Lalu para manajer masing-masing bagian berbondong-bondong masuk dan menempati sofa di depanku. Aku duduk di bangku sofa paling ujung.
"Pagi semuanya. Kita mulai dari bagian produksi ya. Silahkan Pak Albert."
Pak Albert memulai laporannya mengenai kondisi mesin-mesin yang ada. Dan dilanjutkan oleh manajer pemasaran, keuangan, distribusi, IT, pembelian, ekspor impor, logistik dan audit.
Mereka semua merupakan lulusan terbaik di bidangnya. Mau tidak mau aku terkesan dengan presentasi singkat mereka. Hanya ada satu yang mengganggu pikiranku. Mereka masih muda dan untuk mengenal sebuah perusahaan dibutuhkan pengalaman bertahun-tahun. Dan rata-rata dari mereka baru bekerja di sini kurang lebih lima tahun, karena pendahulu mereka kebanyakan telah pensiun.
Laporan dari mereka terkesan sebagai pertanyaan. Mereka membutuhkan jam terbang lebih lama untuk bisa sekaligus menguraikan pilihan solusi yang harus diambil. Bukan sekedar melaporkan.
All in good time. Begitu pikirku. Untuk sementara ini, aku yang membantu mereka menguraikan masalah-masalah yang ada, kemudian menerapkan solusi tercepat dan sekaligus menyusun tindakan preventifnya.
Jam antik besar di pinggir ruangan tiba-tiba berdentang keras. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas. Aku segera menyudahi pertemuan kami dan membuat jadwal untuk minggu depannya lagi. Aku harus sering-sering memantau mereka, karena mereka masih belum cukup tahu seluk beluk perusahaan ini.
Aku mengambil ponsel dan jaketku kemudian berjalan ke arah mobilku yang telah menunggu di bawah. Kantorku terletak di lantai tiga, tapi aku memilih untuk naik dan turun menggunakan tangga dibandingkan lift. Aku menyeringai saat teringat perut Rey yang membuncit. Aku bangga masih bisa mempertahankan perutku yang rata walaupun tidak sixpack seperti Rey saat muda dulu. Aku berusaha tetap bugar dengan kegiatan sesederhana menggunakan tangga kantor setiaphari.
Aku menyebutkan nama tempat makan yang tertulis di pesan dari Rey. Aku merasa belum pernah ke tempat itu. Bahkan aku tidak tahu ada tempat makan dengan nama "Star Noodle" di jalan yang disebutkan tadi. Mungkin restoran baru. Rey memang selalu cepat tanggap tentang hal-hal seperti ini. Aku tidak terlalu mengikuti tren yang ada karena aku memang cenderung konvensional.
Hal itu tercermin dari pakaianku. Aku mengenakan kemeja polos biru muda, setelan jaket sport krem dipadukan sepatu pantofel yang nyaman. Aku melihat bayangan wajahku pada kaca mobil. Terlihat masih sama seperti dulu. Wajah tirus dengan garis rahang kuat. Hidung yang menunjukkan kekerasan hati dan rambut yang masih belum beruban walau umurku sudah diatas empat puluh. Dengan penampilan seperti ini tidak akan ada orang yang percaya kalau rumah tanggaku kacau balau. Aku tersenyum kecut.
Beberapa orang menganggap hidupku sangat mudah. Memang paling mudah menilai orang dari penampilannya.
Aku sampai di tempat perjanjian. Aku tertegun saat melihat bagian depan "restoran" yang disebutkan Rey. Ternyata bangunan tua dua lantai yang lebih tepat disebut depot. Bukan selera Rey pikirku. Aku mengecek ulang nama dan alamat yang disebutkan. Semuanya sudah sesuai.
Aku melangkah masuk dan bagian dalamnya ternyata juga tidak spesial. Hanya ada sekitar sepuluh meja kotak dengan empat kursi masing-masing. Ada pendingin ruangan yang bunyinya menderu-deru karena usianya yang tua. Tempatnya bersih dan nyaman dan ada bau minyak wijen yang lazim dipakai di restoran cina.
Rey memanggilku untuk duduk di salah satu meja. Kemudian ada seorang pelayan menghampiri meja kami dan mengambil pesanan kami dengan cekatan. Kulihat harga yang tertera juga sangat murah.
"Sering makan disini Rey? Enakkah makanannya?" Tanyaku karena penasaran dengan pilihan Rey kali ini.
"Coba lihat meja kasirnya" Rey mendoyongkan tubuhnya dan berbisik pelan ke arahku.
Aku menoleh ke arah meja kasir dan hatiku mulai merasa sakit. Jantungku berdegup kencang. Anne!!
Anne duduk di meja kasir sedang sibuk menghitung sesuatu dengan kalkulatornya. Aku masih mengenal wajahnya walaupun puluhan tahun berlalu. Wajahnya masih cantik di umurnya yang sekitar tiga puluh tujuh kalau aku tidak salah. Dia mengenakan kacamata dengan rambut yang terikat rapi di belakangnya. Kulihat kerutan di wajahnya menggambarkan betapa berat hidupnya selama ini.
