Chereads / One Perfect Mistake / Chapter 7 - Perselingkuhan

Chapter 7 - Perselingkuhan

Hingga sembilan belas tahun berlalu, aku tidak pernah membahas perselingkuhan Lucy ataupun kesepakatan atas pernikahan kami dengan ayahku. Ibuku sudah lama tiada dan ayahku seperti kehilangan alasan untuk hidup. Jadi aku tidak ingin menambah bebannya lagi.

Tubuhnya kini sangat kurus. Dan setiap kali aku bertemu dengan ayah, aku sulit membayangkan ayahku yang dulu begitu bersemangat dan penuh api kehidupan, pelan-pelan menua. Ayah masih tinggal di rumah lama kami. Dan aku tidak ingin ayah pindah bersamaku, karena kegiatan ekstrakurikuler Lucy yang semakin lama semakin liar.

Ada kalanya aku ingin menegurnya, namun aku mengurungkan niatku karena kami sudah sepakat untuk tidak lagi saling terkait satu sama lain. Pernikahan kami murni hanya untuk menjaga perasaan Mike.

Dan akhir-akhir ini aku merasa lelah. Lelah dengan peran yang harus kumainkan. Semenjak aku mendapati Lucy berselingkuh, aku bekerja lebih keras lagi. Dan jarang bisa menemani Mike. Aku butuh waktu, begitu pikirku.

Ternyata hal itu mulai menjadi kebiasaan. Dan hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Aku mulai mengecewakan Mike.

Disaat aku merasa kesepian, Rey selalu membantuku. Rey masih belum berubah hingga hari ini. Dia masih terus berlatih tidur dengan wanita yang berbeda setiap minggunya. Aku bahkan tidak akan kaget kalau wanita yang ditidurinya bisa mencapai tiga digit banyaknya. Rey selalu siap menyediakan wanita di saat aku membutuhkan wanita.

Rey sekarang sudah menikah dengan istri yang sedang hamil anak keempat. Dengan keluarga yang begitu ramai. Aku heran Rey masih memiliki tenaga untuk kegiatan malamnya. Tapi tentu saja Rey tidak memiliki kegiatan di pagi hari karena semua pengelolaan perusahaannya telah diserahkan pada kantor manajemen.

Rey pernah berkata padaku, "James, wanita itu cuma perlu uang kita. Kita punya pilihan James, kenapa harus repot?"

Aku tidak setuju dengan Rey sepenuhnya, tapi akhir-akhir ini aku mulai mempertanyakan keputusanku dua puluh tahun yang lalu. Aku tidak menikmati hidupku seperti ada yang kurang.

Hari mulai gelap. Aku mulai mempersiapkan meeting dengan pimpinan perusahaanku di restoran Jepang di pusat kota. Aku menghafalkan semua angka-angka yang akan aku uraikan. Lalu aku pun siap.

Aku keluar dari kantor dan sopirku yang mulai beruban telah siap membukakan pintu mobil untukku.

Sesampainya di restoran, aku diantar ke ruangan VIP yang telah dipesankan untuk kami. Sebelum masuk ke dalam, aku melepas sepatuku karena begitulah aturan di restoran ini.

Di depanku telah disiapkan beberapa mangkuk berisi sayuran dan buah segar. Kemudian ada timba kecil dengan potongan es di dalamnya. Serta keranjang dengan beberapa botol minuman keras di dalamnya. Tamuku hari ini menyukai minuman keras. Aku ragu kalau sake saja akan memuaskannya. Jadi aku memutuskan untuk mempersiapkan minuman keras.

Kalau aku sendirian, aku lebih memilih sebotol anggur berumur tua, tapi tamuku kali ini adalah seseorang yang merangkak naik dari nol. Sebelumnya dia adalah seorang tukang bangunan, kemudian karena kerja keras dan hinaan orang lain, dia memacu dirinya bekerja dengan keras hingga akhirnya sampai di posisinya hari ini.

Orang-orang seperti ini tidak mengerti kenikmatan segelas anggur. Anggur, di matanya hanya dinikmati oleh banci. Aku sudah melakukan riset. Dia akan lebih menyukai minuman keras yang umum dijumpai di toko biasa daripada anggur asam yang kadar alkoholnya tidak seberat minuman keras. Semakin tinggi kadar alkoholnya semakin baik. Semakin keras. Semakin jantan.

Kemudian ada bunyi langkah-langkah berat di luar, aku tahu tamuku sudah sampai. Aku berdiri saat pintu geser dibuka. Tampaklah seorang pria paruh baya berkepala botak dengan perut membuncit. Langkah-langkah yang berat diiringi dengan nafasnya yang berat pula. Aku mengkhawatirkan kesehatannya.

Aku mengangguk, tersenyum dan berkata, "Pak bagaimana kabarnya?"

"Baik James. Wah sudah berapa tahun kita tidak bertemu ya pak. Kok saya kelihatan lebih tua tapi kamu tetap masih sama ya. Wah istrimu pintar ya mengurus suami." Katanya sambil tertawa keras.

