"Papa nggak mau nginap?" tanyaku sambil meremas tangan.
Ah lagi-lagi hanya diacuhkan. Padahal tadi kukira dia akan memberikan sedikit saja toleransi. Kalau hanya sekadar mengirimkan uang, jaman sudah semakin canggih kan? Transfer bisa!
Jika dagangan hanya untuk memberi harapan saja akan lebih baik jika tidak.
Sejujurnya aku ingin mengatakan itu. Namun bisa melihat wajah ayah lagi sungguh senang sekali rasanya, maka dari itu mau atau tidak aku harus bertahan dan terus saja membuka obrolan meskipun diabaikan.
"Nggak, kamu sudah malam?"
Sebenarnya sudah. Namun respon baik papa membuatku gegas mengangguk saja.
"Belum, Pa. Mau makan bareng ya?" balasku bersemangat.
"Nggak, makan malam dan yang lainnya secara teratur. Papa sibuk, nggak bisa nginep juga. Selamat malam," kata papa lantas meninggalkan kecupan di dahiku.
Meski singkat, namun efeknya membuatku ingin menangis karena terlampau bahagia. Syukurlah, demi apapun juga aku merasa amat bahagia saat ini.
Tak masalah jika papa tak menginap, setidaknya kan dia sudah sedikit lebih luluh dari biasanya. Itu lebih dari cukup!
"Iya, Pa, selamat malam juga ...."
Perlahan dengan suasana hati yang bagus aku melepaskan kepergian papa. Laki-laki yang sudah berumur setengah abad itu masuk ke dalam mobilnya lantas pergi meninggalkanku.
Lain dengan papa, lain pula mama. Wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini itu benar-benar merasa kalau aku tak lagi berguna. Kata bibi aku punya adik, namun rupa serta namanya sama sekali tak tahu.
Padahal jelas-jelas dia adikku, kami lahir dari rahim yang sama. Mendengus kesal, ya sudahlah mau bagaimanapun juga aku masih punya harapan papa kan?
Kembali masuk ke dalam rumah saat merasakan udara cukup dingin.
"Ekhem, gimana rasanya, Non? Cieee mukanya bahagia banget nih kayaknya," goda bibi yang sedang membereskan meja.
Hihi ini mah bukan lagi bahagia namun sangat!
"Apaan coba?" tanyaku balik sambil menahan tawa.
Hanya dengan bibi aku bisa seperti ini. Puas bercerita, membagi masalah tanpa khawatir akan dibenci ataupun yang lainnya. Nyaman rasanya bisa memiliki tempat bersandar.
"Sudah nggak usah malu-malu gitu, Non. Saya tahu kali kalau mau senyum bibirnya berkedut gitu nanti malah susah loh. Coba senyum yang lebar kayak saya," ejek bibi.
Dia bahkan mempraktekkannya membuatku terbahak-bahak. Aish dasar deh, memang hanya bibi yang tahu segalanya huhu.
"Dasar," kataku membalas bibi.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk tertawa. Lagian kayak sama siapa saja haha.
"Tapi sudah jam sepuluh malam loh, Non. Mending tidur saja sana, jangan alasan nggak bisa tidur takutnya besok bangun kesiangan lagi," ujar bibi yang ada benarnya.
Meski samar namun aku mengangguk setuju.
"Benar juga sih, tapi mungkin saja besok Riki jemput? Helmet dia ada di aku kok." Entah keberanian dari mana hingga ku membalasnya dengan begitu percaya diri.
Namun tak ada yang salah bukan? Helmet Riki benar-benar ada padaku kok. Dia sendiri yang salah karena tak buru-buru melepaskannya tadi. Yah, katakan saja bahwa dia sengaja!
"Hihi, saya yakin sih begitu. Nah makanya karena besok pagi-pagi 'kemungkinan' akan naik motor jadi nona gegas tidur ya. Kan nggak seru kalah tiba-tiba tidur di pundak nak Riki," papar bibi.
Ya, Riki meninggalkannya kemarin itu teledor.
Namun jika sampai dua kali, pasti kesengajaan. Dan nggak seru kalau aku berangkat tapi menempel padanya. Pagi tadi saja karena terburu-buru aku hampir jatuh, yang untung saja dia menahan tubuhku dengan baik.
"Bik?" panggilku.
"Kenapa lagi sih, Non?" sahut bibi yang sepertinya mulai gemas.
