Aku duduk diatas sofa tempat kami bercinta kemarin. Sementara Anne masuk ke ruangan lain dan memberiku sebuah handuk kecil.
Aku mulai melepas dasi dan membuka kancing teratas kemejaku. Aku mulai santai sudah menemukan Anne tapi jantungku berdegup kencang karena hal yang lain.
Sementara aku mengeringkan tangan, kaki, dan bagian lain yang terkena air hujan, Anne masuk ke dapur di bagian belakang rumah.
Aku melihat lebih jelas sekarang keadaan rumah Anne. Ada foto-foto lama yang berpigura rapi dan terpasang di dinding. Ada Anne kecil dan adik-adiknya dalam berbagai pose. Sepertinya usia Anne terpaut lumayan jauh dibandingkan ketiga adiknya. Selisih paling tidak delapan sampai sepuluh tahun dari pengamatanku.
Di sampingnya ada juga pigura foto-foto yang lebih baru. Ada foto kelulusan ketiga adik Anne dan saat mereka menikah. Ada juga foto bayi-bayi yang sepertinya anak dari adik Anne. Tapi tidak ada satupun foto Anne yang telah dewasa.
Ada televisi usang di bawah pigura-pigura itu terpasang. Sepertinya televisi itu sudah tidak berfungsi kalau melihat modelnya yang tua. Di ujung ruangan ada piano tua tapi cukup terawat.
Langit-langit rumah Anne tidak tinggi seperti bangunan baru pada umumnya. Tapi suasana di dalam rumah ini begitu nyaman. Tidak mungkin ada seorang pembunuh dibesarkan dalam lingkungan yang hangat seperti ini, pikirku.
Anne datang menghampiri ruang keluarga dengan membawa baki berisikan dua cangkir teh hangat. Dia menaruh nampannya di atas meja kotak di depanku lalu duduk di sofa yang berhadapan denganku. Seakan-akan Anne tidak ingin duduk di sebelahku di sofa besar tempat kami bercinta semalam.
"Masih panas tehnya, mungkin sebentar lagi hangat." Katanya pelan berusaha tidak melihat mataku secara langsung. Lalu menarik nafas dalam.
"Mungkin buatmu aku hanyalah mantan napi yang murahan James." Katanya getir.
"Anne..."
"James..."
Kami saling memanggil dalam waktu yang bersamaan. Aku menahan diriku dan membiarkan Anne mengutarakan maksudnya lebih dulu.
"Aku… ehm James, menurutku kemarin adalah sebuah kesalahan… Kita… Aku tidak seharusnya melakukan hal itu. Ini salahku."
"Anne, bukankah aku sudah bilang kalau aku akan bercerai."
"Well yah… akan bercerai bukan berarti kalian telah sah berpisah James! Aku tidak ingin terlibat sebagai orang ketiga! Aku bukan wanita murahan yang bisa kau tiduri setiap saat…" tangisnya pecah.
Aku bangkit dan duduk disebelahnya. Aku mendekap Anne yang menangis sesenggukan seperti anak kecil. Dan menepuk punggungnya secara berirama untuk menenangkannya.
Saat aku menepuk punggungnya, aku merasakan Anne tidak menggunakan apapun di baliknya. Aku mendesah. Aku berusaha mengendalikan diriku. Dadanya menempel ketat ke arahku dan pahanya yang mulus terpapar sempurna di sebelahku persis. Aku menginginkannya lagi.
Aku mencium Anne saat tangisnya reda. Kami berciuman penuh gairah. Bibirnya terasa seperti buah peach. Aku memalingkan wajahku dan menemukan area sensitif di ujung lehernya dan menggigitnya pelan sambil meremas buah dadanya yang telanjang. Ukurannya sangat pas untuk tanganku yang besar.
Anne tiba-tiba mendorongku, "kita harus bicara. Ehm... tunggu James."
Aku mengulum bibirnya lagi agar tidak melanjutkan kalimatnya, tapi Anne mendorongku lebih keras lalu berdiri sambil terengah-engah. Mukanya merah padam karena aktivitas barusan. Dan ujung dadanya nampak jelas di kaosnya yang tipis.
"Aku tidak ingin kita begini James. Sebelum kamu bercerai, kita tidak akan melakukan hal ini." Katanya lantang.
"Kenapa? Semua itu toh hanya birokrasi di atas kertas-kertas Anne. Aku menginginkanmu sekarang Anne."
"Tidak. Kamu hanya akan mempermainkanku seperti yang lain."
"Apa maksudmu?"
"Dulu aku menjalin hubungan dengan seseorang yang telah menikah. Dia berkata akan segera menceraikan istrinya. Tapi ternyata… aku hanyalah salah satu mainannya."
"Oh Anne…"
"Kalian lelaki akan selalu begitu. Kalian lelaki hidung belang kaya yang tidak bertanggung jawab." Lalu dia menggigit bibirnya yang dilapisi lipgloss tipis dan memalingkan wajahnya sambil berkacak pinggang. Mencoba menenangkan hatinya.
"Siapa nama jahanam yang melakukan itu?"
"Itu tidak lagi penting."
"Kalau kamu tidak memberitahuku, aku toh bisa mencari tahu sendiri Anne."
