Chereads / One Perfect Mistake / Chapter 6 - Penyesalan

Chapter 6 - Penyesalan

Aku berlari menuruni tangga rumahku seperti terbang. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa masuk ke dalam mobilku tanpa ada sopir menemani. Yang aku ingat adalah tatapan penuh ingin tahu dan kasihan di mata pelayan, satpam dan sopirku.

Aku memacu mobilku keluar dari rumah sekencang-kencangnya. Aku tidak ingat kemana aku pergi. Amarah dalam hatiku membuncah. Apa yang salah. Kenapa semua berantakan seperti ini. Walaupun pernikahan kami melalui proses perkenalan orang tua, tapi kami tetap melalui masa pacaran singkat dan dalam pandanganku, pernikahan kami sakral. Aku tidak pernah sekalipun menghianati istriku walau sering kali tergoda.

Bertahun-tahun aku menahan godaan dari luar, hanya karena aku berharap suatu saat semua tembok yang dibangun Lucy akan runtuh. Aku selalu berharap suatu saat Lucy akan kembali bersikap hangat seperti pada saat pertama kali kami bertemu.

Pernah suatu kali sekretaris pribadiku memberikan sinyal yang sangat-sangat jelas kepadaku. Namanya Jane, rambutnya kecoklatan biasanya disanggul rapat dan dia masih muda. Kerjanya bagus dan dia juga cekatan.

Suatu hari Jane datang ke kantor dengan setelan blazer ketat dan tank top putih polos. Roknya yang selutut juga sangat ketat sehingga aku heran bagaimana dia bisa memasukkan pinggulnya ke dalam rok itu tanpa kesulitan.

Saat jam makan siang tiba, sekertarisku masuk ke dalam kantorku untuk bertanya menu makan siang. Dia masuk tanpa menggunakan blazer dan tank top putihnya nyaris tembus pandang. Dan mataku belum rabun. Aku melihat samar-samar buah dadanya tidak ditutupi apapun. Lalu dia bertanya perlahan, "siang ini mau saya pesankan apa pak?"

"Pesankan di depot sebelah saja, Jane dan jangan lupa kopi espresso hitam ya."

"Baik pak."

Tidak lama setelahnya Jane masuk lagi. Kali ini rambutnya tidak disanggul, tapi terurai lebat. Rambutnya bergelombang dan berkilau. Blazernya tetap belum dipakai. Aku hanya berpikir apakah dia membeli kopi dengan baju seperti itu, kalaupun iya, seharusnya Jane bisa lebih hati-hati. Tapi....ah sudahlah, Jane sudah dewasa, mungkin dia ada alasan tersendiri. Dan memang cuacanya panas sekali. Dan aku juga bukan pria tua yang terlalu kolot.

Dia menaruh kopi dan makanan di meja kecil disamping meja utamaku. Bau parfumnya tiba-tiba menyerbu indra penciumanku. Tiba-tiba aku merasa Jane sangat seksi. Saat dia menata makanan di meja sesekali dia membungkuk. Aku bisa melihat pantatnya seperti memberontak ingin keluar. Pahanya putih dan terawat. Bahkan betisnya pun mulus.

Aku pun berdehem. "Jane, hati-hati kalau keluar kantor. Bajumu… ehm bajumu Jane."

Sampai disitu aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku kembali menatap layar laptopku. Kurasa pesanku sudah cukup jelas. Jane sudah dewasa, dia pasti paham maksudku untuk lebih berhati-hati.

Jane berjalan menuju ke arahku. Aku otomatis menoleh ke arahnya, karena bunyi sepatunya yang semakin mendekat. Mau tidak mau aku menengadah, karena posisi Jane yang sangat dekat dengan kursi yang kutempati.

Saat aku menengadah aku melihat matanya berkilat dan bibirnya tersenyum penuh arti. Jantungku berpacu kencang. Aku paham maksud Jane. Tapi aku laki-laki yang sudah menikah.

Di sisi lain istriku begitu dingin, sedangkan Jane dengan sukarela menawarkan. Tidak… tidak… aku menghalau semua pikiran kotorku. Mungkin karena sudah lama sekali aku berhubungan, pikiranku mulai melantur kemana-mana.

"Pak, sudah lama saya kagum sama bapak. Bapak tahu kan bapak ini sosok ideal saya. Sukses. Tekun. Tenang," katanya sambil memainkan kancing bajunya.

"Jane, jangan begini. Saya sudah menikah. Kamu masih muda, Jane. Jangan terlibat hal-hal seperti ini." Sanggahanku bahkan terdengar begitu lemah di telingaku sendiri.

"Bapak tahu kan kalau saya selalu ada disini." Dia pun melepas kancingnya satu demi satu sambil menunduk ke arahku.

Aku mulai menegang. Ini salah. Sangat salah. Keluarga kami memang bermasalah tapi kami pasti bisa mengatasinya. Dan aku tidak pernah menyelesaikan masalah dengan menambah masalah baru. "Jangan Jane. Ini tidak baik."

Jane mulai menurunkan tali tank topnya Ternyata memang benar tebakanku, dia tidak menggunakan apapun di dalamnya. Aku melihat buah dadanya sangat besar, kontras dengan ukuran pinggang dan pinggulnya yang ramping. Aku mulai mengerang.

