"Gue duluan ya, Cil. Buru-buru soalnya hehe nanti kalau ada apa-apa kabarin aja, baik-baik ya, Cil!" ujarnya begitu kami tiba di lingkungan sekolah.
Tapi cil katanya tadi? Ah memangnya aku ini anak kecil apa. Dan lagian tak ada niatan bagiku untuk memintanya mengantarkan ke kelas kok. Jam pelajaran kan sudah mepet, kami tiba di sekolah tepat waktu saja aku sudah benar-benar bersyukur.
Maklum saja, dengan alasan nggak mau aku kedinginan laki-laki mengendarai motor dengan kecepatan amat pelan. Duh bahkan siput saja mungkin kalah saing dengannya, haha, nggak bercanda kok.
Melangkah ringan memasuki area sekolah. Sesekali aku menoleh ke belakang saat merasa bahwa ada seseorang yang membicarakanku. Riki memang cukup populer karena tingkah lucunya, namun ku rasa kalau fans dia tak begitu punya.
Dan juga, kakak kelasku satu itu kan hanya menganggapku adik. Baginya aku tak jauh beda dari Refi bukan? Kami seumuran, bisa saja dia berpikir kalau aku adiknya.
Jika ku pikir ulang, memang sejujurnya saja Dimas yang kakaknya jauh lebih tampan. Namun karena kata Refi abangnya itu suka mempermainkan wanita maka aku mundur saja sebelum sakit hati.
Sampai di kelas aku duduk seperti biasa di bangku belakang tanpa ada teman. Ada yang berubah, seperti sapaan dan senyum hangat mereka. Ini masih seperti mimpi saja rasanya. Dan aku harap hari Rabu minggu ini tak ada apa-apa lagi.
"Resta?"
Itu panggilan dari Desi, gegas aku menoleh ke samping untuk menatapnya.
"Kenapas, Des?" sahutku.
"Hehe, lo kan kemarin dapat delapan lima waktu ulangan Fisika. Nah bisa bantu jelasin materi hukum termodinamika nggak?" pintanya.
Dia bahkan mengedipkan mata membuatku tersenyum simpul. Bisa saja sih, sebenarnya aku juga tak begitu paham. Sambil membantunya belajar kan lebih baik jika sekalian aku mencoba mengingatnya, barang kali saja ada bagian yang ku lupakan.
"Bisa banget, sekalian aku belajar juga bareng kamu. Btw sejauh mana kamu paham hukum termodinamika?" tanyaku memulai.
Setidaknya aku harus tahu seberapa besar kemampuannya, 'kan? Mana bisa aku mengajari jika tak tahu kemampuannya. Jika tergesa-gesa pun besar kemungkinan Desi tak akan paham. Mengulang sekali memang menyenangkan namun jika berkali-kali itu akan berubah menjadi menakutkan ya, Bung!
Ku hembuskan nafas berat saat gadis yang duduk di bangku sebelah ini tak kunjung menjawab.
"Sebatas hukum termodinamika ada dua kah?" tebakku.
Melihat gadis itu cengengesan sepertinya ini bukan sekadar tebakan namun sudah akurat informasinya.
"Hehe, pak Yonk mah kalau jelasin bikin puyeng malah kadang gue suka ngantuk kalau dijelasin. So mau bantu nggal? Yang lainnya dari kemarin pengen tanya juga loh, boleh jelasin pas istirahat nanti?" Desi memohon lagi.
Bahkan kali ini yang lainnya pun menampilkan tampang memohon juga kecuali para laki-laki. Ya jelas saja, laki-laki yang totalnya ada Sembilan namun mereka selalu masuk sepuluh besar. Huft, tentunya aku yang duduk di posisi ke sepuluh.
Mengangguk pasrah pada akhirnya. Tak ada salahnya kan jika aku membantu mereka semua?
"Okey, nanti aku bantu," kataku yang membuat mereka bersorak bahagia.
Bertepatan dengan itu bel masuk berbunyi.
Jam pelajaran pertama prakarya. Jika kelas lain sudah sibuk dengan olahan jajan, maka kelasku masih saja sibuk dengan materi. Menyebalkannya lagi, materinya sama persis dengan kelas sepuluh dulu.
Seperti karakteristik wiraushawan, makanan nabati dan hewani. Tak berubah sama sekali hingg rasanya pun jadi sedikit membosankan.
