Chereads / Bunga Menari / Chapter 6 - Ijinkan Aku Bahagia

Chapter 6 - Ijinkan Aku Bahagia

"Tante nggak tahu kalau kamu semanis ini. Harusnya sejak bulan lalu kamu datang, tapi Riki bilang Ta sibuk inilah itulah. Ah, tante sebel banget sama anak itu."

Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam. Ini kali pertama aku keluar rumah bukan untuk alasan sekolah. Dua tahun belakangan hanya rumah tempat paling aman dan nyaman.

Tapi ... entah mengapa kini berbeda. Rumah Riki terasa nyaman meski sejak tadi kami tak saling sapa sama sekali. Dia hanya sibuk dengan kakaknya, mereka bertaruh tak jelas.

Aku hanya dengan mama, serta adik dari Riki saja. Kami bertiga duduk bersama, mengobrol dalam jangka waktu yang bisa dikatakan cukup lama. Tak ku sangka bisa bermain selama ini.

"Duain, Ma! Kak Riki mah nggak jelas banget jadi cowok. Punya temen cantik kayak gini eh malah nggak dikenalin ke kita. Hadeh, tepuk kening ya, Ma!" Refi berseru dengan wajah bersemu merah.

Mungkin karena cuaca yang cukup panas hingga wajahnya memerah begitu. Namun tak ku sangka kalau dia manis. Ah bukan hanya dia, namun Mama Riki jauh lebih manis sikapnya.

"Kami belum dekat bulan lalu, eum bisa dibilang baru kenalan dua hari mungkin?"

Uhuk! Uhuk!

Melihat keduanya yang terbatuk-batuk aku jadi meringis.

Refi tersenyum tipis. "Gila, gas pol, Ma!" ujarnya lantas dua wanita itu tertawa.

"Kak, mungkin saja sekarang kalian nggak dekat-dekat banget. Dan sebenarnya aku nggak mau baik-baikin kak Riki, tapi kali ini aja biarin deh. Intinya walaupun muka ngeselin, sok ramah dan kayak mas kupu-kupu gitu tapi kakak aku pendengar yang baik kok."

"Mungkin saja kalau kakak butuh sandaran, saran, ataupun pelukan selama nggak melewati batasan ke dia aja. Kak Riki baik kok, dia dewasa tapi kadang agak manja, ya kan, Ma?"

Mama Riki mengangguk. "Dia datang, jangan sampai kamu kehilangan cahaya ya. Dan maaf, Riki tipe orang yang terbuka jadi kami sedikit tahu mengenai kamu. Have fun anak mama!"

Aku bingung sebenarnya. Namun hanya bisa tersenyum saja.

"Pulang yuk, Ta? Udah jam tiga nanti bibik nyariin," ujar Riki sambil menepuk pundak ku.

Refleks aku menepisnya. Entah dari mana namun muncul rasa takut dalam benakku. Melirik mama dan adik Riki, ku kira mereka akan marah namun justru mengulas senyum tipis.

"Kak, biasa aja ya?" tegur Mama Riki pada putra keduanya itu.

Sedikit merasa bersalah namun aku bingung juga harus melakukan apa. Sejak kecil aku memang susah beradaptasi dengan orang lain.

"Sorry, Ta. Pulang kan?" ulangnya lagi.

Mengangguk sebagai jawaban. Aku lekas berdiri lantas membungkuk karena bingung harus mengatakan apa.

"Ma, pergi dulu ya!" pamit Riki.

"Hati-hati ya, Kak. Jangan sampai lecet calon kakak ipar aku, nanti kalau bang Dimas maju selangkah pasti kak Riki kalah wahahaha!" goda Refi sambil tertawa mengejek kakaknya.

Aku tersenyum tipis melihatnya.

"Setan!" balas Riki sambil memintaku untuk gegas mengikutinya.

Kami keluar lantas berjalan menuju ke arah garasi.

"Ngapain, Kak?" tanyaku.

"Ah gue lupa bilang, kalau sore gini pasti nggak nyaman joging, Ta. Nggak masalah kan kalau aku antar naik montor? Atau mau mobil biar lo nyaman?"

Menggeleng dua kali. Tidak, sudah cukup aku menyusahkannya hari ini. Walaupun tak nyaman tapi naik montor sepertinya jauh lebih cepat sampai, 'kan?

"Nggak usah, naik motor aja, Kak," kataku.

Dia tersenyum. "Lucu ya kalau lo yang panggil kakak, nggak kayak si setan."

Setan?

Aku tertawa meresponnya. Maksudnya Refi itu bukan? Haha, ada-ada saja deh. Kalau gadis manis seperti Refi saja dianggap setan apa daya aku yang bahkan mengenakan bedak tabur saja tak pernah?

