"Mike inikah kamarmu?" Aku mencoba menelan ludah dengan susah payah.
"Yeah ayah. Ini kamarku. Ini teman sekamarku. Perkenalkan, Dean, Rob, ini ayahku James." Mike terdengar biasa-biasa saja.
Teman Mike, Dean dan Rob sedang duduk di tempat tidur mereka masing-masing dan menjabat tanganku sekilas saat diperkenalkan Mike.
Dean berambut pirang dengan kacamata tebal dan tinggi badan tidak lebih dari seratus tujuh puluh. Sedangkan Rob berambut hitam dan tingginya hampir sama dengan Mike.
Keduanya tampak normal. Hanya saja pemandangan di depanku lah yang tampak tidak normal. Ada tumpukan baju dan buku yang membukit tinggi di salah satu meja. Dan ada sepatu-sepatu berserakan begitu saja di lantainya. Aku merasa sedikit sesak napas karena ada bau apek yang menyengat tapi aku tidak bisa menemukan dari mana asalnya bau tersebut.
Di dinding kamar terpasang poster yang bergambarkan seorang penyanyi rocker dan artis lain dengan pose menggoda. Lalu ada tempelan kertas-kertas yang tampak seperti jadwal dan tulisan lain yang dipasang asal-asalan dan sebagian sudah terkoyak kertasnya. Dindingnya tampak kotor karena bekas-bekas selotip sebelumnya.
Aku menarik Mike keluar dan bertanya, "apakah kau yakin ini kamarmu?"
"Tentu saja ayah. Coba lihat ada namaku di pintunya."
"Tapi kamu tidak mungkin akan tinggal disini kan? Bagaimana kalau ayah mencarikan sebuah apartemen kecil dekat sini?"
"Kenapa ayah? Kalau aku tinggal disini, aku tidak perlu bangun terlalu pagi karena kampusku ada di sebelah. Aku hanya perlu berjalan lima menit saja."
"Tapi kamarmu begitu mengerikan Mike." Aku mulai berkeringat.
"Yah memang begitulah kamar asrama ayah," Mike tampak seperti akan tertawa.
"Oh tidak. Aku seharusnya mengeceknya sebelum kamu mendaftar ke asrama ini." Aku menutup mataku sejenak.
"Hey tenang saja ayah. Aku akan baik-baik saja." Mike tertawa
"Tapi kamarmu terlihat sangat sempit dan kotor."
"Tidak kok ayah. Kamar itu sudah cukup untukku."
Lalu aku memaksa diri untuk tidak lagi mempertanyakan keputusannya. Aku harus belajar menghargai keputusannya walaupun berat. Kalau Mike mau tinggal.di kandang babi seperti ini… Well dengan berat hati aku akan menerimanya.
"Baiklah Mike. Ini keputusanmu. Ayah akan meninggalkanmu setelah ini dan segera telepon ayah bila kamu berubah pikiran." Aku meremas bahunya sekilas.
Mike hanya tertawa menanggapi kata-kataku."
Kami berjalan menuju restoran cepat saji yang terletak tidak jauh dari asrama. Di sebelahnya ada minimarket, toko buku dan toko peralatan olahraga. Jalan yang kami lalui terasa sejuk karena pohon-pohon yang tumbuh besar di sepanjang jalannya. Sinar matahari hanya menembus di sela-sela daunnya yang rindang.
Suasana di lingkungan Southern College memang menyenangkan tidak heran Mike menyukainya. Di seberang jalan ada sebuah taman dengan kursi-kursi yang disusun sedemikian rupa agar berada di bawah naungan pohon-pohon yang rindang. Ada beberapa mahasiswa yang sedang makan di sana ataupun belajar kelompok dengan membawa laptop.
Kami makan di bagian dalam restoran cepat saji. Kami memesan empat paket untuk kami berdua dan memilih tempat duduk yang ada di dekat jendela karena bagian tengahnya penuh terisi.
Dan kulihat ada banyak anak-anak seusia Mike makan di sana. Mereka sedang makan dengan ribut dan menonton siaran langsung pertandingan basket di televisi yang terletak di tengah-tengah ruangan.
Ada beberapa gadis juga yang berpakaian terlalu minim untuk usianya. Mike tampak antusias dan tertarik melihat gadis-gadis itu. Yah itu wajar di usianya sekarang. Aku hanya berharap Mike memilih gadis yang tepat, tidak seperti ayahnya.
"Ada yang menarik?"
"Ya?" Kenapa ayah? Mike tampak terpesona hingga tidak mendengar kata-kataku barusan.
"Apakah ada gadis yang menarik perhatianmu?"
"Tidak ada kok." Katanya malu-malu.
"Ayah dulu hanya sibuk belajar saat seumuran," kataku sambil menggigit burgerku yang sangat empuk. Aku menyukai rasanya. Kejunya meleleh di atas dagingnya yang manis.
"Benarkah? Apakah kakek tidak mengijinkanmu berkencan?"
"Tidak juga. Kakekmu memang cukup keras tapi dia tidak melarangku berkencan. Hanya saja ayah tidak berminat pada gadis saat seumuranmu."
"Lalu apakah ibu pacar pertama ayah?" Mike melahap burgernya dalam beberapa kali gigitan dan kini membuka bungkus burgernya yang kedua.
