Chereads / Bunga Menari / Chapter 15 - Diabaikan Itu Menyakitkan

Chapter 15 - Diabaikan Itu Menyakitkan

"Kak?"

"Mampir?"

"Kak Riki?"

Aku menghembuskan nafas panjang lantaran tak kunjung mendapatkan sahutan. Dia memang membantuku melepaskan helmet. Namun sebelum kami pulang dia bahkan hampir saja meninju wajah Fano dan berdebat untuk waktu yang agak lama.

"Harusnya jangan asal ngobrol sama cowok nggak jelas. Cih, mentang-mentang satu kelompok jadi sok hebat. Ah, Ta, aku pengen bunuh dia!" ujar kak Riki sungguh-sungguh.

Inginnya meringis ngeri namun yang ada aku malah tertawa merespon ucapannya barusan. Ututu, habisnya dia itu menggemaskan sekali sih sampai aku tak tahan dibuatnya.

"Ta! Malah ketawa, aish lo nyebelin!" serunya sambil membawa kembali helmetnya.

Aku tersenyum manis menanggapinya. "Maaf, Kak. Baterainya benar-benar habis dan Fano memang kayak gitu karakternya. Bukan karena dia ketua kelompok aja kok, di kelas pun memang begitu sama yang lainnya."

Entah atas dasar apa, namun memang ingin rasanya aku menjelaskan hal ini kepadanya karena kurasa ini yang terbaik. Lagian bisa saja kak Riki akan jauh lebih salah paham jika tak ku jelaskan, bukan?

Dan sepertinya, dia sekarang sudah agak baikan.

"Nggak gitu juga sih tapi, it's okey mungkin bagi beberapa orang dia memang kayak gitu. Tapi cowok dan cewek beda, ah intinya agak jaga jarak sama dia ya?" tuturnya padaku.

Malas mendebat aku memilih untuk mengangguk saja. "Iya, kecuali kalau ada kerkom ya aku dekat-dekat sama dia."

Kak Riki mendelik. "Emang susah ya ngobrol sama bocil. Hem, tapi aku bersyukur setidaknya sekarang kamu udah bisa berinteraksi dengan baik," ujarnya sambil mengusap-usap rambutku.

"Aku belum keramas," candaku.

Dia tergelak ringan. "Halus banget gini, tuh. Mana mungkin kamu belum keramas?"

Hehe, dia memang sepertinya mengerti wanita jauh lebih baik. Mungkin saja karena Refi itu adiknya, dan dia dekat dengan bundanya. Pasti keluarganya menyenangkan bukan?

"Kenapa? Raut kamu aneh, ah, helmet ya? Bang Dimas mau pinjem pacarnya nanti main ke rumah. Nggak masalah kalau aku bawa dulu, kan?" tanyanya dengan raut wajah agak khawatir.

Aku tersenyum sambil mengangguk. "Nggak masalah lah, orang helmet punya kakak. Langsung pulang dan nggak mampir, kan? Kalau iya aku masuk dulu ya!" pamitku padanya.

Sesaat aku bisa melihat raut wajah kebingungan laki-laki itu namun abaikan saja. Melihat dia tumbuh di keluarga yang baik bahkan sangat harmonis membuatku merasa... iri?

Melewati bibi begitu saja lantas duduk di sofa. Tas yang hanya berisikan buku itu ku lempar asal.

"Butuh minuman dingin, Non?" tanya bibi.

Sebenarnya aku tak butuh namun ya tak ada salahnya meminta untuk menjernihkan pikiran. Maklum, bahkan karena kerkom saja aku sudah panas. Lebih lagi sekarang merasa iri pada kak Riki. Benar-benar paket yang komplit, huh!

"Iya, Bik, tolong bawakan yang banyak esnya ya!" jawabku kemudian.

Ya paling tidak aku juga bisa sendirian sesaat. Ngomong-ngomong, sikap Fano memang aneh. Ya mana ada orang yang membenci semua teman sekelasnya. Rahmad yang jauh lebih pintar ketimbang dia saja ramah sekali sikapnya.

Membaringkan tubuhku di sofa. Ku ambil ponsel yang sejak tadi ada di dalam saku. Untuk sejenak aku ingin menyalakannya, namun detik kemudian ku urungkan. Nanti saja deh.

"Nih, Non," kata bibik sambil menyerahkan minuman padaku.

Susah payah aku mencoba bangun untuk meminumnya. Menatap bibik yang sepertinya sedang tak ada kerjaan segera ku serahkan ponselku padanya.

"Eum, Bik, bisa tolong charger gawaiku nggak? Baterainya habis, aku lagi mager hehe. Tolong ya," pintaku sambil mencoba tersenyum padanya.

