Chereads / One Perfect Mistake / Chapter 16 - Amarah

Chapter 16 - Amarah

Sore itu aku langsung kembali ke rumah. Aku telah berjanji pada Mike untuk sebisa mungkin selalu makan malam bersama. Udara yang gerah membuatku ingin berenang tapi saat teringat kegiatan Lucy di situ beberapa hari yang lalu. Aku mengurungkan niatku.

Aku langsung naik dan membersihkan diri. Lalu membaca cepat laporan yang masuk dari kantor sambil mempersiapkan pertemuan besok dengan akuntanku.

Akuntanku, Bob, adalah salah seorang kepercayaanku. Umurnya masih tiga puluh lima tahun tapi instingnya tajam dan nasihatnya biasanya tepat mengenai sasaran.

Bob sudah membantuku mengelola aset yang diwariskan ayah kepadaku selama sebelas tahun. Hingga umur mencapai kepala tiga, Bob masih saja setia dengan gelar bujangannya. Dengan tampangnya yang luar biasa tampan dan badan layaknya aktor korea, Bob banyak diburu wanita. Aku curiga Bob adalah seorang gay.

Besok aku harus mendiskusikan beberapa hal dengannya tentang aset-aset sebelum proses perceraian dimulai.

Aku membayangkan dia pasti akan mengomel saat bertemu besok. Dia sering kali menahanku saat akan memberikan aset ke Lucy. Dia berkata kalau perusahaan Lucy saat ini sedang tidak bagus kondisinya. Dan terlalu banyak memberikan bantuan hanya akan membuat kami rugi lebih banyak.

Seharusnya Lucy menutup perusahaan saat badai krisis moneter datang. Karena saat ini perusahaannya bertahan dalam kondisi yang menyedihkan. Ratusan staf diputus hubungan kerjanya secara sepihak dan staf yang masih dipertahankan hanya menerima upah yang tidak sepadan dengan kerja mereka.

Di awal-awal pernikahanku dengan Lucy, perusahaannya cukup kuat dan menghasilkan. Namun setelah diterpa berbagai masalah dan pada akhirnya krisis keuangan datang, perusahaan Lucy tidak cukup kuat untuk menghadapinya.

Bob seringkali mempertanyakan keputusanku saat memberikan bantuan aset kepada Lucy. Bob sangat berhati-hati dalam segala pengeluaran.

Saat matahari telah terbenam, aku turun ke bawah. Saat aku hendak mengetuk kamar Mike, tiba-tiba pintu terbuka dan Mike hendak keluar dari kamarnya.

"Ayo kita makan Mike." Kataku sambil mengacak-acak rambut coklatnya yang mulai panjang.

"Baik ayah."

Kulihat parasnya terlihat lebih segar daripada kemarin malam. Memang masih ada bayang kehitaman di bawah kedua matanya, tapi hari gerakannya lebih cepat dan matanya terlihat bersemangat.

Saat kami sudah mulai makan, aku berkata pelan.

"Mike, ada hal penting yang perlu ku bicarakan denganmu."

Mike menyimak sambil mengunyah makanannya. Hari ini dia menghabiskan hampir separuh piringnya.

"Ayah memutuskan akan bercerai dengan ibumu."

"Praaaangg!!"

Mike menjatuhkan pisaunya seketika itu ke piringnya.

"Mike, kamu tentu tahu hubungan kami sudah tidak baik selama ini. Ayah ingin kamu tinggal dengan ayah nantinya. Tidak akan ada yang berubah Mike." Aku cepat-cepat menjelaskan. Aku takut Mike menutup hatinya lagi.

Sepertinya dia cukup kaget hingga diam beberapa saat namun kemudian dia berkata, "apakah aku masih bisa bertemu ibu?"

"Bisa Mike. Kamilah yang bermasalah Mike. Hubunganmu dengan kami akan tetap seperti biasanya." Aku memegang bahunya dan meremasnya pelan.

"Apakah ibu akan meninggalkan rumah ini atau kita yang akan pindah?"

"Untuk hal itu, ayah belum mendiskusikannya dengan ibumu. Dan ayah akan memberitahumu setelah kami memutuskan."

Mike tampak seperti akan marah tapi kemudian dia berkata, "kalau keputusan ayah sudah bulat… yah… aku bisa bilang apa."

Hatiku terasa teriris melihat anakku yang terluka karena hal ini, betapapun Lucy tidak peduli, Mike tetap masih mengharapkan ibunya suatu saat akan peduli kepadanya.

Kami lalu berbincang-bincang tentang kapan Mike akan mulai masuk kuliah sambil. menuntaskan makan malam kami. Mike terlihat agak nervous mulai kuliah. Sudah lama dia menutup diri dan bermain game seharian. Tidak mudah baginya untuk bersosialisasi langsung setelah sekian lama hanya bicara melalui alat komunikasi.

Aku berharap Mike bisa menjalankan kuliahnya tanpa terpengaruh perceraian orang tuanya.

Aku kembali menekuri laporan dari kantor yang tertunda karena pertemuanku dengan Anne siang tadi. Aku memaksa diriku membaca halaman demi halaman walau kadang bayang-bayang Anne muncul. Aku sulit berkonsentrasi. Ada sesuatu dalam diriku yang seperti tertahan tapi aku tidak tahu apa itu.