Ih apaan sih, orang aku kan mau memberikan uang belanja. Memang su'udzon saja bisanya bibik itu.
"Ini, buat belanja dua bulan. Gara-gara bahas Riki terus hampir lupa kan bibik? Makanya, udahan bahas dia," ujarku membuat wanita yang telah menjagaku akhir-akhir ini tertawa geli.
"Maaf ya, saya nggak sadar. Ya sudah pokoknya selamat malam, ingat satu hal sebelum tidur ya, Non. Bapak sayang kok sama nona, untuk selebihnya belajar yang baik ya!" seru bibi menyemangati.
Haha, meski wajahnya terkesan kaku begitu namun aku senang mendengarnya.
"Iya, Baik," jawabku lantas memeluknya erat dan mengucapkan selamat malam.
Kurasa malam ini aku benar-benar bisa tidur dengan nyenyak setelah sekian lama tak melakukannya.
Dan ....
Benar-benar deh!
Biasanya aku bangun jam tiga pagi. Namun saking nyenyak tidurku hingga jam setengah enam aku baru bangun. Meskipun waktu mencukupi namun rasanya terlalu singkat.
Mau tak mau pun aku menghubungi Riki karena ternyata aku mandi dan selesai melakukan semuanya hampir jam setengah tujuh! Argh dasar ceroboh. Iya tidur nyenyak boleh sih namun kalau seperti ini ya keterlaluan.
Mendengar dering ponsel lain, aku bergegas keluar rumah. Betapa leganya ketika melihat Riki yang baru saja datang dengan motor matic itu.
"Aku kira kamu nggak jemput," kataku menyela ucapan selamat paginya.
Riki mengerjap, bahkan dengan helmet yang masih dipakai dia terbahak-bahak.
"Takut telat ya, Dek? Ututu pantesan sampai telpon haha. Sini mau dipakein nggak helmetnya? Btw muka lo judes banget, why sih?" tanyanya.
Meksipun bertanya Riki menarik tanganku untuk mendekat padanya. Dia memintaku sedikit mendekat lagi saat merasa bahwa tangannya tak sampai untuk memakaikan helmet.
Begitu selesai tanpa diminta aku duduk di jok belakang.
"Bangun kesiangan tadi," jawabku yang baru sadar jika dia tadi mengajukan pertanyaan.
Lagi-lagi Riki cekikikan. Uh memang dasar anak ini menyebalkan ya lama-lama.
"Bangun kesiangan tuh jam segini. Kalau beneran harusnya kamu belum siap-siap lah, ngada-ngada aja," dumelnya membuatku mencibir.
Dia menyalakan montornya. Karena bibi sedang mencuci jadi kami tak pamitan.
"Tetap aja namanya kesiangan," bantahku tak mau kalah.
Tawa Riki terdengar merdu. Katanya udara dingin jadi dia bawa motor agak pelan. Toh perjalanan hanya memakan waktu dua puluh menitan.
"Itu nggak kesiangan adek. Memang biasanya bangun jam berapa, tadi bangunnya jam?" Kembali dia bertanya.
Dan karena ternyata udara benar-benar dingin. Aku melingkarkan tangan di perutnya.
"Eum, kayak gini gapapa? Dingin?" balasku keluar topik.
Dari kaca spion kami bertatapan. Kak Riki yang mengangguk mantap membuatku lega.
"Bangun jam berapa tadi?" ulangnya lagi.
"Setengah enam, biasanya aku bangun jam tiga. Nyebelin banget tau!" geramku mengingat bahwa ini pagi pertama dimana semuanya ku lakukan dengan tergesa-gesa.
Kalau biasanya jelas aku sangat santai sampai rasanya sedikit membosankan.
"Buat pengalaman lah, Ta. Lagian kan seru kejar-kejaran sama waktu, sesekali kita harus keluar dari zona nyaman," balas kak Riki.
Padahal saat bibi mengatakan kalimat serupa, bawaannya pengen ngomel-ngomel tak jelas saja. Namun mengapa saat kak Riki yang mengatakannya aku terima dengan baik ya?
"Kakak bener juga sih, atau memang karena suka bangun kesiangan makanya ngomong gitu?" tuduhku.
Tak disangka dia tertawa lantas berkata,
"Yoi, cowok bangun jam segitu termasuk kepagian. Gue bangun biasanya jam enam wkwk."
Oh, pantesan....
To be continued....