Pikiranku kembali ke masa ini di mana aku sudah menjalani hidup yang hampa. Aku mendengar lagu yang mengalun lembut di dalam mobil. Ada suara penyanyi lama yang menenangkan ditemani suara pelan pendingin mobil. Bangku mobil yang empuk berwarna krem mengeluarkan bau kulit mahal yang terawat. Semuanya terasa nyaman.
Aku duduk sambil membaca laporan yang akan kupakai untuk meeting nanti malam. Aku merangkai presentasi dalam benakku sambil secara paralel menyiapkan permintaan data kepada stafku nanti sesampainya di kantor.
Aku sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri, karena ayah sudah lama tidak ikut membantu perusahaan kami untuk menjaga ibuku yang kondisinya terus menurun karena penyakit autoimunnya. Dua tahun terakhir ini kondisi ibu semakin parah dan sudah tidak bisa turun dari tempat tidurnya. Dan ayah selalu mendampinginya dari sejak ibu didapati mengidap penyakit autoimun. Dan setelah ibu meninggal, ayah tidak ingin lagi ke kantor walaupun sesekali bertukar kabar kantor lmelalui aku.
Penyakit autoimun baru-baru ini sering ditemukan pada anak-anak juga, walau pengidapnya banyak juga yang sudah berumur.
Perusahaan kami bergerak dibidang penerbitan buku dan malam ini aku akan bertemu dengan salah satu pimpinan jaringan perusahaan yang merupakan pembeli potensial. Istriku sendiri sibuk dengan perusahaan kimia yang dipimpinnya. Jadi sampai Mike cukup besar dan berkata ingin membantuku, aku akan terus melakukannya sendiri. Aku tidak ingin memaksanya, karena berkaca pada diriku dulu.
Sesampainya di kantor, aku melangkah masuk ke dalam dan menyapa beberapa staf. Beberapa dari mereka sudah bekerja sejak aku belum lahir. Tidak mudah untuk membuat staf senior di sini untuk percaya bahwa aku juga bisa bekerja dengan baik.
Di awal-awal kehadiranku disini mereka mencemooh ku di belakang dan menganggap aku beruntung bisa bekerja karena koneksi keluarga semata. Mereka bersikap hormat hanya pada saat aku berada di sebelah ayahku. Selebihnya mereka menyapaku dengan sinis. Kerja kerasku seakan hilang di balik awan-awan kecurigaan, iri hati dan dengki.
Tapi hari-hari itu sudah berlalu. Sekarang mereka menaruh respek yang dalam dan aku tahu mereka percaya aku bisa memimpin perusahaan dengan baik.
Aku bisa melihat mata mereka yang penuh perhatian saat aku memimpin rapat atau menjelaskan sesuatu. Bukan lagi tatapan mengintimidasi.
Tidak ada kesuksesan yang bisa diraih dalam waktu singkat. Semuanya perlu proses. Dan aku pun melalui semuanya dengan optimisme tinggi. Mungkin rasa optimis ini lah yang membuatku masih bertanya-tanya apa yang belum kulakukan di dalam rumah tanggaku sehingga istriku selalu merasa tidak puas. Bahkan di awal-awal pernikahan kami, aku selalu membawa bingkisan kecil dan tidak pernah lupa akan hari ulang tahun, valentine atau hari-hari yang dirayakan oleh semua wanita di dunia. Aku bahkan tidak pernah melewatkan liburan bersama keluarga.
Di tempat tidur pun, aku yakin telah memuaskannya berulang-ulang. Setelah aku mendengar kabar terakhir Anne, aku menghabiskan setiap malam dengan wanita yang berbeda. Berharap aku bisa menghapuskan bayangan Anne setiap malamnya. Aku cukup paham apa yang disukai dan tidak disukai wanita. Badan tiap wanita unik dan ada titik-titik yang sudah kukenal dengan baik, sehingga mustahil aku tidak memuaskan istriku.
Namun di malam istriku memberitahu kalau dia hamil, dia sedikit berbeda. Aku tidak tahu apa itu. Tapi ada sekilas kilatan matanya begitu dingin dan seperti asing. Aku tidak pernah melihat istriku seperti itu sebelumnya. Aku berpikir kalau itu hanya perasaanku saja. Namun hari-hari setelahnya, istriku berubah dingin dan menjaga jarak. Seolah-olah dia tidak ingin terlalu dekat denganku. Aku sudah mencoba mengajaknya berlibur, membelikan makanan kesukaannya bahkan mengajaknya berbicara dari hati ke hati.
Aku curiga istriku tidak menyukai kehamilannya. Tapi saat aku mengkonfirmasi hal itu, dia menjawab kalau hal itu tidak masuk akal. Masing-masing dari kami memiliki perusahaan yang harus dikelola sehingga memiliki anak juga salah satu keharusan. Dalam hati aku bertanya-tanya. Keharusan? Apakah dia merasa terpaksa?
Tapi yang jelas tidak ada lagi kehangatan dalam rumah tangga kami semenjak dua garis biru ditunjukkan. Kami saling menyapa tapi seperti orang asing. Saat aku memeluk dan mengajaknya bercinta, Lucy akan berkata kalau kehamilannya sedang rentan. Baiklah hal itu bisa menunggu sepuluh bulan.
