Liburan itulah awal pertemuanku dengan cinta pertamaku, Anne Joseph. Aku langsung berkenalan malam itu saat bertemu lagi dengannya saat makan malam di restoran resort. Lalu kami mengobrol ringan tentang kota asal kami yang ternyata sama. Aku mulai merasa dialah jodohku. Bagaimana tidak. Dunia begitu luas namun kami yang berasal dari tempat yang sama bisa bertemu di sini.
Bahkan ada salah seorang sepupuku yang umurnya sebaya denganku, Reynald, dia juga menaruh hati pada Anne.
Kenapa tidak, pembawaan Anne begitu hangat dan tawanya sangat menular. Kami merasa dihipnotis saat bersamanya. Sementara orang tua kami berbelanja atau kadangkala sedang asyik menikmati fasilitas hotel, kami bebas untuk pergi kemanapun. Jadi aku, Anne, Reynald serta dua sepupu kami bermain-main di pantai, mencoba makanan khas Bali ataupun pergi ke wisata alam yang terkenal disana.
Penduduk disana sangatlah ramah, dengan kearifan lokal. Seringkali kami tersesat atau butuh bantuan, mereka tidak enggan membantu. Aroma kehidupan yang tenang dan damai terasa dalam batinku. Hiruk pikuk hanya terdengar di pusat-pusat kota, selebihnya kami mendapat alunan musik khas daerah dan keindahan yang sederhana. Kami juga dimanjakan dengan pemandangan yang luar biasa di setiap destinasi, sampai kadang kami sering lupa waktu hingga larut malam.
Aku dan Anne semakin dekat dan kami merasa "click." Mungkin begitu istilahnya. Entah apapun itu. Kami merasa sangat nyaman satu sama lain. Tapi kami tidak menunjukkannya di depan orang tua maupun saudara kami. Hanya kami yang merasakan api yang membara begitu besar ini.
Hingga akhirnya sampai pada hari terakhir aku berlibur disana. Hari itu aku bersumpah akan menyatakan perasaanku. Aku merasa seminggu sudah cukup untuk mengetahui bahwa Anne juga memiliki perasaan yang sama terhadapku.
Aku bersiap-siap hendak keluar siang itu saat orang tua ku sedang menikmati pijat refleksi.
Aku menelepon Anne untuk mengajaknya bertemu. Dia mengiyakan. Samar-samar aku mendengar suara ombak di belakangnya. Aah.. dia pasti sedang di pantai, pikirku. Kalau gadis-gadis biasanya menghindari sinar matahari karena takut kulitnya gosong terbakar matahari, Anne malah sebaliknya. Dia berkata kalau itu bukan masalah besar. Aku suka dengan keteguhan dan kecuekannya. Tidak semua gadis seperti Anne. Sekarang aku mengerti kenapa aku bisa menyukainya. Anne bukannya sangat cantik jelita. Tapi ada sesuatu yang menarik saat melihatnya. Dia terasa begitu hidup. Bukan cantik seperti manekin tapi terasa hampa di dalamnya.
Saat Reynald melihatku, dia berkata, "James, mau kemana kamu? Ikut dong, mau belanja oleh-oleh buat temen-temen kantor nih"
"Aku mau keluar sebentar sendiri sebentar Rey, ntar agak malam aja ya aku temenin." Buru buru aku meninggalkan cottage supaya Reynald tidak melanjutkan pertanyaan lebih lanjut. Aku berlari cepat menuju ke arah cafe tempat kami akan bertemu. Hehehe perang juga butuh taktik. Jangan sampai aku keduluan Reynald.
Sesampainya aku disana, Anne sudah duduk di sana. Sejenak aku berhenti sambil mengatur nafas karena terengah-engah setelah berlari.
Aku menikmati pemandangan indah di sekelilingku. Langit-langit cafe yang tinggi ditutup dengan daun-daun kering. Tiangnya berwarna coklat agar senada dengan meja dan lantainya yang berwarna coklat dengan ukiran-ukiran motif batik. Ada ornamen-ornamen di beberapa sudut dindingnya. Diukir dengan sangat hati-hati sehingga membentuk bunga-bunga yang cantik. Ada puluhan meja yang di dalam ruangannya yang lebar. Dan meja-meja tersebut dilengkapi kursi dan sofa yang beraneka ragam bentuk dan warnanya, seperti ada orang yang menaruhnya secara acak. Tapi hal itu hanya menambah daya tarik cafe tersebut. Ruangan ini terasa sangat hangat dan kulihat ada banyak juga pengunjungnya. Memang cafe ini adalah salah satu cafe yang populer di Bali. Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang menjadikan cafe ini salah satu tempat nongkrong dan menghabiskan waktu.
Anne duduk di salah satu meja di sebelah jendela yang menghadap langsung ke arah pantai. Satu kata yang bisa menggambarkan semuanya. Cantik.
Aku mencoba menenangkan hatiku sebelum berjalan ke arah Anne.
Aku menyapanya dan kemudian kami memesan hidangan laut yang segar. Ada ikan kakap, udang, cumi dan kerang yang diberi bumbu sedikit pedas yang dibakar diatas daun pisang yang menambah aroma wanginya.
Kami juga memesan jus buah yang dihias cantik gelasnya. Ada beberapa potongan lemon ditambatkan di ujung gelasnya. Dan aku bisa melihat bintik-bintik hiasan gula di ujung gelasnya.