Aku hanya tersenyum mendengar hal itu. Kalau saja dia tahu.

Makanan kami diantarkan oleh pelayan berbaju kimono, seolah-olah untuk memastikan keotentikan tempat ini. Lagu yang mengalun pun khas musik jepang kuno. Sesekali terdengar bunyi bambu-bambu yang berisikan air saling bergerak seirama di depan ruang VIP tempat kami bertemu.

Hidangan yang disajikan mayoritas berbahan dasar daging ikan segar yang diolah menjadi beberapa olahan nikmat. Ada sebuah piring besar yang di atasnya ada kepala ikan dan tulang-tulang serta ekornya. Ditata begitu rapi dengan daging ikan berwarna pink yang dipotong rapi memanjang di atas tulang ikan tersebut. Ada semangkuk besar sup dengan kuah berkaldu, yang di dalamnya ada potongan ikan, udang, sayur serta rumput laut. Kemudian ada sebuah nampan kayu berukuran cukup besar berbentuk kapal laut yang didalamnya ada aneka sushi yang berwarna warni. Cantik sekali.

Semuanya terasa terlalu banyak untuk kami berdua. Namun sesuai ajaran ayahku, di saat kita hendak mengajak makan keluarga atau partner bisnis, makanan yang ada tidak boleh kurang, karena hal itu adalah salah satu cara kita menghargai orang yang kita temui.

Kemudian kami berbincang-bincang hingga kontrak telah selesai ditandatangani. Lalu tiba waktunya kami berpisah.

"James, ayo kita pindah tempat saja. Tempat ini terlalu sepi buat ngobrol enak."

"Boleh pak, mau lanjut kemana?"

Dia lalu memberikan lokasi sebuah bar langganannya, lalu kami berangkat kesana dengan mobil masing-masing. Sesampainya disana kami dibawa masuk ke ruangan VIP di lantai dua. Dari atas kami bisa melihat anak-anak muda menari mengikuti dentuman musik.

Ruangan di lantai dua sedikit lebih kedap suara sehingga kami bisa berbicara lebih santai disini sambil menikmati suasana di lantai satu.

Yah aku pernah muda juga jadi tempat seperti ini tidak membuatku kaget. Tapi aku memang jarang ke tempat seperti ini kecuali saat menemani klien.

Aku melihat anak-anak seumuran Mike menari dari atas. Dan ada sebuah tiang di atas panggung di depan. Di situ ada beberapa anak yang pandai menari yang bergoyang serempak. Mungkin penari profesional, pikirku. Karena mereka bertiga tampak begitu kompak gerakannya. Bahkan bajunya pun senada. Terlalu minimalis untuk seorang perempuan.

Musik yang terdengar begitu keras sampai aku harus berteriak saat berbicara dengan klienku.

"James, kamu bisa minum banyak kan?"

"Saya satu gelas saja pak" jawabku sambil tersenyum ringan. Aku bukannya anti minum minuman keras, hanya saja aku tidak mau pulang dalam keadaan mabuk. Karena aku tidak mau memberi contoh buruk pada Mike. Sudah cukup Mike melihat ibunya seperti itu. Dan aku cukup yakin kalau Mike bisa membaca situasi yang ada. Aku seringkali menyusun kalimat untuk memberikan pengertian kepada Mike, tapi entah kenapa lidahku selalu terasa ngilu saat berhadapan dengan anakku. Mungkin karena rasa bersalah sebagai orang tua.

Pintu ruangan kami terbuka dan ada beberapa pelayan dengan baju seksinya masuk sambil membawa gelas-gelas berisi bir dingin. Mereka menaruhnya di meja bulat kecil di depan sofa kami kemudian mereka duduk di sebelah kanan dan kiri kami. Hal itu sudah lumrah. Biasanya tamu VIP didampingi wanita untuk membantu menuangkan minuman, menyanyi, menari dan banyak hal lainnya yang uang bisa dapatkan.

Aku melihat pendamping di kananku. Usianya masih sekitar belasan tapi riasannya sangat mencolok. Make up nya tampak berat dan warna rambutnya terlihat tidak alami. Gaun hitamnya yang spandeks terlihat sangat ketat menempel dengan bau parfum murahan yang langsung menyeruak saat dia duduk di sebelahku.

Tamuku terlihat sangat bahagia malam ini. Dia menceritakan perjalanan hidupnya dari nol hingga hari ini sambil meneguk bir seperti air putih. Sesekali dia menepuk dan meremas pantat gadis bergaun biru tua di sebelahnya dan menyisipkan beberapa lembar uang di tangan dan dadanya. Mata gadis berbaju biru itu terlihat berbinar. Dia pasti sangat senang hari ini bisa membawa pulang tips cukup banyak. Semakin malam gadis itu menarik gaunnya semakin ke atas. Tangannya dengan lincah melakukan tugasnya.

Aku mengerang dalam hati… Malam ini akan menjadi malam yang panjang. Tapi toh tidak ada yang menungguku.