"Iya kan James, itu cewe yang di Bali waktu itu kan?"
Aku merasa jengkel dengan sebutan "cewe" Rey terhadap Anne. Kurasa Anne tidak pantas hanya diberi label "cewe".
"Iya benar. Dulu kamu tidur dengannya kan Rey?" Tanyaku sengit.
"Wow wow tunggu dulu. Aku tidak mungkin lupa kalaupun iya James. Waktu kita ke Bali setelah kamu lulus kuliah itu kan."
"Aku tidur sama cewe tapi bukan dia." Lanjutnya.
"Tapi waktu kamu menelponku saat beritanya masuk di televisi, kamu jelas-jelas bilang begitu Rey." Aku mulai geram dengan otak Rey yang dangkal.
"Emang aku bilang apa waktu itu?" Rey memasang muka bodohnya seolah-olah dia hilang ingatan.
Kamu berkata, "Ya kenapa tidak James? Kemarin kan libur panjang. Waktunya bersenang-senang kan."
"Ya tapi itu bukan berarti aku tidur dengannya James. Aku kan cuma bilang kenapa tidak." Sahutnya ringan.
Aku merasa seperti disiram air dingin. Otakku mulai menyusun kejadian saat itu.
"Waktu di Bali aku melihat kalian berpegangan tangan, di restoran dekat pantai."
Rey menengadah seperti mencoba mengingat, "ooohh… ha ha ha… itu saat aku ditolak cewe itu. Malamnya aku cari cewe lain yang lebih hot. Yang lebih aduhai. Biasalah sok alim, James."
Aku langsung merasa lemas. Aku merasa seperti orang dungu. Bagaimana mungkin aku mengambil kesimpulan atas pengamatanku sendiri.
Kecemburuan anak usia tanggung digabungkan dengan emosi yang meletup-letup telah mengacaukan penilaian rasionalku. Sebongkah penyesalan langsung menghantam dadaku. Menilik dari hidupku yang getir saat ini hanya karena kesalahanku saat itu.
Aku berpisah dengan Rey menuju kembali ke kantorku.
Aku meninggalkan Star Noodle dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan bahagia bertemu kembali, sedih melihat kondisi Anne dan tiba-tiba, dan ada perasaan nervous atau excited yang seharusnya tidak boleh kurasakan.
Anne yang hangat. Anne yang ceria. Anne yang hidup. Aku mendesah mencoba menghalau ribuan pikiran "seandainya" yang terus memberikan pilihan yang seharusnya bisa menjadi hidupku saat ini.
Stop. Aku tidak akan bisa memutar balik waktu. Aku harus berkepala dingin dan menjalani hidupku sekarang. Betapapun parahnya.
Aku telah kembali di kantorku. Aku cepat-cepat menyelesaikan semua hal yang menjadi tanggung jawabku. Kemudian melirik arlojiku kembali, waktu sudah menunjukkan pukul lima. Aku bergegas keluar dan memberikan beberapa instruksi ke sekertarisku kemudian meninggalkan kantor tepat pukul lima tiga puluh.
Aku tiba di rumah dan langsung naik ke atas, mandi cepat dan berganti pakaian. Lalu turun ke bawah dan Wina, pelayanku sedang menyiapkan hidangan untuk ulang tahun Mike.
"Sudah hampir siap, Pak. Bapak mungkin mau minum dulu? Bisa saya ambilkan."
"Segelas air dingin saja sudah cukup Win," sahutku.
"Baik pak." Lalu dia memberikanku segelas air dingin dengan perasan lemon di dalamnya. Wina selalu memperhatikan detail kecil yang kusukai.
Ada bunyi sepatu berhak turun dari lantai dua. Dan aku melihat istriku turun.
Lucy tampak mengesankan dengan rambut pendek yang tertata rapi. Anting-antingnya yang panjang menjuntai hingga bahunya. Gaunnya kemben putihnya pendek, ketat dan menonjolkan bahu yang kecoklatan dan kencang serta pinggang yang ramping hasil olahraga beruntun setiap harinya. Belahan dadanya terlihat samar-samar saking ketatnya gaun itu. Ada sebuah kalung mutiara asli di lehernya. Tidak berlebihan tapi mewah.
Walaupun aku sudah tidak merasakan apapun terhadapnya. Tapi aku terkesan dengan penampilannya. Bagaimanapun juga aku tetap laki-laki normal.
"Hai Lucy." Sapaku ringan.
"Hai James."
Mike keluar dari kamarnya yang di bawah. Dia menutup pintunya agak terlalu keras. Aku memutuskan untuk membiarkannya. Mungkin Mike hanya ingin memancing amarah kami. Tapi aku tidak ingin mengacaukan hari ini.
Mike terlihat sangat jangkung dengan tinggi badan seratus delapan puluh dua. Tinggi kami sama sekarang. Dia mengenakan T-shirt hitam dengan gambar tengkorak dan celana jeans belel yang sobek-sobek di bagian lututnya. Ada seuntai kalung besar yang menggantung di lehernya. Rambutnya acak-acakan seperti baru bangun tidur dengan mata yang sembab karena bermain game seharian.