Sesaat kemudian Ninik menggeleng miris. Namun tetap saja wanita itu mengambil gawaiku lantas membawanya ke kamar. Menghabiskan jus tomat yang bibik bawakan sambil merenung ternyata menyenangkan ya.

"Remote mana sih?" tanyaku yang mulai merasa bosan.

Yah akan lebih baik jika aku segera melakukan sesuatu sebelum rasa bosan ini membunuhku!

Setelah menemukan remote, gegas ku nyalakan televisi itu. Meskipun butuh waktu yang agak lama, tetapi aku tak kunjung menemukan tontonan yang bagus juga.

"Bik!" teriakku.

Mungkin hari ini sikapku akan sedikit merepotkan wanita itu. Ya tapi apa boleh buat? Hanya dengan bersikap seperti inilah aku jadi bisa meredakan rasa kesal yang ada. Jika tidak segera diredakan bisa berakhir dengan aku yang malas sekolah besok pagi.

"Kenapa lagi, Non?" sahut bibik.

Raut wajahnya sudah kelihatan agak malas namun aku masa bodoh tentunya.

"Laptopku mana? Mau lihat drama China," kataku.

Mungkin saat ini raut wajahku kelihatan tak berdosa. Tapi yang seperti ini kan jauh lebih baik ketimbang aku melemparkan semua benda sesuka hati bukan?

"Duh, Non! Mandi dulu kan bisa. Kalau nonton drama nanti yang ada tugasnya pun nggak dikerjakan loh!" nasehat bibik yang tentu saja ku abaikan.

"Ya sudah biar saya ambilkan," ujar wanita berumur itu kemudian.

Aku tersenyum lebar menanggapinya. Ah lega.

Menatap televisi yang menyala menampilkan iklan wafer ternama yang kelihatannya sangat enak membuatku jadi menginginkannya. Namun, sepertinya bibik tak pernah membeli sesuatu yang seperti itu.

Jadi jika aku memintanya sudah pasti bibik akan kesulitan mencarinya. Dia juga harus keluar rumah.

Cih dasar aku ini. Ingin menyusahkan orang lain namun gak mau jika membuat orang itu merasa kecapekan. Alhasil, saat bibik datang dan membawakan laptop sebisa mungkin aku diam.

"Non ada masalah sama den Riki ya?"

Mendengar bibi bertanya entah mengapa reflek aku tertawa. "Nggak lah, memang kami sedekat itu sampai bisa saling debat?"

Raut wajah masam bibik muncul usai aku mengatakannya.

"Non aneh!"

Lah?

"Aku aneh dari dulu kali, Bik. Jangan kayak newbie gitu deh, memang pernah ya aku bersikap normal?"

Wanita yang sejak tadi menatapku itu mendesah. Kelihatannya dia kecewa, entah untuk alasan apa.

"Non akhir-akhir ini normal loh. Buktinya adeknya den Riki saja boleh kesini. Sampai kapan non beranggapan kalau hidup sendiri menyenangkan, hm?" tutur bibik dengan nada penuh penekanan.

Aku diam. Lantas tersenyum tipis. "Entah, mungkin sampai benar-benar menemukan tempat nyaman nantinya. Dan juga, Bik, kalah aku benar-benar nyaman sama Riki pasti akan berakhir suka, kan?"

"Bik ... aku nggak mau terluka, atau jatuh lagi. Mungkin memang suka ada, tapi kalau terlalu dalam pasti berujung terluka seperti dulu bukan?"

Bibik mengerjap lantas tanpa bicara wanita itu mengambil laptop yang ku pangku. Dengan sekali tarikan, wanita yang sudah ku anggap ibu ini merengkuhku erat. Dekapannya sangat hangat hingga rasanya aku mau menangis saja.

"Terluka itu wajar, kalau belum merasakannya hidup nona kurang jauh mainnya. Maka dari itu jangan berhenti mencintai seseorang hanya karena pernah merasakan sakitnya diabaikan dan ditinggalkan."

Bisikannya yang merdu bahkan membuatku ingin semakin menangis saja. Yah, lagi-lagi aku menggunakan masalalu sebagai patokan hidupku. Kalau dipikir-pikir lagi, mana pernah aku memikirkan masa depan apalagi masa sekarang?

Yang kutahu, selama nilai baik maka segalanya baik-baik saja. Tapi, yang bibi katakan beberapa salah bukan?

Diabaikan dan tak lagi dicintai, terlebih oleh orang tua bukankah itu menyakitkan hingga bangkit pun aku kesusahan.

"Aku, mengalah pada takdir, Bik ...."

To be continued .....