"Tidak… Jangan James… aku tidak ingin terlibat lagi dengannya."
"Baik, besok aku akan mencari tahu." Aku bangkit dan berdiri di depan Anne.
"Jangan James. Sudahlah jangan dibahas lagi. Aku toh sudah memaafkannya. Tapi aku tidak ingin terlibat dengan seorang pria yang telah beristri James."
"Baik Anne. Aku mengerti maksudmu. Aku akan segera menyelesaikan proses perceraian. Tapi boleh kan aku jadi temanmu sampai hari itu datang?"
"Yah James kita bisa berteman. Hanya teman tidak lebih."
"Teman." Aku menawarkan tanganku untuk mengesahkan kesepakatan kami.
"Teman." Anne tersenyum lega dan menyambut ajakanku untuk bersalaman.
Aku menariknya tangannya saat tangan kami berjabatan dan mencium bibirnya yang tersenyum. Lalu aku tersenyum penuh kemenangan.
"Kau… " Wajahnya langsung memerah. "Kita hanya teman."
"Yah menurutku teman yang baik boleh berciuman kan."
Aku melepaskan jabatan tanganku, meminta nomor ponsel Anne lalu berpamitan untuk pulang. Aku memutuskan untuk memberi Anne waktu. Anne butuh waktu untuk pulih dari segala peristiwa yang terjadi dan aku juga harus memperjelas posisiku saat ini.
Di saat proses perceraian masih belum selesai, aku tidak akan bisa memiliki Anne seutuhnya.
Hujan mulai reda dan aku masuk ke dalam mobil sambil berlari-lari kecil. Anne melambaikan tangannya dan aku pun mengendarai mobilku perlahan meninggalkan rumah Anne.
Sesampainya di rumah, aku membersihkan diri dan makan dengan lahap. Aku sangat kelaparan karena siang tadi hanya makan dengan asal. Selain itu, kebahagiaan juga membuat nafsu makanku meningkat. Ada semangat membara dalam hatiku.
Aku membuka ponselku dan dari salah satu pesan yang masuk, aku mengetahui kalau berkas perceraian telah dikirimkan dan diterima oleh sekretaris Lucy.
Aku tidak bisa mengelak dari gosip yang ada. Bagaimanapun aku berusaha menutupinya, akan selalu ada celah yang membuat berita itu tersebar.
Pukul sembilan lebih aku mendengar ada suara pintu terbuka dan menutup dari kamar utama. Wah Lucy pulang lebih cepat hari ini. Bukannya aku peduli. Tapi hal itu sangat aneh karena Lucy biasa pulang menjelang subuh. Apabila dia berada di rumah biasanya saat dia mengadakan kegiatan maksiat dengan gigolonya.
Aku membaca beberapa dokumen pendaftaran kuliah Mike dan menginstruksikan akuntanku untuk memproses dana yang dibutuhkan. Lalu ada laporan dari bagian produksi tentang mesin-mesin baru yang telah didatangkan. Dalam beberapa hari, teknisi mesin yang ditugaskan untuk melatih pekerja kami akan datang pula.
Aku mengirimkan pesan singkat kepada kepala produksi untuk menyiapkan akomodasi yang dibutuhkan bagi teknisi mesin yang akan datang.
Lalu masih ada laporan penjualan dari manajer marketing tentang….
Tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar kerjaku merangkap kamar tidurku.
"Masuk."
Pintu terbuka dan Lucy berjalan masuk. Dia mengenakan gaun tidur satin panjang berwarna hitam dengan belahan dada rendah dan branya yang berenda menyembul keluar.
"Sayang, kamu sedang sibuk kah?"
Dari cara bicaranya aku tahu Lucy menginginkan sesuatu dariku. Setelah sembilan belas tahun kami bersama, aku bisa menebak apa maunya dan delapan puluh persen instingku selalu benar.
"Aku perlu membaca beberapa laporan seperti biasa." Jawabku singkat.
"Sayang mungkin kamu terlalu banyak bekerja. Kamu pasti capek kan. Aku sudah membawa minyak untuk memijat."
Bertahun-tahun lalu, kalau Lucy menawarkan hal yang sama, aku akan langsung melucuti bajuku dan naik ke tempat tidur dan menikmati pijatan erotisnya yang terlatih. Lalu Lucy akan menyodorkan permintaan dana atau bantuan yang tidak bisa kutolak.
Aku menurutinya seperti anjing bodoh. Yang berharap istrinya telah berubah. Lalu berakhir dengan penyesalan saat keesokan harinya Lucy kembali mengacuhkanku.
"Tidak Lucy. Aku cukup tidur saja."
Lucy melepaskan kedua tali gaun tidur hitamnya dan dalam sekejap gaunnya telah teronggok di lantai. Bra nya yang berenda amat mini dan membuat dadanya tampak besar lalu mengecil di area pinggang lalu pinggulnya yang membulat membuat figurnya tampak sempurna. Hanya ada segitiga kecil menutupi bagian intimnya. Dan Lucy mengenakan stoking hitam dengan pengait yang sangat menggugah selera.
Tapi anehnya aku tidak merasakan apapun saat ini. Aku tidak terangsang dengan penampilannya. Ada sesuatu yang berubah dalam diriku tapi aku tidak tahu persis apa itu.