Anne sedang asyik berbicara dan aku mendengarkannya. Dia bercerita tentang betapa orang tuanya sangat keras terhadap dia, karena dia adalah anak sulung. Liburan ini adalah liburan Anne yang pertama setelah lima tahun, karena Anne harus belajar keras demi beasiswa masuk ke universitas yang diinginkan. Apabila Anne tidak berhasil mendapatkan beasiswa, maka Anne harus mengikuti pilihan ayahnya.
Aku merasa kami memang ditakdirkan bersama, karena kami memiliki nasib yang hampir sama. Dia bisa memahami tekanan dari ayahku dan aku memahami tekanannya.
Kami bisa saling menertawakan dan membuat lelucon dari situasi yang kami hadapi. Kalau dulu aku hanya bisa menahannya di dalam hati demi orang tuaku. Kini aku punya seseorang yang bisa memahamiku seutuhnya. Betapapun kerasnya orang tuaku terhadapku. Aku masih tetap mencintai dan menghormati mereka, karena aku tahu, mereka pun banyak berkorban untukku.
Kami saling bertukar alamat dan nomor ponsel. Ternyata kami memang berasal dari kota yang sama. Sampai pada akhirnya aku mengungkapkan perasaanku. Dan dia tersenyum sambil memegang tanganku. Kami pun bergandengan dalam perjalanan pulang dengan perut puas dan hati gembira. Liburan ini sangat menyenangkan. Dan aku merasa sangat bersemangat. Kini aku merasa bisa menghadapi masalah apapun di kantor.
Sesampainya di depan pintu cottage, aku mengucapkan selamat tinggal dan berjanji akan menghubunginya setelah aku kembali ke kota asalku. Memang saat ini adalah saat terakhir aku bisa bersamanya di Bali. Nanti malam kami sekeluarga akan makan bersama karena besok pagi-pagi sekali kami akan berangkat ke bandara dan terbang ke kota asal kami.
Saat malam tiba, aku menelepon Reynald untuk berangkat bersama-sama. Namun dia tidak mengangkatnya…
Mungkin Reynald marah atau mengetahui kalau aku dan Anne sudah menjadi pasangan kekasih. Ah biarlah pikirku. Reynald kan masih punya banyak teman perempuan, dan aku tahu Reynald seringkali berkencan dengan perempuan yang berbeda dalam satu waktu. Dia mungkin marah sebentar tapi dia akan mengerti.
Kami berangkat ke restoran yang terletak di pesisir pantai di daerah Jimbaran. Kami tiba menjelang matahari terbenam, dan pemandangannya spektakuler. Hari ini matahari tidak tanggung-tanggung memancarkan sinarnya. Dan perlahan dia mulai turun seperti hendak membenamkan dirinya ke dalam lautan tanpa batas. Indah sekali.
Aku beberapa kali mengambil gambar sebagai kenang-kenangan dengan kamera tuaku. Kamera ini bukan kamera yang canggih tapi cukup untukku karena aku juga bukan fotografer yang mahir. Dan hasilnya pun sudah cukup memuaskanku. Pada dasarnya aku bukan orang yang menyukai barang-barang mewah walaupun uang bukan masalah kalau aku memang menginginkannya.
Lalu aku berjalan sedikit ke arah restoran di sebelah tempat keluarga kami berkumpul. Aku ingin mengambil gambar dari spot yang berbeda. Tiba-tiba hatiku seperti tertusuk duri.
Aku melihat Reynald sedang duduk berdua dengan Anne di sebuah meja di restoran itu. Mereka tidak melihatku karena sedang asyik bergurau. Dan aku melihat Rey memasang muka cemberut yang dibuat-buat kemudian Anne menepuk-nepuk punggung tangannya di meja sambil tertawa. Kemudian setelahnya Rey menangkap tangan Anne yang mungil lalu meremasnya. Hatiku terasa mendidih. Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja menjadi pacarku melakukan hal tersebut.
Aku pun berjalan kembali ke mejaku di restoran sebelah dengan hati membara. Namun api yang keluar kali ini bukanlah api romantis melainkan cemburu dan sakit hati. Aku merasa dibohongi. Yah memang ini cuma momen sesaat. Mungkin aku yang terlalu terbawa perasaan. Dan mungkin aku yang terlalu baper. Memang seingatku Anne tadi tidak menjawabku. Dia hanya tersenyum dan memegang tanganku.
Aku mengingat-ingat kembali adegan tadi sore saat aku menyatakan perasaanku. Konyol sekali. Aku merasa dungu.
Aku tertawa terbahak-bahak. Bajingan sombong. Ternyata aku kurang beruntung kali ini. Aku yang terlalu terbawa perasaan. Lesson learnt. Selalu dengarkan dan perhatikan baik-baik lawan bicaramu. Dan jangan mengambil kesimpulan sendiri.
Biasanya aku cukup tenang dan dingin. Tapi kali ini mungkin memang salahku yang terhipnotis oleh keadaan yang ada hingga mengabaikan pikiran sehatku.
Setelah makan, kami pergi ke toko oleh-oleh yang amat besar di pusat kota. Aku hanya ingin cepat pulang. Tapi toh aku tidak bisa terbang sendiri. Aku tetap harus menunggu jadwal penerbangan keesokan pagi. Dan tidak ada untungnya buatku untuk terus memasang wajah sakit hati, karena aku laki-laki. Aku tidak mau ditertawakan sepupuku karena masalah perempuan. Harga diriku tidak mengijinkan hal itu terjadi. Jadi aku memasang muka datar dan bersikap normal.