Chereads / One Perfect Mistake / Chapter 4 - Tangan Hampa

Chapter 4 - Tangan Hampa

Keesokan harinya aku sudah berada di bandara, saat aku menunggu untuk masuk ke dalam pesawat, aku melihat Rey baru datang dengan tergopoh-gopoh.

"Wah hampir saja aku terlambat."

Aku hanya tersenyum simpul sambil membuka majalah di depanku. Sebisa mungkin aku menjaga agar mukaku terlihat tenang dan terkendali.

"Kamu kemarin jadi ikut orang tuamu James? Kenapa ngga ikut kita aja. Kemarin kita pesta bro, kemarin ada cewe-cewe cakep lagi."

"Ngga apa-apa Rey kapan-kapan aja aku ikut." Jawabku pendek-pendek. Aku masih merasa kesal tapi juga tidak mau Rey tahu aku patah hati. Gengsi lah. Perempuan kan tidak cuma satu. Tidak perlu rebutan.

"Aku kasih tahu tapi jangan bilang siapa-siapa ya bro. Kemarin aku tidur sama cewe cantik. Badannya broo... Gila… kita hampir ngga tidur lho."

Hatiku panas sekali. Rey salah satu sepupuku yang memang beruntung. Bagaimana tidak. Orang tuanya kaya dan dia tidak dibesarkan dengan peraturan ketat seperti keluargaku. Secara penampilan, tinggi kami hampir sama tapi rambutnya ikal dan berwarna coklat kekuningan. Badannya lebih kekar dariku karena rutin berolahraga di pusat kebugaran di salah satu mall. Dan setahuku memang di usianya yang dua puluh tujuh tahun ini, dia sering kali tidur dengan perempuan yang berbeda setiap minggunya.

Dia bilang dia butuh latihan untuk pernikahannya nanti. Dia akan menikah, katanya, saat dia sudah bosan atau saat orang tuanya memaksanya. Hari ini dia masih ingin menikmati hidup. Dia hanya punya satu kekurangan, otaknya seperti ubur-ubur. Tidak ada hal penting yang tersimpan lama di dalamnya. Rey tidak suka hal rumit. Segala hal menyenangkan dalam dunianya. Kalau tidak menyenangkan maka itu bukan untuk Rey. Rey tidak perlu berotak pintar karena perusahaan keluarganya cukup menghidupi Rey sampai tiga keturunan.

Latar belakang kami memang hampir sama, hanya saja aku lebih bisa berpikir panjang.

"Makanya kamu sesekali ikut aku. Jangan mau dipingit terus gitu," dia terus mengoceh di sebelahku seperti burung gereja.

"Cewe itu ya, biasanya cuma pura-pura malu tapi harusnya mau. Kita yang harus aktif."

Well, memang banyak yang dibesarkan dengan latar belakang hampir sama tapi tidak semua punya keinginan yang sama, pikirku. Aku berpikir kalau perkenalan seminggu masih kurang lama untuk sampai taraf tidur bersama, karena aku menghargai perempuan. Aku merasa butuh waktu untuk mengenal lebih dalam. Dan jujur aku tidak tidur dengan sembarang wanita. Aku tidak mau terlibat penyakit atau masalah lainnya. Otakku masih berjalan walaupun badanku normal.

Orang tua ku juga bukan tipikal yang kolot dalam hal tersebut. Di kota besar tempat kami tinggal, tidur bersama dengan kekasih sebelum malam pertama sudah bukan hal yang luar biasa. Dengan uang saku yang diberi ayah pun, aku bisa dengan mudah mencari wanita, kalau aku mau. Tapi sekali lagi aku bukan tipe yang suka bermain-main tanpa tujuan jelas.

Seperti Anne…

Aku merasa tertohok melihat rambut Rey yang kusut masai seperti semalaman bergerilya. Tiga kancing atas kemeja putihnya terbuka, menampakkan dada yang penuh dan berotot. Aku tahu Rey seringkali membanggakan perutnya yang six packs jadi dia tidak keberatan menunjukkannya sesekali hanya untuk membuat terkesan. Kemejanya tidak dimasukkan dengan rapi seperti habis dipakai semalaman. Aku membayangkan Rey dan Anne berpelukan dan saling menggeliat. Berkeringat dan saling membelit. Tungkai-tungkai kecoklatan karena seminggu dihujam sinar matahari yang saling bertumpu. Bibir Anne yang merah merona. Wangi tubuhnya yang ringan seperti musim panas.

Aku menutup mata dan menghitung sampai tiga untuk meredam emosiku.

Yah memang tidak mudah menemukan pasangan yang cocok, aku tersenyum pahit sambil terus mendengarkan Rey menceritakan detail kegiatan semalam.

Oke move on. Tidak lama ada panggilan untuk masuk ke dalam pesawat. Aku buru-buru mengangkat tas ranselku, "Ayo Rey masuk."

"Okee.. yuk," jawabnya.