Aku berdiri dan berjalan menuju lemari es dan mengambil beberapa potongan es lalu menuangkan brandy ke dalam gelas itu. Wina selalu menaruh es batu di dalam lemari es di dalam kamarku sehingga aku tidak perlu turun saat membutuhkannya di malam hari.

Aku menyesapnya perlahan sambil menata ulang yang kualami dalam beberapa hari ini. Banyak perubahan yang akan terjadi, aku harus siap.

Aku mendengar suara pintu dibanting dari kamar utama. Aku melihat jam dindingku, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Waktunya masuk kandang singa. Aku memang menunggu Lucy pulang malam ini.

Aku keluar dari kamar dan mengetuk pintunya. Aku mendengar suara mengerang di dalam. Aku tidak peduli walaupun Lucy pulang dengan gigolonya. Malam ini juga, aku harus mengutarakan maksudku. Sudah lama aku menahan perasaanku. Aku tidak mau lagi diam saja.

Aku mendorong pintu kamar utama dan aku melihat Lucy sedang terbaring di tempat tidur yang berwarna keemasan sambil memegang kepalanya. Rambutnya yang pendek terlihat awut-awutan. Dia terlihat mabuk.

"Lucy."

"Apa James sayang? Tidakkah kau lihat aku sedang pusing? Bisa tidak kita bicara besok saja?" Suaranya berat dan serak seperti trlah menelan segalon bir.

"Tidak bisa Lucy. Kita harus bicara malam ini." Tandasku.

Perlahan Lucy menahan kepalanya yang berat dengan tangan bertumpu pada sikunya. Gaunnya malam ini terbuat dari satin keperakan dengan tali bahu kecil yang tipis. Lalu dia berdiri dengan susah payah dan duduk di sofa di tengah ruangan.

"Kenapa James?"

Kulihat singa sudah mulai marah dan tidak ada gunanya bermain lebih lama, kalau tidak ingin berakhir dengan luka-luka. Aku menyusulnya dan duduk di sofa di hadapannya.

Lucy duduk dan menyilangkan kakinya yang dibalut stocking hitam. Gaunnya yang keperakan menonjolkan putingnya yang masih kencang di usia kepala tiga. Aku berani bertaruh, dia tidak memakai pakaian dalam di balik gaunnya. Atau mungkin dia meninggalkan pakaian dalamnya di suatu tempat setelah kegiatan maksiatnya.

"Aku memutuskan untuk bercerai."

"Itu keputusanmu James tapi aku belum memutuskan. Seharusnya kamu bertanya dulu kepadaku sebelum memutuskan."

"Hubungan kita sudah bertahun-tahun tidak baik Lucy. Aku tidak ingin menahanmu lebih lama lagi."

"Tapi aku masih membutuhkanmu James sayang." Matanya menatapku tajam. Inilah Lucy yang sesungguhnya.

"Katakan saja Lucy, berapa yang kamu butuhkan. Asalkan aku sanggup, aku akan membantumu."

Lucy menyebutkan sebuah angka fantastis yang nilainya langsung membuatku melotot. Lucy memang selalu serakah. Tidak ada yang bisa memuaskannya.

"Apa maksudmu? Apakah kau hendak merampokku? Hah? Kau tahu kan nilai perusahaanmu sudah jatuh lama. Lebih baik kamu menutupnya kalau ingin selamat Lucy."

"Tapi aku menyukainya. Perusahaanku. Itu adalah kerja kerasku."

"Perusahaanmu tidak pernah menghasilkan untung selama sepuluh tahun terakhir Lucy. Aku tidak mungkin mengorbankan perusahaanku untuk keputusanmu yang egois!"

"Baik. Kalau begitu aku tidak mau bercerai."

"Tidak, Lucy. Aku akan bercerai darimu. Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku. Aku akan membawa Mike dan memberinya kehidupan yang lebih normal."

"Memangnya selama ini kita tidak hidup normal?"

"Apakah menurutmu normal seorang anak melihat ibunya berhubungan dengan pelatih yoganya, petugas kolam, pelatih renang?! Tidak sekalipun kamu peduli akan Mike. Sikapmu yang seperti pelacur hanya akan meracuni Mike!" Bentakku.

Lucy menyulut rokoknya dan menghisapnya masuk ke dalam paru-parunya lalu menghembuskan asapnya ke arah mukaku sambil menyipitkan matanya, "kau pikir aku tidak tahu kalau kamu juga sering berpesta dengan pelacur James?"

"Aku tidur dengan mereka karena aku tidak tahan tidur denganmu Lucy!! Kau begitu menjijikkan. Dan aku tidak mau berbagi."

"James sayang, pelacur yang kau tiduri juga sudah ditiduri ratusan laki-laki. Apa bedanya aku dan mereka" katanya lalu tertawa terbahak-bahak.

Kata-katanya mengenai relung hatiku yang paling dalam.

"Dokumen perceraian sudah kusiapkan. Dalam beberapa hari, dokumen itu akan sampai ke tanganmu. Pikirkan baik-baik keputusanmu Lucy. Terlalu serakah hanya akan membuatmu kehilangan lebih banyak."

Lucy mengangkat kakinya ke atas meja dan menyilangkannya diatas meja seperti sedang berpikir. Aku berdiri lalu meninggalkan kamar itu.