Hari ini Mike akan berusia delapan belas tahun. Waktunya memperlakukan Mike seperti orang dewasa.
Wina tersenyum melihat kami bertiga, "Hidangan sudah siap."
Mungkin dalam setahun Wina hanya melihat hal ini terjadi sekali saja. Wajahnya tampak bahagia. Aku melihat secercah harapan di mata Wina. Berharap kami berkumpul lebih sering seperti hari ini.
Aku duduk di ujung meja dan Lucy duduk di sisi kiri dan Mike di sisi kananku.
Hidangan pembuka telah disiapkan di depan kami. Aku membuka tutupnya dan mulai menyeruput sup ikan rempah. Doa bersama atau kata-kata manis tidak pernah menjadi tradisi di rumah ini.
Tekstur sup nya kental dan gurih yang cukup untuk membangkitkan rasa lapar tapi tidak cukup berat untuk mengenyangkan.
"Mike, selamat ulang tahun ya. By the way, apakah kamu sudah ada rencana mau melanjutkan kemana? Atau mungkin kamu mau ikut ayah sesekali ke kantor." Kataku.
"Belum. Mungkin lain kali." Sahutnya singkat.
"Kalau kamu belum mau mampir ke kantor tidak apa-apa Mike. Tapi kamu harus mulai menentukan jurusan apa yang kamu inginkan."
"Belum." Katanya singkat.
Aku mulai geram atas sikapnya, "Mike, kamu sudah berumur delapan belas. Kamu tidak bisa bermain game seharian dan tidak melakukan apapun. Lalu bagaimana masa depanmu nanti? Kamu sudah melewatkan tahun ajaran lalu. Apakah kamu akan melewatkan penerimaan mahasiswa tahun ini juga?"
Mike telah melewatkan penerimaan mahasiswa tahun lalu dengan dalih belum tahu dan yakin akan pilihannya. Tapi aku mendesaknya agar tahun ini dia segera memilih.
"James, mungkin Mike butuh waktu untuk berpikir." Sela Lucy.
Emosiku membara, apa yang dipikirkan istriku. Dia betul-betul tidak paham bahwa sikap cueknya hari ini hanya membawa Mike ke jurang masalah di kemudian hari.
"Setahun sudah cukup Mike. Segera pilih universitas yang kamu mau tahun ini."
Mike tidak menjawab apapun.
Darahku mendidih. Sampai kapan hal ini akan berlanjut. Aku sudah banyak memberikan pengertian, kelonggaran dan bahkan kesempatan pada mereka. Tapi yang terjadi hanyalah penundaan sia-sia semata.
Hidangan utama kami segera menggantikan mangkuk-mangkuk di hadapan kami. Sebuah piring besar berisikan sepotong daging tebal yang mengeluarkan kaldu meleleh di sebelahnya. Lengkap dengan sayur dan kentang lumat di sebelahnya. Dagingnya sangat empuk. Aku membayangkan daging sapi Kobe yang sekarang jumlahnya sudah sangat terbatas. Lembut sekali.
Kami melanjutkan makan malam dengan hening. Aku menghitung sampai tiga lalu berkata kepada, "Mike, tolong beri ayah keputusan paling lambat besok ya. Ayah akan menyiapkan formulir yang dibutuhkan. Kamu hanya perlu memilih."
Aku menatapnya tajam berharap Mike akan balas menatapku. Tapi dia hanya asyik memotong steak nya. Seolah-olah tidak ada apapun merisaukan hidupnya.
Aku menaruh pisau dan garpu dengan keras ke arah piring. Bunyinya sangat keras karena tidak ada suara apapun di sekitar kami.
Aku berdiri dan membelalakkan mata ke arah Mike, "Baik kalau kamu memang tidak mau berusaha sedikit pun. Mulai sekarang ayah tidak akan memberikan uang saku. Semua kartu kredit akan ayah tutup. Coba kita lihat, apakah tokoh game mu masih bisa bertahan kalau kartu kreditnya tidak lagi aktif!"
Aku tahu beberapa item dalam game bisa dibeli dengan kartu kredit. Dan karena Mike sangat mencintai game-nya. Mungkin cara ini akan mendorongnya untuk lebih berusaha bertanggung jawab.
"Jangan," katanya pelan.
"Jangan tutup kartu kreditku. Aku akan memilih besok."
"Baik. Besok pagi ayah harapkan kamu sudah tahu mau kuliah dimana dan jurusan apa yang kamu ambil. Kamu bisa mencari informasi atau meminta saran dari teman-temanmu yang sudah mulai kuliah tahun lalu."
Aku sudah kehilangan selera makanku. Tapi kulihat Lucy masih dengan lahap memotong dagingnya. Aku mulai meragukan kewarasannya. Apakah memiliki anak tanpa sedikitpun menunjukkan rasa sayang adalah hal normal yang dimiliki seorang wanita normal?
Aku mulai membandingkan penampilan Anne dan Lucy. Anne begitu hangat sedangkan Lucy dingin. Anne yang memiliki hidup tragis tapi masih bisa tertawa, sebaliknya Lucy dengan hidup berkelimpahan malah seperti manekin kosong. Tidak ada kehangatan dalam hatinya.