Pesawat kami berukuran besar dan kami duduk di business class. Saat kami mulai terbang, aku melihat ke luar dan melihat langit yang begitu biru. Ada awan putih seperti kapas mengiringi perjalanan kami. Aku merasa lebih rileks sekarang. Selamat tinggal Bali. Selamat tinggal cinta pertamaku…

****

Hari berganti hari aku mulai melupakan liburan tersebut. Aku mulai masuk lebih dalam ke pekerjaan di kantor. Banyak hal baru yang harus aku pelajari. Dan aku menyadari bahwa semua pengetahuan yang aku dapatkan selama menimba ilmu sampai perguruan tinggi masih kurang. Ada banyak hal-hal dasar yang tidak diajarkan tapi harus aku kuasai. Dan aku harus mempelajarinya sendiri.

Suatu sore saat aku sedang memeriksa laporan dari bagian akunting, Rey meneleponku, "James, kamu sudah tahu?"

"Sudah tahu apa, Rey?"

"Kamu nyalakan televisi sekarang ya!" Lalu dia segera menutup telepon setelah memberitahu stasiun tv yang dimaksud.

".... ditemukan…"

"... saksi mata mengatakan, anak tertua korban meninggalkan cottage mereka setelah mendengar ada pertengkaran hebat. Diduga tersangka merasa sakit hati karena korban seringkali membentak tersangka."

"Saksi merupakan penghuni cottage sebelah yang kebetulan ada di depan cottage kurang lebih saat peristiwa terjadi. Berdasarkan pemeriksaan forensik, diketahui bahwa peristiwa pembunuhan tersebut terjadi antara pukul 2 dan 4 sore hari…."

Telingaku mulai sedikit berdengung dan aku mulai tidak konsentrasi saat melihat sosok yang tampil di televisi.

Sesosok dengan tangan diborgol dan wajahnya diburamkan. Aku melihat baik-baik sosok yang ada di televisi. Badan yang langsing, rambut hitam legam dan panjang. Jantungku berdegup kencang.. dug dug.. dug. Anne!! Walau wajahnya diburamkan, aku masih bisa mengenalinya. Aku hafal betul caranya berdiri sambil bersandar pada salah satu kakinya. Dan aku bahkan mengenali lekuk jari-jarinya yang lentik dan panjang.

Aku mengingat-ingat pertemuan kami empat bulan lalu. Memang Anne seringkali bercerita tentang percekcokannya dengan orang tuanya. Tapi membunuh mereka? Itu level yang berbeda dengan yang aku rasakan. Aku memejamkan mata. Otakku mulai merespon dan menyusun kronologis hari itu.

Tapi sore hari itu, aku bertemu dengan Anne. Ada kemungkinan bukan Anne yang melakukan hal itu. Aku langsung berdiri. Aku merasa harus meluruskan satu hal. Aku sudah melihat nama kantor polisi tempat Anne disidik. Aku harus kesana.

Aku menarik jaketku dan hendak meninggalkan bangku kantor saat ponselku berbunyi "rrrr...rrrr" aku melihat Reynald yang menghubungiku. Aku merasa enggan berbicara dengan Rey sejak liburan terakhir kami. Tapi akhirnya aku menjawabnya.

"Ya, Rey"

"James, itu tadi Anne kan? Yang kita pernah bertemu waktu liburan ke Bali. Inisial pembunuhnya AN bro… Anne kan yang tadi masuk berita?"

"Iya Rey sepertinya memang Anne." Jawabku pelan. "Tapi aku yakin Anne tidak seperti itu orangnya. Mungkin ada yang salah ini. Sore itu aku ada janji dengan Anne. Mungkin aku lebih baik ke kantor polisi biar lebih jelas."

"Maksudmu?"

"Ini aku mau berangkat ke kantor polisi. Siapa tahu aku bisa membantu meluruskan yang terjadi."

Rey melontarkan sumpah serapah, ".... kamu pikir baik-baik lah. Kalian cuma bertemu seminggu, kamu memang tahu dia cewe seperti apa? Kalau orang tuamu tahu kamu terlibat nanti malah rusak semua. Sudah bro. Stay away!"

"Yah tapi aku merasa wajib membantu Rey, bagaimanapun juga kita kan berteman. Kalau misalkan terbukti ya sudah. Tapi kalau bisa membantu, kenapa tidak."

Rey kembali mengucapkan mantra- mantranya, "kamu tahu cewe seperti Anne? Mereka cuma mencari cowo-cowo kaya seperti kita. Tidur semalam bareng. Lumayan mereka bisa mendapatkan uang jajan buat kuliah."

Hatiku langsung sakit mendengar Rey berkata begitu, "kamu… apakah kamu juga sama Anne?"

"Ya kenapa tidak James? Kemarin kan libur panjang. Waktunya bersenang-senang kan." Rey tertawa terbahak-bahak di seberang telepon.

Aku menutup telepon.

Semangatku untuk membantu Anne langsung pudar. Aku membayangkan tubuh mereka saling bergulat di kegelapan. Saat Anne berpelukan dengan Rey sambil mendesah. Hentikan.

Aku harus menghentikan hal ini. Aku tidak mau terbelenggu hal-hal picisan seperti ini. Aku James Marcus, bukan orang yang selalu terbayang-bayang akan masa lalu.

Beberapa bulan setelah aku melihat berita itu, aku mendengar Anne dihukum 10 tahun penjara. Dan ketiga adik-adiknya diasuh di panti asuhan karena tidak ada keluarga dekat yang bersedia menjaga mereka.