Chereads / Bunga Menari / Chapter 14 - Ada Apa Dengan Mereka?

Chapter 14 - Ada Apa Dengan Mereka?

"Duduk sini aja, Ta!" seru Desi memintaku untuk duduk di sampingnya.

"Sini aja!" timpal Fano sambil menarik tanganku.

Karena merasa takut padanya maka mau tak mau aku memilih duduk di samping Fano.

Ngomong-ngomong kami kerkom di kafe dekat sekolah. Ini kali pertama aku datang ke tempat ramai seperti ini setelah sekian lama hanya mengurung diri saja. Meskipun ini terasa agak asing, namun karena ada banyak teman jadi aku merasa nyaman-nyaman saja.

Yah, awalnya memang seperti itu. namun saat Fano memintaku duduk di sampingnya aku hanya bisa meringis saja karena entah mengapa ini terasa berbeda, dia seakan menatapku penuh kebencian. Atau memang orang pintar semuanya bertingkah seperti Fano ya?

Dia juara dua umum, btw.

"Menurut kalian siapa ketuanya?" Cahya bertanya sambil menyeruput avocado juice miliknya. Enak sekali dia bisa datang lebih awal, karena anggota osis memang ada rapat mingguan yang bisa membuat mereka kadnag pulang jauh lebih awal ketimbang kami.

"Fano lah," jawab Feronika, Desi, Rahmat serempak.

Ketiganya menatapku, seakan memaksa kalau aku juga harus setuju dengan usul mereka. Tentu saja gegas diriku mengangguk karena selain pintar Fano satu-satunya yang pandai presentasi. Satu kelompok dengannya sangat menguntungkan.

"Iya, Fano aja lebih cocok," timpalku akhirnya.

"Lo wakilnya sekaligus yang ngumpulin uang iuran," tambah Fano membuatku mendelik.

Ada Desi yang jelas-jelas dia bendahara di kelas. Jadi, apa alasannya memintaku untuk menjadi bendahara merangkap wakilnya hah!?

"Kan ada gu—" Desi menjeda ucapan saat aku menatapnya.

Gadis yang baru hari ini menjadi teman sebangkuku itu tersenyum tipis lantas menggeleng.

"No debat deh, I wanna follow you, Mr. Fano. So, Rista wakil sekaligus bendahara jangan ada yang debat ya okey?" lanjut Desi dengan wajah yang sedikit masam.

Anehnya yang lainnya justru tergelak.

Terserah lah, pada akhirnya kami mengerjakannya bersama-sama hingga dering ponsel Rahmad membuat akitivitas kami terhenti.

"Siapa sih?" Desi bertanya. Agaknya dia kesal pada Fano, yah itu hal yang wajar sih karena mentang-mentang dia ketua jadi bisa bersikap seenaknya saja.

Jujur aku kesal juga, namun jika hanya membahas perasaan masing-masing apa gunanya kami membuat kelompok seperti ini? Dan juga ini kan tugas kelompok bukan individu.

"Riki, lo nggak nyalain hape ya, Ta?" Rahmad tak menjawab panggilan itu dan justru bertanya padaku.

Tentu saja dengan mantap aku mengangkat bahu. Tadi baterainya hanya tinggal tiga puluh persen saja, jika tak ku matikan bisa-bisa sudah berubah jadi nol persen bukan saat ini?

"Pantesan," timpal Cahya. "Nyalain hape lo gih, Ta. Kasian Rahmad, bisa-bisa dia mendadak pengen banting hape karena cowok lo nelpon terus."

"Fokus," teguran Fano membuatku tersenyum kecut.

"Fan kan bentar lagi—"

"Nik, kamu nggak ada usul kita mau buat apa?"

Melihat semuanya jadi berdebat karenaku, jelas sajaaku segera melerai.

"Nggak papa nanti aja, mendi semuanya matikan hape," usulku dengan yakin.

Semuanya menatap Fano tajam, namun yang ditatap hanya membuang muka lantas kembali fokus pada pekerjaanya. Ingin aku tertawa, tetapi jika ku lakukan yang ada perang besar mungkin saja terjadi.

Kami diam cukup lama, saling memikirkan makanan apa yang akan kami buat. Sebenarnya hanya itu saja, salah seorang diantara kami cukup menemukan apa makanan yang akan dibuat. Dan setelah itu kami bisa pulang segera. Sayangnya baik aku ataupun mereka masih bimbang memilih makanan apa yang bisa mudah dibuat dan tidak menghabiskan banyak biaya serta bisa menguntungkan juga.