"Tentu saja bukan. Well seharusnya ayah sudah akan berkencan dengan seorang gadis saat ada suatu kesalahpahaman dan akhirnya ayah berkenalan dengan ibumu."
"Kenapa dengan gadis itu?"
"Cerita yang panjang Mike. Suatu saat ayah akan memberitahumu."
"Apakah ayah mencintai gadis itu? Cinta pertama ayah?"
"Yah ayah masih belum tahu Mike. Sebenarnya ayah bertemu dengannya baru-baru ini." Aku menunggu reaksi Mike.
"Oh? Lalu?"
"Ayah masih belum tahu bagaimana agar hubungan kami akan berjalan dengan baik. Karena di dalam keluarga kita tidak akan pernah ada pernikahan kedua."
"Kenapa? Itu aneh sekali. Aku melihat banyak teman-temanku memiliki ayah atau ibu tiri sejak mereka kecil."
"Itu pesan dari kakekmu. Ayah masih mempertimbangkannya. Tapi ayah lebih ingin mendengar pendapatmu."
Mike seperti berpikir sejenak lalu berkata, "saat melihat ibu di rumah, aku merasa malu ayah. Itulah sebabnya aku memilih di dalam rumah saja. Banyak teman-temanku yang berkata kalau ibu tidur dengan banyak laki-laki." Dia tersenyum kecut.
Hatiku tertusuk. Hari ini aku memahami Mike dan sikapnya dulu. Tidak mudah untuk anak seusianya menerima sikap yang tidak wajar. Apalagi bila datang dari ibunya sendiri. Dia memilih untuk mengurung dirinya di dalam rumah. Dan saat kami telah bercerai, Mike kembali mau bersosialisasi. Aku seharusnya lebih memperhatikannya dulu.
"Lalu?"
"Yah kupikir akan berat menerima ayah memiliki seorang kekasih. Tapi aku akan belajar menerimanya."
"Sebenarnya Mike. Ayah bahkan belum berpikir ke arah sana. Kami masih baru saja bertemu. Itulah sebabnya ayah belum mengatakan apa-apa."
"Baiklah." Sahutnya singkat.
"Berhati-hatilah saat berkencan Mike. Tidak semua gadis menginginkan dirimu apa adanya. Belajarlah untuk berpikir rasional."
"Ayah… aku bahkan belum memilih salah satu dari gadis-gadis itu," candanya.
Kami pun bercakap-cakap santai sambil menghabiskan kentang goreng dan minuman. Mike terlihat benar-benar menikmatinya tempat ini. Dia akan baik-baik saja disini putusku. Dia bisa menjaga dirinya dengan baik.
Kami berjalan kembali ke depan asrama dan mobilku sudah menunggu di depannya. Mike berjanji akan pulang saat liburan dan mengirimkan pesan berkala padaku. Aku memberikan memberikan nasehat dan ultimatum kepadanya serta memberikan kunci mobil yang akan dikendarainya selama di sini.
Tadi saat aku berangkat bersama Mike, sopir kami mengikuti kami dari belakang mengendarai mobil Mike.
Aku masuk ke dalam mobil dan membuka kacanya. "Apakah kau yakin?"
"Ayah…" Mike mengucapkannya dengan nada memperingatkan.
"Baiklah. Baiklah." Aku tertawa. "Well, ayah akan pulang sekarang. Sampai ketemu bulan Desember nak."
"Ya ayah. Hati-hati di jalan."
Mobilku pun meninggalkan bangunan asrama menuju ke jalan utama dan aku pun kembali ke rumah.
Keraguanku memang bukannya tanpa alasan. Aku tidak pernah menginjakkan kaki di asrama selama bersekolah sehingga lingkungan seperti ini tampak asing untukku. Tapi Mike adalah Mike. Aku harus menghargai keputusannya dan membiarkan dia tumbuh dan memantaunya dari belakang.
Selama ini di bagaikan kura-kura dalam tempurung. Dia selalu menarik diri saat bertemu orang lain karena merasa malu akan kondisinya. Aku berharap setelah ini Mike bisa menikmati kehidupannya dengan baik tanpa kehadiran Lucy. Wanita itu memang pembuat masalah.
Dan akulah manusia paling dungu karena tidak menyadarinya lebih cepat. Terkadang sebuah keputusan yang diambil terlalu lama akan menyakiti orang lain.
Aku sudah memberikan gambaran pada Mike tentang hubunganku dengan Anne dan aku melihat Mike masih belum siap. Aku melihat ada penolakan di suaranya tadi. Well itu cukup wajar karena pengalaman buruknya melihat ibunya bergonta-ganti pacar. Mike tentu berpikir kalau aku akan seperti ibunya.
Aku harus lebih berhati-hati. Tapi aku juga masih belum akan memutuskan apapun saat ini. Aku hanya akan menikmati masa-masa penjajakan dengan Anne. Kami telah berpisah dua puluh tahun lamanya. Masih banyak yang harus kami pelajari satu sama lain.
Sesampainya di rumah hari sudah menjelang sore karena saat perjalanan pulang kami pulang sedikit macet. Aku menghabiskan waktu perjalanan dengan membaca beberapa laporan dari kantor dan membalas email yang masuk.