Aku pun berdiri dengan kekuatan terakhirku. "Jane, saya mau keluar dulu. Kamu pikirkan baik-baik tindakanmu hari ini ya."

Lalu aku pun selamat dari perselingkuhan.

Tidak lama kemudian Jane mengajukan pengunduran diri dan aku mendengar Jane bekerja di perusahaan lain sebagai sekretaris direktur yang umurnya tiga kali lipatnya. Aku berharap Jane sudah membenahi cara berpikirnya.

Hari sudah larut malam saat aku tiba kembali ke rumahku setelah adegan perselingkuhan Lucy.

Semua kepingan di kepalaku sudah siap untuk disusun tapi ada satu hal yang aku belum ketahui. Dan aku bertekad akan mencari tahu jawabannya malam ini.

Saat aku datang, satpamku dengan sigap membukakan pagar dan menjaga agar tidak melihat mataku secara langsung. Semua penghuni rumah ini pasti telah mendengar apa yang terjadi sore tadi.

Aku membuka pintu depan. Sunyi senyap. Sepertinya semua sudah tidur. Aku menaiki tangga rumah dan langsung masuk ke kamar utama. Disitu aku melihat istriku tertidur dengan nyenyak. Rambut pendeknya terburai di atas bantal bulu angsa. Gaun tidurnya yang transparan menggambarkan lekuk badannya yang luar biasa. Tidak heran pria-pria tertarik padanya.

Satu pikiran jahat menyeruak ke dalam kepalaku, sudah pasti istriku terlelap. Setelah "olahraga"nya yang beberapa ronde setiap harinya. Tidak heran dia tetap langsing dengan porsi makan cukup besar untuk seorang wanita. Aku tersenyum sinis.

Aku menghampiri tempat tidur kami yang besar, ada tiang-tiang keemasan di keempat sisinya. Di bagian atas ada penutup untuk menyandingkan kelambu. Sprei putih bersih menghampar dengan selimut tebal berwarna putih. Aku merasa jijik. Apakah tempat ini sudah sering ditiduri pria lain selain diriku?

"Lucy, kita harus bicara." Aku menepuk pelan lengan istriku. Aku merasa bangga terhadap ketenangan suaraku. Untuk seorang suami yang baru saja mendapat berita penghianatan, suaraku terdengar datar. Tapi kenapa aku merasa kosong dan tidak peduli.

Hanya ada amarah namun bukan cemburu. Apakah aku benar-benar mencintainya?

Perlahan Lucy membuka matanya dan bangkit untuk duduk. Aku bisa melihat gaun sutranya yang panjang berwarna pink muda sangat menggoda. Belahan dadanya sangat rendah sehingga dadanya hanya tertutup separuh saja.

"Kenapa, James?"

"Kenapa? Kenapa katamu? Aku melihat kalian sore ini… dan kamu masih bertanya kenapa?"

"James, tugasku sudah selesai. Perananku sebagai istrimu berakhir setelah Mike lahir."

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti Luc."

"Tidak usah berpura-pura James sayang. Kita sama-sama tahu dramanya sudah berakhir kalau kesepakatan ayah kita sudah tercapai."

Bagaikan ada halilintar menyambar kepalaku. Aku benar-benar kaget dengan ucapannya. Kesepakatan apa? Drama apa?

"Apa maksudmu?"

"Oh jadi James the great son tidak tahu apa-apa ya. Betapa indah hidupmu James. Sudah lama ayahku berhutang besar pada ayahmu, James. Dan saat kamu memilihku di hari perkenalan kita, aku tidak punya pilihan lain kan." Lucy berkata sinis.

"Saat Mike sudah lahir seharusnya peranku sudah selesai James. Sekarang aku ingin menikmati hidupku. Besok pengacaraku akan mengirimkan dokumen perceraian ke kantormu."

Hatiku bagaikan tersayat sembilu. Potongan teka-teki yang ada di kepalaku lengkaplah sudah. Aku tidak tahu kesepakatan apa yang dibuat ayahku dengan ayah Lucy. Tapi penjelasan Lucy sudah lebih dari cukup untuk aku memahami kondisi yang ada.

"Lucy…, tolong pertimbangkan kembali. Mike baru empat tahun. Dia membutuhkan kita berdua."

Lucy tersenyum manis, "sebenarnya James, bercerai ataupun tidak, tidak ada efeknya buat aku. Aku juga tidak berminat menikah lagi. Bahkan aku bisa menikmati fasilitas karena menjadi bagian keluarga Marcus. Tapi aku ingin kebebasan, James. Bebas"

"Kalau kamu ingin aku tetap menjadi ibu buat Mike, jangan halangi aku. Aku bebas melakukan apapun."

Terbayang di kepalaku pipi montok Mike yang kemerahan kalau menangis. Dan betapa cerewetnya anak itu sekarang. Mike anak yang lincah dan cerdas. Aku ingin Mike mendapatkan keluarga yang lengkap, walaupun itu berarti harus mengorbankan diriku.

"Baiklah Lucy kalau itu yang kau inginkan. Aku bisa menjalaninya." Aku menjawab lemas.

Dan hari itu adalah hari terakhir aku menginjakkan kaki di kamar utama. Keesokan harinya, kamar kerjaku mempunyai penghuni baru yaitu tempat tidur. Kami tidak pernah lagi sekamar.