Jika kamu memang tak mau aku bahagia, setidaknya jangan membuatku semakin terluka. Tinggalkan saja aku, dalam keadaan yang rancu, entah bahagia ataupun terluka maka tolong biarkan saja.
Karena berjalan sendirian sudah cukup melelahkan jadi tolong jangan membuatku merasa kesakitan juga.
Lee Taa Ri
...
Kembali pada aktivitas biasanya. Ah rasanya malas sekali pagi tadi aku beranjak dari tempat tidur. Tapi kasian bibi yang susah payah membujuk, setidaknya aku masih punya hati nurani kok.
Meskipun masuk ke sekolah, bahkan hingga duduk sendirian di bangku belakang tak ada yang mau menyapaku. Memang sesekali mereka menengok namun hanya sebatas itu saja. Ingin rasanya aku dekat dengan mereka, paling tidak bisa saja kenangan buruk ini perlahan menghilang.
Tapi, susah sekali rasanya. Mereka tak mau mendekati duluan, dan aku juga kesusahan memulai obrolan.
Refi, membayangkan senyum manis gadis membuat hatiku menghangat. Meski belum tentu aku bisa kembali melihatnya, walaupun tak sempat tukar kontak juga namun senang bisa mengenalnya.
"Ki? Weh tumben main, ngapain woy?"
Meskipun mereka tak pernah mengenalku, atau tahu keberadaan seorang Clarista Arum. Tapi kalau masalah wajah dan nama teman sekelas aku hapal. Kami sudah hampir dua tahun sekelas jadi bagaimana mungkin aku tak menghapalnya?
Tapi tadi mereka bilang 'Ki' bukan? Apa Riki ya?
Aku menggeleng malas mengecek ke depan dan lebih memilih bersembunyi di balik Hoodie. Mataku mungkin saja sembab karena semalam menangis kencang jadi akan lebih baik jika ku tutup saja wajahku.
"Rista?"
Suara ini?
Aku mendongak lantas mendengus. Seperti dugaan, dia benar-benar Riki. Ah kakak kelasku ini tak bisa menghilang saja ya? Sungguh rasanya aku malas menatap wajah itu.
Kelakuannya membuatku sebal. Dia datang kemari seakan memberitahukan pada semua orang bahwa kami dekat.
Masalahnya, teman sekelas ku. Dia yang duduk di bangku depanku ini menyukainya. Mana bisa aku mendengar mereka mengolok-olok diriku?
"Ngapain?" tanyaku sambil mencoba untuk tak menunjukkan ekspresi.
Karena jika aku tersenyum sedikit saja, itu sama halnya dengan mencari masalah saja!
"Dari Refi, dia katanya lupa ngasih ini kemarin. Lo suka, 'kan? Dia beliin, biar couple dan lain kali kalau m-"
"Makasihhh," potongku sebelum dia banyak bicara.
"Oh, oke," balasnya yang kelihatan canggung sekali.
Aku menatapnya dan dia tersenyum. Seolah paham dia kembali membaur dengan teman-temannya itu.
Baguslah, paling tidak berita tak akan tersebar. Lebih lagi jika itu berita buruk. Aku sama sekali tak mau mendengarnya karena cukup merepotkan.
Yang ku impikan adalah masa SMA yang nyaman bukan seperti SMP dulu. Itu masa-masa menyedihkan untukku.
Selang beberapa saat Riki pergi meninggalkan kelasku karena sudah bel masuk. Aku bernafas lega, paling tidak untuk dua jam ke depan hidupku aman.
"Lo siapanya kak Riki, Ta?"
Ku kira akan benar-benar nyaman namun ternyata tidak demikian. Sepertinya meski bertanya mereka berdua akan bergosip setelahnya.
"Teman," balasku tak peduli.
Karena arahan dari guru aku menyalin semua rumus-rumus ke dalam buku catatan. Tentunya dengan perasaan risih karena semua orang menatapku.
"Diam-diam racun ya," bisik bangku di samping kiriku.
Mungkin memang disengaja hingga aku bisa mendengarnya dengan jelas. Tapi ya masa bodoh lah, tujuanku sekolah untuk mengusir trauma sekaligus menimba ilmu.
Walaupun sejak dulu posisiku hanya jadi yang ketiga saja. Bagiku itu jauh lebih baik ketimbang tak mendapatkan apa-apa. Bukankah benar begitu?