Aku menoleh kembali ke arah Rey, membelalakkan mata untuk memperoleh penjelasan.
"Beberapa hari yang lalu, aku memesan dari layanan antar dari depot ini. Ternyata enak James. Lalu aku mampir saat sedang ada urusan di dekat sini."
"Ternyata pemiliknya anak yang kita kenal waktu liburan kuliah itu kan. Ingat tidak kamu, James?" Lanjutnya.
Apakah aku ingat? Aku bahkan tidak ingat kapan aku pernah benar-benar menghapus ingatan waktu itu. Hatiku kembali panas. Rey bahkan tidak ingat namanya. Padahal dia telah tidur dengan Anne saat itu.
"Aku ingat. Namanya Anne. Waktu liburan itu kalian tidur bersama kan?" Aku tidak bisa lagi menahan lidahku.
Rey tampak kaget dan dia mengerutkan dahinya. Mungkin berusaha mengingat ratusan wanita yang pernah tidur dengannya.
"Tapi aku tidak pernah tidur dengan cewe yang ini James. Cewe ini yang masuk televisi itu kan. Yang membunuh orang tuanya." Sahut Rey.
"Iya Rey kamu tidur dengannya. Waktu kamu menelepon saat dia masuk televisi kan kamu berkata begitu." Jawabku mulai agak meninggi.
"Ssssttt… James jangan keras-keras. Tidak enak kalau dia dengar kan. Kamu mau jadi korban juga?" Candanya.
Tapi aku merasa hal itu tidak lucu. Aku tidak pernah merasa Anne adalah pembunuh. Aku menolak percaya akan hal itu.
Makanan kami cepat sekali di antarkan ke meja kami. Aku memesan semangkuk mie dengan kuotie. Mienya kecil-kecil dengan potongan daging berbumbu di atasnya. Ada kuah berkaldu di mangkuk kecil sebagai tambahannya. Wangi bawangnya membuatku ingin segera mencicipinya.
Enak. Enak sekali. Kuah kaldunya menyatu dengan mie-nya dan menghasilkan sensasi gurih yang lengkap. Kuotienya kenyal diluar dan empuk di dalam. Wangi jahe dan minyak wijen menambah citarasanya.
Aku merasa sudah lama sekali tidak menikmati mie dengan citarasa kuno seperti ini. Di era pertumbuhan saat ini, semua orang mencari penemuan resep baru yang penampilannya luar biasa sehingga kadang melupakan resep kuno sederhana seperti ini.
Dalam waktu singkat, mangkuk ku sudah kosong. Kulihat Rey sudah memulai mangkuknya yang kedua. Aku juga mulai makan dari mangkuk yang kedua.
"James, kamu makan sebanyak yang aku makan. Kok bisa kamu tetap kurus? Tidak seperti ini." Katanya sambil menepuk-nepuk perutnya dan menyeringai seperti anak kecil.
"Kamu mau tahu apa resepnya, Rey? Kamu tahu makanan apa yang rutin kumakan?"
"Apa?"
"Makan hati" kataku
Dia langsung tertawa terbahak-bahak. "James… James… kan sudah sering ku nasihati. Jadi orang jangan terlalu serius lah. Anggap saja semua itu permainan. Jadi kamu tidak akan stress."
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Rey tidak jahat. Tapi serius memang bukan hal yang cocok buatnya.
Setelah selesai makan, aku buru-buru ke meja kasir supaya bisa bertemu Anne. Aku menguatkan hatiku agar suaraku tetap datar.
"Meja tujuh. Berapa ya semuanya?"
"Meja tujuh, baik saya hitungkan Pak." Sahutnya dari balik meja kasir tanpa mengangkat mukanya.
Setelah aku membayarnya. Aku berkata "Halo Anne, sudah lama tidak ketemu."
Anne mengangkat mukanya. Aku melihat figurnya yang masih seperti dulu. Garis-garis tawa telah digantikan oleh garis-garis kesedihan yang tersurat dalam. Pipinya sekarang lebih tirus. Bola matanya yang coklat muda masih hangat seperti dulu. Lalu dia tertawa. Betapa menyenangkan bunyinya.
"James ya? Halo James. Kita bertemu di Bali ya." Tiba-tiba raut mukanya berubah murung. Tapi cepat-cepat dia berkata, "sudah lama ya tidak bertemu, bagaimana kabarmu James?"
"Baik Anne,kamu bagaimana?" Aku melirik jemarinya yang dulu langsing kini tidak terawat sepertinya yang lazim dimiliki orang yang telah banyak melakukan pekerjaan kasar. Tidak ada cincin disitu.
"Baik James. Yah beginilah sekarang aku. Berjualan mie."
Ada suara dehem dari belakangku. Rey berdiri disitu dan sepertinya dia sudah tidak sabar ingin keluar.
"Oke Anne, nanti kapan-kapan aku mampir lagi ya." Aku tersenyum dan Anne juga tertawa. Giginya rapi dan tawanya menular.
"Ya James. Thank you ya. Sering-sering mampir ya.
Aku pun keluar meninggalkan restoran dengan ratusan pertanyaan dalam benakku.