Setelah merasa bersalah karena membuat bibik kelimpungan dan menyebutkan apa saja yang ku inginkan. Kini diriku duduk termenung di tepian kolam.
Padahal sudah sejak dulu ku katakan pada bibik kalau tak perlu susah payah mengisi air di kolam. Karena aku sendiri tak yakin kapan akan kembali memakainya. Masih untung kalau diriku mau datang kemari.
Ya, entah mengapa sisi rumah kiriku terkadang aneh. Mungkin saja alasannya karena ....
"... terlalu banyak kenangan di kolam ini. Dulu saat datang kemari rasanya begitu menyenangkan. Dan entah sejak kapan sekarang malah menjadi membosankan," desahku sambil menghirup oksigen malam.
Lagi-lagi aku tak bisa tidur. Jam tidur yang sesungguhnya sudah lewat, sekarang jam sepuluh malam lebih beberapa menit.
Wanita yang sejak tadi sudah ku susahkan itu telah terlelap lebih dulu. Yah, setidaknya dia tak menemaniku begadang dan membuat keadaan terasa tak nyaman.
Ku ambil gawai yang ada di dalam saku jaket. Baterainya telah terisi penuh namun belum sempat ku nyalakan. Perlahan suara welcome-nya terdengar berdengung di telingaku.
"Biasanya kalau kesini mana pernah aku bawa gawai," kataku apa adanya.
Memang ada banyak hal yang berubah. Dan anehnya sekarang aku juga merasa kalau lebih santai menghadapi pikiranku yang bergelung pada Saka.
Tepat saat ku nyalakan, telepon seluler masuk dari kak Riki. Enggan, namun tetap ku jawab pada akhirnya.
"Rista? Ah akhirnya, gue nungguin sejak tadi tapi hape lo mati terus. Nyebelin banget haha," kekehnya membuka obrolan di seberang.
Haha, tawa pendek itu merupakan bukti kalau dia kesal. Walau baru mengenal beberapa hari namun aku cukup peka pada tingkah lakunya.
Dia merasa kesal saat ini. "Maaf, Kak. Tadi si charger makanya baru bisa angkat. Lagian ini sudah malam, kalau ada yang dibicarakan kan bisa besok."
"Nggak bisa," bantahnya.
"Apanya?" sahutku kebingungan.
"Gue, eng maksudnya aku terus kepikiran hal ini sejak tadi sore. Rista, jangan bohong dan please jujur, okey? Kamu marah sama aku, gara-gara helmet tadi?"
Ku jatuhkan ponselku karena tak bisa lagi menahan tawa. Menunduk sebentar guna mengambil benda tipis yang kini sedikit basah itu.
Aduh, hahaha, ini benar-benar lucu. Dia tipe orang yang sama sepertiku. Jika ada kejanggalan maka pertanyaan yang akan diajukan adalah, 'apakah aku yang bersalah?' bukan malah 'ah dia bukan yang salah!'.
Beginilah resikonya jika tak pernah bisa mengekspresikan perasaan dengan baik.
"Kak?" panggilku pada sosok di seberang sana sambil menahan tawa.
Cih dasar. Dia menang karena rasa kesalku saja bisa lenyap seketika. Kalau tahu akan seperti ini, mungkin lain kali aku akan mempertimbangkan untuk menghubunginya.
Hn, saat aku merasa bosan maksudku.
"Kenapa, Ta? Kamu beneran marah ya sama aku?"
Dari suaranya, meski hanya pantulan dengan perantara gawai tipis ini namun aku yakin bahwa dia tak mengada-ngada. Kak Riki juga tak sedang mencari perhatian lebih, dia murni bertanya.
Atau, aku yang sok bijak ya? Haha, entahlah namun bisa jadi iya.
"Nggak mungkin aku marah. Mungkin lain kali kakak harus tahu aja kalau moodku memang naik turun kayak gini. Aku sama sekali nggak marah kalau masalah helmet, Kak," paparku yang malas terlalu lama larut dalam kesalahpahaman.
Memang buat apa kesal? Jalan menuju sekolah kan biasa jadi lewatan angkutan umum. Banyak angkot yang bisa mengantarkanku ke sekolah seperti biasanya. Jadi, gak ada alasan khusus untuk marah.
"Aku lega dengernya, walaupun suara kamu bilang beda. It's okey mungkin besok kita lanjutkan obrolan ini. But, kenapa kamu belum tidur? Atau ... memang nggak bisa?"
Tebakan yang akurat. Aku memang tak bisa tidur.
"Hem, semacam itu, Kak," jawabku jujur.
"Dimana emang sekarang? Masuk kamar gih," titah kak Riki.