"Caper sih tu anak pasti. Atau jangan-jangan tiap Rabu dia kabur dari kelas karena bolos sama kak Riki ya?"
Praduga tak berakal lainnya muncul. Ah, aku benar-benar kesal. Bagaimana bisa mereka berasumsi seenaknya seperti ini?
Jika tak tahu apa-apa seharusnya mereka diam saja!
Dua jam yang melelahkan!
Tak ada yang namanya istirahat. Bagiku saat bel jeda pelajaran hanya buang-buang waktu saja. Mungkin bagi mereka yang memiliki kelompok masing-masing bisa saling tukar cerita namun tidak denganku.
Aku mana mungkin memiliki teman? Sebenarnya mungkin saja, namun karena Riki tadi tatapan biasa mereka berubah jadi sinis.
Mendengus kesal diriku melihat mereka semua. Ah lagi-lagi ada yang mau mendekat, aku mohon jangan sampai mereka bertanya-tanya.
"Rista!"
"Hai, Ta!"
Sapa mereka. Bukan langsung membalas, namun aku justru mengamati mereka berdua. Entah mengapa rasanya aneh, senyum terpaksa mereka menggugah hatiku.
"Ya?" sahutku bingung.
Masa aku harus menjawab hello? Atau yang lainnya. Aku, bingung.
"Pacarnya kak Riki kan, Lo?" tanya Desi.
Aku gak mungkin salah menyebutkan namanya karena dia yang paling cantik di kelas ini sekaligus bendahara yang tiap minggunya mendatangiku.
"Bukan," balasku seadanya dan jujur juga.
Desi tersenyum simpul sedangkan yang lainnya tertawa. "Mungkin lo nggak bisa kasih tahu kita tapi kak Riki tuh akrab sama semua anak. Mereka pasti bisa menebak dari tingkahnya tadi."
"Yoi, dia kelihatan banget kalau suka sama lo, Rista. Wajar sih nggak sadar, selama ini kalau datang ke kelas aja dia suka sembunyi-sembunyi loh!" sahut yang lainnya.
"Eh iya deng, gue kadang lihat kak Riki nengok ke belakang terus. Ya cuman nggak nyangka aja kalau kalian beneran ngedate, sweet banget kang kupu-kupu wekaweka." Yang lainnya pun menimpali.
Aku memiringkan kepala. Mencoba memahami apa yang terjadi. Mengapa mereka ramah?
"Muka lo astaga, Ta! Kalem, nggak akan ada yang berani labrak lo kok. Ngomong-ngomong tadi ada yang bisik-bisik kan? Hayo ngaku! Atau tanya aja men biar jelas," usul Desi.
Mendadak semuanya mengajukan pertanyaan dan aku hanya menjawab seadanya saja. Berkali-kali mereka mengatakan bahwa tak ada salahnya.
Namun saat hendak pulang, aku mendengar sesuatu yang tak seharusnya.
"Kalau bukan karena permintaan kak Riki, beneran gue labrak lah!"
Entah suara siapa itu, aku tak tahu karena hanya mendengar dari balik tembok kamar mandi.
"Sabar, paling juga nggak lama. Btw, emang cantik sih Rista, insecure gue sama dia. Mana ada yang berani maju kalau saingannya cewek cakep kek dia?"
Kali ini suaranya beda lagi. Kemungkinan ada lebih dari satu orang yang mengomentari hidupku di dalam sana.
"Anjir jangan diingetin ish! Gue kalah cantik kalau gini ceritanya. Tauk ah, crush ilang satu, argh nyebelin amat hidup gue!"
Melihat dua orang keluar gegas aku bersembunyi. Ah, mereka dari kelas sebelah. Ku pikir Desi tadi, karena kebaikan mereka terlihat tak alami seakan ada yang meminta mereka untuk melakukannya.
Apa benar karena kak Riki?
Menggeleng malas, aku harus segera pulang. Gara-gara mereka langkahku terhenti!
Merasakan sesuatu menarik lenganku refleks aku melakukan pembelaan diri dengan menendang apapun yang ada di belakang.
"Eits! Hampir aja masa depan gue suram, Ta!"
Jangan tanyakan lagi dia siapa.
"Pulang bareng, yuk! Gue bawa helmet dua kok," ajaknya dengan senyum simpul.
"Aku punya ongkos buat balik," balasku jujur.
To be continued ....