tapi pikiranku tertuju pada Anne. Aku bertanya-tanya kenapa Anne juga tidak menghubungiku. Apakah Anne memiliki kekasih? Apakah Anne menjauhiku? Aku merasa tidak tenang.
Aku hendak mengirimkan pesan tapi sepertinya hal-hal seperti ini membutuhkan percakapan langsung. Terkadang sebuah pesan melalui ponsel akan memberikan kesan yang berbeda dari yang seharusnya. Banyak orang berkata sebuah pesan singkat adalah cikal bakal banyak kesalahpahaman saat berkomunikasi di era saat ini.
Aku memutuskan untuk membuat janji dengannya besok sore. Dan Anne bersedia. Aku tidak sabar untuk segera bertemu dengannya. Sudah berhari-hari aku tidak bertemu dengannya. Sejak ayah masuk rumah sakit. Tapi ada sedikit rasa takut untuk menemuinya. Aku takut tidak bisa mengendalikan perasaanku disaat aku tidak bisa menjanjikan apapun kepadanya.
Aku menyingkirkan semua keraguanku dan berharap akan menemukan jalan keluar. Lalu akupun tertidur karena kelelahan.
***
Hari sudah menjelang siang. Aku tidak mau membuang waktu dan segera keluar dari kantor saat waktu masih pukul tiga sore agar aku tidak terjebak kemacetan.
Terlibat dalam kemacetan akan sangat konyol di saat semuanya bisa dilakukan dengan lebih cepat. Sopirku sudah pulang dan aku menyetir sendiri seperti pembalap dunia. Aku sudah tidak sabar untuk melihat Anne. Perasaan yang membuncah ini terasa begitu hangat. Ada rasa bahagia dalam diriku membayangkan akan bertemu dengan seorang wanita.
Aku tiba di Star Noodle dan masuk ke dalam. Meja yang terisi hanya dua saat ini dan aku duduk di salah satu meja di dekat kasir. Aku mengerling ke arah Anne dan dia tersenyum malu-malu.
Seorang gadis yang kuketahui bernama Debby datang mengambil pesananku.
"Kakimu sudah tidak apa-apa?" Tanyaku. Beberapa minggu lalu Debby duduk di meja kasir dan Anne yang mengambil pesanan karena kakinya cedera.
"Sudah sehat seperti semula." Sahutnya sambil menunjuk kaki kanannya. Kulihat dia tidak lagi menggunakan kruk dan ada balutan kain di pergelangan kakinya tapi dia sudah berjalan seperti biasa.
"Bagaimana kabarmu?" Aku berkata pada Anne karena jarak kami tidak terlalu jauh. Paling tidak hanya lima puluh sentimeter.
"Baik. Apakah kamu sudah tidak apa-apa?"
"Yah banyak hal yang terjadi tapi aku sudah mengatasinya."
Lalu kami saling berpandangan dalam diam.
"Kenapa kamu tidak duduk disini saja menemaninya?" Suara Debby mengagetkanku. Debby mengantarkan pesanan dan meringis ke arah kami berdua.
Aku berterima kasih dan langsung makan dengan cepat. Setelah kedua pengunjung yang ada sebelum aku datang, menyelesaikan tagihannya. Anne duduk di kursi yang ada seberangku.
"Apa yang ingin kau bicarakan James?"
"Nanti saja. Kamu ingin minum kopi di suatu tempat sebelum pulang?"
"Boleh. Di ujung jalan ini ada kedai kopi langgananku. Kita bisa kesana setelah aku tutup."
Aku mengangguk singkat.
Tak lama kemudian kami berjalan kaki menuju kedai kopi yang dimaksud Anne. Hari ini angin begitu kencang walaupun tidak ada tanda-tanda akan hujan.
Aku menggandeng tangan Anne yang mungil. Dan menikmati perjalanan kami dalam keheningan. Sesekali bahu kami terantuk. Hanya terdengar degup jantungku yang tidak beraturan. Ada rasa bahagia dan ketakutan yang bercampur menjadi satu. Aku tidak ingin berkata-kata hanya ingin melakukan hal ini sampai ujung usiaku.
Setelah sampai disana aku mencari tempat duduk yang nyaman di luar kedai yang bersebelahan dengan tempat berjalan kaki, sedangkan Anne menuju ke meja kasir untuk memesan.
Aku duduk di kursi rotan yang nyaman dan mengamati sekelilingku. Ada sekitar enam meja kecil di luar kedai dan hampir semuanya terisi. Kulihat ada banyak anak muda menikmati minuman mereka sambil berceloteh riang. Dan ada sepasang orang tua ngobrol nyaman ditemani segelas espresso hangat. Suasana di kedai ini sangat menyenangkan.
Di dalam kedai disediakan sofa-sofa nyaman dan ada etalase kecil yang menjual berbagai macam kopi dan olahannya.
Pelayannya tidak banyak, karena semua makanan dan minuman dibayar langsung di kasir dan dibawa sendiri ke meja masing-masing. Kulihat hanya sesekali pelayan keluar dan berkeliling untuk mengambil piring dan gelas kosong lalu mengelap meja bila pengunjungnya telah pergi.
Kulihat Anne sedang berdiri di konter pengambilan makanan. Dia membawa sebuah nampan kosong yang nantinya akan diisi makanan dan minuman oleh barista yang menyiapkan pesanan.
Hari ini Anne mengenakan kaos hitam oversize besar dipadukan dengan rok span berwarna khaki yang panjangnya diatas lutut. Wajahnya yang polos hanya diberi olesan lipstik merah. Tas selempang kecil tergantung di bahunya dan rambutnya diikat ke atas hari ini. Kalau aku tidak mengenalnya, aku akan berpikir kalau Anne masih berumur dua puluhan.
Setelah memperoleh semua pesanannya, Anne tersenyum penuh terima kasih pada sang barista lalu membawanya ke arahku. Aku merasa sedikit tidak senang dengan cara barista itu melihat Anne. Aku ingin memberitahunya bahwa Anne adalah milikku tapi itu tidak mungkin.
Anne berjalan ke arahku sambil tersenyum simpul. Aku menghirup aroma kopi susu hangat bercampur dengan aroma gurih croissant.
Aku meniup kopi susuku dan pelan-pelan meminumnya pelan karena masih panas. Baru kali ini aku minum kopi yang manisnya berpadu pas dengan rasa pahitnya. Kulihat Anne menggigit croissantnya dan menikmatinya. Lalu minum kopi susunya dan mendesah puas.
"Bagaimana keadaan di Star Noodle?"
"Baik. Seperti yang kau lihat Debby sudah pulih. Dan aku kembali duduk menjadi kasir," Anne dengan cepat menghabiskan potongan croissantnya.
"Kamu terlihat lapar."
"Yah tadi siang sangat ramai, kami hampir-hampir tidak ada waktu beristirahat."
"Berani taruhan kamu pasti menggantikan yang lainnya saat mereka beristirahat dan melupakan makan siangmu sendiri."
Anne tertawa lebar seolah-olah aku telah menebaknya dengan tepat.
"Kau baik-baik saja James?"
"Aku? Aku baik-baik saja Anne. Tadi kau sudah bertanya kan."
"Hanya saja kau terlihat berbeda hari ini. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu."
Aku menatap cinta pertamaku dalam-dalam dan melihat bahwa dia benar-benar peduli. Anne begitu sensitif sehingga dia merasakan perbedaan suasana hatiku. Lucy tidak pernah menyentuhku hingga begitu dalam. Dia hampir-hampir tidak mengenalku, selain jumlah aset yang kumiliki.