Hembusan nafasku mungkin terdengar begitu kasar. Begitu pulang sekolah semua pekerjaan rumah sudah berhasil ku tuntaskan dalam waktu satu setengah jam saja. Melirik malas jam di dinding, sekarang baru pukul setengah empat sore hari.
Karena kakak kelas ada mata pelajaran tambahan untuk materi ujian maka mau tak mau aku pulang sendiri tadi. Sedikit kesal rasanya saat tiba-tiba saja kak Riki datang dan mengatakan bahwa aku harus pulang sendirian. Namun sebenarnya bukan itu saja sih, aku juga kesal karena tadi sempat salah paham pada Fano.
Setelah ku pikirkan ulang, sepertinya hampir semua orang yang ku kenal hanya bisa menampilkan ekpresi ngajak gelud ya? Uh, itu menyebalkan sekali huh.
"Nona?"
Panggilan bibik membuatku yang tengah memangku dagu di pinggir jendela hampir saja terjungkal. Sialan bibi, dia memang paling tak tahu kondisi. Bagaimana jadinya jika aku terjatuh dari jendela setinggi dua lantai ini?
Ya ada bagusnya sih, seperti aku akan dirawat di rumah sakit dan tak sekolah selama seminggu atau mungkin saja lebih. Rasanya masih saja malu jika melihat Fano, haha tidak-tidak itu konyol sekali bukan?
"Kenapa, Bik? Jam setengah empat belum waktunya aku mandi, dan juga makan malam kan bisa nanti-nanti saja," sahutku agak malas.
"Eum itu, katanya adik den Riki. Namanya mbak Refi datang kemari," jelas bibik.
Seketika aku tertawa. "Ah mana mungkin sih, Bik. Kan dia nggak tahu alamat rumahku, kak Riki juga masih sekolah."
Bibi nampak meringis. "Orangnya udah ada di bawah loh, Non. Kenapa nggak cek dulu aja biar tahu kebenarannya?" usul bibi yang ada benarnya.
Aku mengangguk lantas gegas memakai sandal. Ku ikuti langkah bibi menuju ke ruang tengah.
"Kak Ta, I miss you!" seru gadis manis itu sambil menghambur dalam pelukanku.
Hampir saja aku terjungkal dari tangga jika Refi menambah sedikit kekuatannya. Uh dasar anak menyebalkan ini, bagaimana bisa dia datang kemari? Tapi setelah melihat wajahnya entah mengapa aku merasa senang juga haha.
"Gimana caranya kamu tahu alamat rumahku?" balasku sambil mencoba melepaskan pelukannya itu.
"Hehe kak Riki yang bilang, kesini tadi sama bang Dimas," jelasnya membuatku terkekeh geli.
"Duduk lagi gih," suruhku.
Aku berjalan duluan menuju sofa, tak ku sangka bahwa Refi benar-benar datang kemari. Hihi bibi pasti akan marah-marah tak jelas jika melihat tampang tak berdosaku ini. Lagian ya jelas tadi aku sempat tak percaya karena meskipun menyimpan nomor Refi tapi aku jarang bertukar pesan apalagi sampai share lokasi rumahku ini.
"Kakak tadi nggak pulang sama kak Riki, 'kan?" tanyanya yang aku balas dengan anggukan kepala.
"Huk um, kelas dua belas kan sudah waktunya bimbingan buat kelas tambahan. Lebih lagi ini hari selasa, kakak kamu sibuk banget pastinya," sahutku.
Tanpa sadar aku menjelaskannya, padahal kan niat awal hanya menjawab iya saja. Entah mengapa rasanya kami seolah sudah akrab meskipun baru beberapa hari berjumpa.
"Wih, perubahan yang besar. Kakak banyak bicara sekarang, hihi makin sayang deh pastinya kak Riki," kata Refi sambil cengengesan.
Terkekeh aku mendengarnya. "Dari mana ada aturan kayak gitu? Ngomong-ngomong kamu kesini udah ijin sama mama?"
Wajah terkejut Refi membuatku kebingungan. "Ih mami bukan mama, but I like this huhu. Kakak seriusan mau manggil mami nih? Ah sweet," serunya tertahan.
Entah kenapa, berhadapan dengan adiknya Riki membuatku tak hent-hentinya tersenyum.