"Jadi anak-anak sumber makanan itu ada dua, nabati dan hewani. Untuk karakteristik, contohnya dan cara pemasakannnya kalian bisa catat dari buku paket yang telah dipinjamkan ya. Ah untuk kelompok akan ibuk bagi, karena masih semester satu bahan utama nabati saja ya," ujar Bu Kismi membuatku tersenyum lebar.
Meskipun yakin jika teman sekelompokku belum tentu akan bersikap baik namun aku senang karena tak perlu mencatat materi yang sama dari satu pertemuan ke pertemuan selanjutnya.
"Nah keleompok satu …."
"… dan ini kelompok lima ya, ada enam anggotanya yaitu Clarista, Desi, Fano, Rahmat, Cahya dan juga Feronika."
Aku tersenyum tipis. Setidaknya dua cowok saja, saat kelas sepuluh entah bagaimana bisa kelompokku kebanyakan cowok semua.
"Ta, yes kita satu kelompok!" seru Desi tertahan.
Aneh, saat kelas sepuluh sepertinya mereka juga mengatakan kalimat yang sama namun entah mengapa aku baru bisa merasakannya sekarang. Seperti ada sesuatu yang memaksaku untuk terus tersenyum lebar, ah jantungku bahkan berdegup kencang. Ini suatu hal yang baru untukku.
Bibirku tak henti-hentinya tersenyum lebar. Hingga tak ku sangka pelajaran berakhir secepat itu. untuk kali pertama istirahat jeda jam pelajaran aku memiliki kelompok berbincang seperti ini.
Dulu, saat masih SMP aku memang sering seperti ini namun begitu SMA tak pernah lagi.
"Jadi, ini konsepnya gimana, Ta?" Cahya, teman satu kelompokku tadi bertanya.
Ku ambil buku tulis miliknya. Meringis diriku melihatnya, bukan karena tulisan acak adul itu namun ini karena dia yang asal menggunakan rumus.
"Karena kayaknya akan memakan waktu kalau aku sekadar jelasin aja, gimana kalau kita langsung nyoba soal? Satu persatu caranya bakalan aku jelasin, kalau di antara kalian ada yang kurang paham tanyakan ya?" usulku.
Sempat ku kira mereka akan menolak dengan tegas. Namun, kadang kenyataanya bisa lebih baik ternyata. Mereka mengangguk samar.
"Mau nyoba yang ini dong, Ta. Ini kan PR hehe, seenggaknya kalaupun yang lainnya salah ada satu soal yang benar gitu. Ya nggak guys?" timpal Desi.
"Nah setuju banget, ini aja ya, Ta," imbuh yang lainnya.
Aku mengangguk lantas mulai membaca soal yang katanya ingin mereka kerjakan. Meski bukan peringkat pertama namun aku cukup mudah memahami soal yang ditugaskan sebagai pekerjaan rumah ini.
"Kalian udah pad abaca soal?" tanyaku dan mereka berlima kompak mengangguk.
"Nah, di dalam soal ini pertanyaannya kita diminta mencari usaha jika gas memuai pada tekanan tetap hingga menjadi tiga kali volume semula. Maka dari itu pertama-tama…."
Dengan sangat rinci, aku menjelaskan semuanya pada mereka. Sesekali bahkan mereka tertawa karena katanya ternyata ini mudah jika aku yang menjelaskan. Bahkan aku sendiri merasa aneh, biasanya saat belajar rasanya malas dan membosankan. Namun saat menjelaskan sambil menahan geregetan begini, ah rasanya menyenangkan.
Jam istirahata pun berlalu begitu saja. Tepukan pelan di pundakku membuatku mengangkat kepala guna menatap siapa pelakunya. Dan rupanya itu Fano, apa dia mau menjadi ketua kelompok ya makanya mendatangiku?
"Bisa minta nomor lo?" tanya cowok itu dengan raut wajah datar.
Aku balas menatapnya tanpa rasa takut. Padahal memang rautnya begitu, namun aku kan belum terbiasa jadi ini sedikit menyebalkan.
"Mau buat apa?" jawabku.
"Grup telegram."
Aku mengerjap mendengarnya. Aish dasar, ku kira kenapa tadi haha. Bodohnya aku yang mengira kalau dia, mungkin saja suka padaku ….
To be continued ….