Lama berpikir, akhirnya aku bisa tersenyum lega saat sudah memikirkan makanan apa.

"Ubi bola krispi aja gimana?" tanyaku yang membuat semuanya jadi memusatkan pandangan.

"Hah? Apaan tuh, dan eum gimana buatnya, Ta?" Yang pertama bertanya jelas Cahya.

Sejak tadi hanya dia yang semangat namun memilih makanan yang sehat dia belum bisa. Namun tenang saja, kalau cuman bagian menghabiskan sih dia jagonya tuh haha, ups jangan sampai dia mendengarnya. Bisa-bisa Desi akan ngomel padaku juga.

"Tau ubi ungu kan? Nah, dari ubi ungu ini, kan harganya agak murah apalagi kalau kita belinya di pasar. Udah gitu bisa milih yang baru dicabut juga. Nah untuk pembuatannya, karena kita produksi buat tugas saja maka beli dua kilo," paparku.

Menjeda sejenak untuk mengambil nafas. "Dari ubi kita kukus, setelahnya kita bentuk bola-bola. Terus celupkan dalam coklat cair, terakhir tambahkan tepung panir yang agak banyak. Kira-kira bisa bertahan sampai tiga harian, jadi target kita anak-anak sekolah seperti kita. Jam ishtirahat mereka pasti kelaparan, dengan begitu ubi coklat krispi bisa langsung dimakan."

"Ah satu lagi, untuk wadahnya taruh mika ukuran kecil lima sentimeter persegi. Buat logonya, eum yang kita bisa buat di hape terus di print kan?"

Desi memelukku erat membuatku hampir saja tak bisa bernafas karena saking kencangnya. "Daebak, lo semua setuju kan sama idenya Rista? Kalau ditotal semua bahannya nggak sampai seratus ribu dan dua kilo ubi bisa jadi ratusan wadah. Kita jual lima ribuan aja udah untung banget nggak sih?"

Seakan robot, keempat teman kelompok kami bahkan Fano yang biasanya tak mudah setuju pun dengan mudahnya mengangguk mantap.

"Gila Ta, lo hebat banget merencanakan ginian. Kenapa nggak jadi pengusah nyet?" canda Rahmad sambil mengacak-ngacak rambutku.

Aku tersenyum menanggapinya.

"Ih keren sumpah, otak gue aja nggak nyampe njir. Btw kalau tepung panir di rumah gue ada banyak kan nyokap biasa buat roti, nanti gue bawain biar hemat," imbuh Feronika dengan senyum cerianya.

Dia mencubit pipiku, tak kencang dan tentu saja aku senang. Memang siapa lagi yang tak senang jika idenya diterima dengan baik?

"Jadi fiks pakai ide aku?"

"Yap!"

"Oh ya jelas dong beb."

"Nggak boleh ganti lah udah mateng gitu."

"Gue juga setuju," jawaban Fano seakan sudah menjadi final untuk kami bahwa makanan yang anak dibuat dan dijadikan untuk tugas kerkom kali ini ya ubu ungu krispi.

Dulu aku pernah mencobanya sekali, semoga saja kali ini bisa kucoba lagi. Dan juga, hanya butuh tiga bahan saja jadi tak ada yang perlu kupikirkan masalah pembuatan. Laporan dan pendataan ada dua laki-laki pintar di kelas kami. Ah, ini kali pertama sejak SMA dan aku mendapatkan teman kerkom yang benar-benar saling menguntungkan.

Brak!

Bunyi pintu yang dibuka paksa membuatku kami gegas menoleh ke arah pintu masuk. Wajah masam kak Riki membuatku 'sedikit' merasa bersalah padanya.

"Cuman balas chat aja nggak bisa?" tanyanya dengan wajah datar.

"Hape aku mati, Kak," jawabku jujur.

"Oh, udah selesai, bukan? Ayo pulang," ajaknya sambil meraih tanganku.

Namun belum sempat aku berdiri Fano lebih dulu menahan tanganku yang lainnya.

"Belum selesai, Bang. Lagian lo bukan cowoknya kan? Jadi kalau mau pulang duluan aja," ujarnya.

Glek!

Entah mengapa aku merasa aura di sekitar mendadak dingin bukan main.

To be continued ….