Tapi setelah Mike lahir pun, Lucy perlahan menjauh. Kami jarang berpelukan dan bercinta dengan cepat tanpa kontak bibir. Saat aku menciumnya, Lucy selalu mengelak. Ada saja alasannya, entah sariawan atau sedang perawatan sulam bibirnya.
Suatu hari saat aku pulang ke rumah lebih cepat, ku ingat-ingat Mike berumur sekitar empat tahun waktu itu. Aku masuk dan Mike sedang bermain dengan pengasuhnya di kamar bawah. Kamar di samping ruang baca itu memang untuk Mike. Sedangkan kamar kami terletak di lantai dua berseberangan dengan ruang kerja kami yang berdampingan. Dan di ujung koridor ada kamar olahraga.
Aku menyapa Mike dan mengajaknya bermain sebentar. Kemudian aku merasa amat gerah. Sore itu memang sangat panas. Matahari menyorot dengan tajam tanpa ampun. Cuaca musim panas bisa membuatmu menenggak berliter-liter air dan tetap merasa kehausan.
Aku hendak naik ke lantai dua saat Wina, pembantuku sejak aku masih sekolah dasar memanggilku, "Pak, mau saya buatkan es teh manis mungkin?"
Sejak aku lulus SMA, Wina membiasakan dirinya memanggilku dengan sebutan "Bapak" atas permintaan ibuku. Dan setelah aku menikah, ibuku mengutus Wina untuk ikut melayaniku di rumah baruku dengan Lucy. Mungkin ibuku berpikir paling tidak ada satu orang yang bisa membantu staf rumah yang baru untuk beradaptasi, sehingga pengantin baru tidak direpotkan dengan detail kecil. Apalagi Lucy jelas-jelas mengutarakan keinginannya untuk terus bekerja walau setelah menikah. Aku menghargai keputusannya. Karena menurutku, laki-laki atau wanita sama-sama memerlukan pencapaian.
Wina berumur sekitar 40 lebih saat itu. Dengan kulit kecoklatan dan tubuh gempal, tapi herannya langkah-langkahnya sangat cekatan dan semua tugasnya bisa selesai dengan cepat.
"Tidak usah, Win. Aku mau langsung mandi saja. Udaranya gerah sekali ini."
"Minum es teh dulu, Pak. Biar agak dingin badannya."
Aneh. Tidak biasanya Wina membalas ucapanku. Biasanya dia akan langsung mengiyakan. Tapi hari itu benar-benar panas dan aku sudah tidak tahan ingin segera bersantai. Sudah lama aku tidak pulang sebelum matahari terbenam. Kemejaku terasa kusut dan basah.
"Aku mandi dulu aja, Win. Benar-benar tidak tahan ini panasnya. Bajuku sudah penuh keringat." Lalu aku segera menapakkan kaki di tangga rumah kami yang mengular.
Aku melangkahkan kaki ke depan kamar kami dan langsung masuk. Kamar mandi pribadi kami ada di dalam kamar sehingga aku langsung membukanya pintu kamar.
Adegan yang ada di depanku seperti lukisan seni yang biasa dipamerkan di galeri-galeri seni terkenal. Biasanya saat melihat lukisan seni yang modelnya manusia telanjang, ada perasaan rikuh yang memang wajar dirasakan. Apalagi pemandangan di depanku yang terpapar begitu indah sekaligus vulgar.
Ada dua insan begitu berbeda. Yang laki-laki berkulit kecoklatan dan berbadan besar kekar. Yang perempuan berbadan langsing, berkulit putih susu dengan dada penuh yang terbuka mengundang. Yang laki-laki bergerak dengan sangat liar, yang perempuan dengan pasrah menahan bibirnya agar tidak berteriak. Yang laki-laki bersandar pada tiang tempat tidur kami seakan-akan tidak lama lagi akan ambruk, dan yang perempuan setengah kepalanya sudah menggantung di pinggiran tempat tidur.
Andaikata adegan di depanku diperankan oleh orang lain maka aku akan langsung tergoda untuk mengabadikannya dengan kamera. Ada hasrat yang sudah lama aku tidak pernah rasakan atau jumpai. Sejak kelahiran Mike aku tidak pernah melihat Lucy begitu bersemangat saat bercinta denganku.
Tunggu dulu. Aku mulai merasa mual. Wajah yang ada di depanku bukanlah wajah-wajah yang asing. Yang perempuan adalah orang yang menjadi istriku lima tahun ini. Yang laki-laki adalah orang yang biasanya datang setiap minggu tiga kali untuk sesi olahraga istriku.
Aku pun secara refleks berteriak,"Lucy!!"
Mata Lucy dan pelatih yoganya yang sedang terpejam pelan-pelan membuka. Dan saat mereka melihatku, secara cepat sang pelatih langsung menarik dirinya. Namun Lucy memegang tangan sang pelatih sambil menatapku dingin.
"Lucy, apa yang kamu lakukan?!"
"James, nanti bisa kan bicara lagi? Kamu tahu mengganggu orang itu tidak sopan." Katanya dengan napas terengah-engah dan suara dalam. Sambil terus menggerakkan pinggulnya secara mengundang.
Aku pun kehabisan kata-kata dan langsung keluar dari kamar itu. Di belakang aku mendengar suara derik-derik yang menjadi mimpi burukku.