Sejenak aku menatap kolam yang berada tak jauh dariku. Biasanya saat bibik memaksaku masuk dalam keadaan seperti ini aku menolaknya mentah-mentah. Namun ketika kak Riki yang memintanya, entah dari mana dorongan ini.
"Okey, aku masuk," kataku mantap.
Ku langkahkan kaki masuk kembali ke dalam rumah dengan sedikit linglung. Hanya dengan dua patah kata dia berhasil membuat hatiku tergerak.
Mengunci pintu samping kemudian berjalan menuju kamar. Aku membanting tubuhku di atas ranjang empuk itu.
"Pindah jadi vidcall?"
Menimang sejenak, bukan karena penampilan namun lampu kamar sudah di matikan dan aku malas menyalakannya.
"Agak gelap, memangnya mau apa?" tanyaku.
Mendapatkan gelak tawa membuatku ingin memukul wajah di seberang sana saja.
"Mau menghibur tuan Puteri. Tapi kalau lampu kamarnya memang udah mati, mau dengerin pangeran ini menyanyi, My highnees lady?"
Suaranya yang dibuat-buat berakhir dengan tawaku yang meledak. Semoga saja bibik tak terganggu saat mendengarnya karena aku sudah cukup mengganggunya nanti.
"Boleh, coba nyanyi," kataku menantangnya.
Sialnya aku salah duga. Suara kak Riki benar-benar merdu saat menyanyi hingga tanpa sadar sudut bibirku terangkat. Belum sempat nyanyian selesai, seakan yang barusan dia lakukan adalah memberiku obat tidur mataku memberat.
Menggenggam gawai saja rasanya aku tak kuat. Ingin ku ucapkan kata selamat malam padanya, tapi, bibirku susah dibuka.
Dan ....
Entah bagaimana kelanjutannya. Kini pagi telah tiba. Melihat durasi telepon kami yang sepertinya berakhir di pukul setengah satu aku jadi bertanya-tanya.
Apa semalam dia sengaja tak langsung menutupnya untuk memastikan kalau aku sudah tidur?
Akan tetapi aku gak mau kepedean. Karenanya saat terbangun jam empat pagi, gegas aku mempersiapkan diri. Ada satu pekerjaan rumah yang belum ku kerjakan.
Karena takut gak sempat, aku mandi terlebih dahulu, mengenakan seragam barulah mengerjakannya. Sekitar pukul setengah enam, bibik datang mengetuk pintu.
"Non, saya masuk ya?"
"Iya, Bik!"
Wanita itu datang seperti biasanya. Membawa segelas susu hangat.
"Kali ini rasanya beda, coba dulu ya, Non. Kalau nggak enak besok pakai yang kemarin saja," jelasnya sambil menyerahkan gelas itu.
Tanpa menunggu lama lagi, aku meminumnya hingga tandas. Setelah itu ku acungkan jari jempol padanya.
"Enak banget, yang ini aja hehe," ucapku sambil cengengesan.
"Baik, Non. Eum tapi kebetulan kompornya rusak, saya tadi pakai listrik buat manasin air. Non sarapannya di sekolah aja ya?"
Wajahku seketika lesu. Aku paling benci datang ke kantin sekolah. Mereka berisik dan sedikit menyebalkan.
Melirik gawai di samping. Ketimbang di kantin, tak ada salahnya jika aku meminta sarapan pada bundanya kak Riki kan?
"Okey, nggak masalah," bohongku pada bibik.
Karena tugas sudah selesai semua buku ku rapikan dalam tas. Kini ku ambil gawai untuk menelpon Refi.
"Wow, pagi kakak ipar. Are you miss me? sampai telepon pagi-pagi?"
Gadis ini terlalu banyak bicara. Namun aku ingin meminta bantuannya.
"Eum, kompor di rumah rusak. Bunda masak nggak? Boleh minta kakak kamu bawain sarapan buat aku?"
Tak ada jawaban yang ku dengar hanya teriakan melengking Refi. Di susul dengan ayahnya, lantas bang Dimas yang terbahak-bahak mendengar ceritanya dan terakhir ....
"Hallo sayang?"
Ini suara bunda. Diam-diam aku merutuk diri, tapi mau gimana lagi? Aku terbiasa sarapan karena memiliki riwayat penyakit mag.
"Hai, Bunda. Rista boleh minta sarapannya nggak? Hehe...."
"Tentu, Nak. Kamu kan anak bunda juga!"
"Calon mantu maksudnya!" timpal bang Dimas membuat pipiku terasa panas saat ini.
Haish! Aku malu bukan main!
To be continued ....