Pasti di mata Riki aku jauh lebih buruk iya, 'kan?

"Yuk!" ajaknya yang sudah naik motor lebih dulu.

Saat aku hendak duduk di atas motor matic itu tiba-tiba saja dia menyerahkan helmet padaku. Ku tatap dia sambil tersenyum simpul.

"Nggak pakai ya?" tebaknya sambil meringis pelan.

"Nggak," balasku yang lagi-lagi merasa bersalah.

Eum atau memang hanya satu rasa ini yang bisa ku jabarkan? Sepertinya aku memang tak bisa mengekspresikan perasaan lainnya?

"Sini," pintanya.

Aku mengerjap bingung.

"Gue pakein, Ta. Ya ampun muka cengo kamu comel bangetttt sih," ejeknya membuatku menggembungkan pipi.

Dia tertawa kencang.

"Jelek ya?" tanyaku.

Hanya butuh beberapa detik saja hingga aku tersadar bahwa cara bicaraku berubah.

"Mana ada, si setan aja kalah dari lo kok. Udah sini gue pakein," ujarnya lagi.

Kali ini dia menarik tanganku lantas memakaikan helmet itu. Dalam hati aku kembali merasa aneh. Pipiku memanas tanpa bisa ku kendalikan. Keringat membasahi tanganku ketika dia mulai memakaikan helmet bahkan menautkan entah apa namanya.

"Makasih," kataku setelah dia menyelesaikan pekerjaannya itu.

Senyum Riki nampak manis kali ini. Setelah aku naik, dia gegas menyalakan motor matic itu. Sore hari begini memang udaranya cukup sejuk.

Namun mengendarai motor bersamanya, jelas terasa berbeda. Rasanya menggebu, aku tak menyangka dia bahkan bisa bersikeras semanis ini.

Jarak rumah kami lumayan jauh. Anehnya, gara-gara naik motor dan mengobrol dengannya selama perjalanan rasanya jarak rumah kami dekat sekali.

Dan kami sudah tiba di depan gerbang. Sama seperti saat memakainya tadi. Maka kali ini pun dia juga membantuku melepaskannya. Belum sempat bibirku mengutarakan niat untuk memintanya mampir. Namun dia telah mengatakan sesuatu lebih dulu.

"Gue pergi ya, mau main sama temen. Pergi dulu, Ta!" kata Riki sambil mengusap kepalaku.

Semakin aneh saja rasanya. Nafasku memburu seakan ada sesuatu yang memintanya berhenti sejenak.

Bahkan saat Riki sudah pergi dan menghilang dari pandanganku aku masih tetap saja mencarinya.

"Non, napas gih!" goda bibi yang entah sejak kapan muncul tepat di sampingku sambil membuka pagar.

Tersadar kalau memang belum bernafas gegas aku melakukannya. Namun saat melirik bibi, aku malu bukan main.

"Apaan sih!" seruku lantas berbalik arah dan gegas meninggalkan bibi yang tertawa.

Masuk ke kamar, ku kunci pintu rapat-rapat. Ku taruh tangan di depan dada, detak jantung yang jauh lebih cepat dari sebelumnya. Saat mata memejam, bayang-bayang Riki berbaur dengan wajah Saka membuatku terduduk di lantai yang dingin.

Jangan, kumohon jangan jatuh hati pada siapapun itu. Setiap bunga yang menari karena angin mereka pasti akan gugur perlahan.

Aku bunga, dia angin yang menerpa.

Jatuh hati secepat ini, maka akan terluka dalam waktu yang cepat pula. Mencintai maka harus siap sakit hati. Diterima dengan baik, bersiap-siap untuk dibuang juga.

Banyak konsekuensi buruk. Jadi kumohon hati, jangan jatuh hati padanya.

"Ta?"

Suara ini....

"Have fun ya? Hahaha, calon mertua kamu baik banget!"

Tu-tunggu? Ini bukan hari Rabu? Bagaimana bisa aku mendengarnya? Mengapa bisa ada suara Saka?

Ku pegangi kepalaku lantas menggeleng beberapa kali. Nggak, pasti bukan kan?

Itu Riki, kumohon seseorang katakan padaku. Ini bukan suara Saka, 'kan? Dia tak muncul jika bukan hari Rabu. Jadi mana mungkin kalau dia-

"Ah, Ta ... hatiku terluka karena kau melupakanku hanya karena cowok baru. Apa setelah ini aku harus sering menampakkan diri agar kami bisa mengingat ku lagi?"

Aku menangis mendengarnya. Nggak, bagaimana bisa? Meraung lantas melemparkan vas. Bohong kan?

'Saka, please jangan gini ....'

'Aku ... juga mau bahagia.'

To be continued ....