"Eh, Kak? Kan aku masih kelas sepuluh, dengar dari kak Riki kalau 'calon pacarnya' itu rajin belajar serta pintar. Bisa minta tolong ajari aku pelajaran kelas sepuluh nggak?" pinta Refi sambil memasang puppy eyesnya.
Menatap gadis itu datar. Uh seriusan nih dia datang kemari untuk hal satu ini? Atau hanya alasan saja. Entah apapun itu, kurasa memiliki teman tak buruk juga dan ini justru menyenangkan.
"Bisa, mau bayar berapa?" candaku.
Namun tak ku sangka kalau dia menggembungkan pipinya. "Nggak punya uang, tadi aja jajan minta sama abang. Kak …, boleh nggak kalau ajarin aku secara gratisan aja?"
Tawaku meledak melihat tampang memelas itu. Mana mungkin aku meminta bayaran darinya, saat aku sendiri saja belum tentu bisa mengajarinya dengan baik?
"Ih kok malah ketawa sih, Kak!" rajuknya.
"Seriusan loh, aku tadi jajan aja minta sama abang walaupun katanya itu ngutang dulu. Duh, capek punya dua abang yang nyebelinnya kebangetan. Eh kak Riki baik sih, kadang kalau dia gajian bagi-bagi uang kok," paparnya tanpa ku minta.
Mendadak fokusku teralihkan. "Gajian?" ulangku lirih.
Tapi siapa sangka kalau Refi mendengarnya hingga berakhir dengan menggodaku. "Cie … cie kepo nih ye…," ledek Refi.
"Nggak jadi belajar nih?" ancamku membuat adik Riki itu mengulas senyum mengejek.
Dasar menyebalkan adik satu ini.
"Gas ngeng, jelas mau di ajarin lah, kakak baperan banget ih," tuturnya.
Setelahnya dia mulai mengeluarkan buku paket miliknya. Aku mengusap tengkuk khawatir saat buku matematika peminatan lah yang dia keluarkan.
"Nggak mau fisika atau kimia aja gitu?" tawarku dan dia menggeleng tegas.
"Aku agak bisa kalau dua maple itu, Kak. Matematika wajib dan peminatan yang membingungkan karena materinya hampir sama tapi pas pakai rumusnya malah beda hasilnya, mumet aku tuh," curhatnya.
Sebenarnya tak jauh beda denganku. Aku kurang paham juga matematika peminatan, untuk yang wajib sih agak lumayan. Tapi ya sambil menyelam minum air saja deh, barang kali saat ujian kelas dua belas nanti materi kelas sepuluh diulas lagi, 'kan?
Nah, mari belajar!
Sambil memahami sebisaku, ku jelaskan juga pada Refi. Gadis itu nampak mengangguk paham. Awalnya aku tak begitu yakin, terlebih ketika tahu bahwa Refi bahkan tak paham apa-apa mengenai hal itu.
Syukurlah bibik peka, dia membuatkan camilan yang biasa ku nikmati saat belajar. Dua jam kami berkutat dengan buku-buku dan rumus itu akhirnya paham juga. Biasanya selesai mengerjakan tugas matematika raut wajahku akan geram, geregetan dan gundah gulana. Namun kali ini aku yakin rautku sangat ceria.
"Yes, akhirnya aku bisa. Hiks, sayang banget sama kakak ipar!" seru Refi sambil memelukku.
Ingin aku menepisnya, dia dikit-dikit meluk dan aku tak nyaman. Tapi percuma, aku tak tega melepaskannya.
Dan juga,
"Kakak ipar kamu tuh siapa coba?" geramku yang membuat gadis itu gegas melepaskan pelukannya.
"Ya kakak lah, nggak perlu tanya-tanya untuk hal yang pasti!" jawabnya bersemangat.
Pfft hahaha!
Aku tak bisa menahan diri lagi kali ini. Sepertinya Riki sekeluarga memang punya bakat jadi comedian ya, ah sudut bibirku sampai terasa aneh karena terus saja tertawa.
Ku pegangi pundaknya, sambil tersenyum lebar aku berkata, "nggak ada yang namanya kakak ipar. Aku dan kak Riki, we just friend, walaupun sempat terpana karena sikpanya tujuanku panjang dan menunggu itu melelahkan."
"Satu lagi, dia baik, nggak cocok sama aku," imbuhku sunguh-sungguh.
Karena sejak awal, kami memang berbeda ….
To be continued ….