Aku membuka mata lebar-lebar menatap wanita itu sekali lagi.
"Pacarnya bang Riki, kan?"
Pertanyaan yang sama. Aku hanya terdiam, mencoba tersenyum pun rasanya tak kuat.
"Minggir bisa nggak sih? Gangguin aja, mama mana?" sahut Riki.
Aku tersentak saat tiba-tiba saja dia menggandeng kemudian membawaku masuk ke dalam rumahnya. Adiknya yang cantik itu mengikuti kami, diam-diam aku iri pada kecantikannya. Jika adiknya saja bisa secantik ini, maka mamanya seperti apa ya nanti?
"Kak, namanya siapa?" bisik adik Riki.
Aku mengulas senyum pada akhirnya. "Clarista Arum, panggil saja kak Ta," balasku.
Binar matanya saat aku menyebutkan nama lengkap membuat siapa saja bisa jatuh hati padanya. Wajahnya yang manis, senyum menawan serta rambut bergelombang cantik.
"Re minggir sana, jangan dekat-dekat, Rista muka lo nyebelin!"
Tertawa diriku melihat mereka. "Kalian lucu," ujarku tanpa sadar.
Jelas respon Riki berlebihan. Mana bisa dia menatapku sedekat itu?
"Lo ketawanya bikin candu," kekeh laki-laki itu.
Meledak rasanya di dalam sana. Apa ini tak terlalu cepat? Ah bukan, apa aku begini karena sudah lama tak dekat dengan laki-laki manapun ya?
"Uh cie gombalnya nggak banget, jijay tau, Kak! Lihat kak Ta aja sampai nggak bisa ngomong apa-apa, huwek mama mau muntah anakmu!"
"Hey adik nakal, Refi! Awas ya lo gue angkut ke tengah sawah mampus ntar!"
Berkat Refi yang mengejek Riki akhirnya aku bisa bernafas lega.
Meskipun tadi tak dipersilahkan untuk duduk namun dia tidak mungkin membuatku terus berdiri kan? Sofa panjang ini terasa sangat nyaman.
Aku menatap sekeliling hingga tatapanku terpusat pada sebuah foto keluarga. Ah rupanya ada Riki tiga bersaudara. Mama dan papanya saja good looking, pantas jika anaknya seperti itu.
Dan yang paling membuatku iri, dalam figura itu menampakkan semua orang yang tengah tertawa. Aku anak tunggal, namun sekalipun tak pernah melakukan foto keluarga. Lebih lagi saat Saka tiada. Rasanya benar-benar tak ada lagi cara untukku hidup dengan damai.
"Hai," sapa seseorang yang wajahnya baru kulihat tadi, di dalam figura itu.
Meskipun mama menghilang jauh-jauh hari dan tak lagi merawatku sebagai anaknya. Tapi, aku cukup paham etika. Ku salami tangannya.
"Pagi, Tante, maaf ya pagi-pagi sudah main," kataku sungkan.
Jelas sekali kalau Riki membawaku datang bukan karena mamanya itu. Tapi meksipun sudah tahu anehnya aku tetap saja mengikutinya. Rasanya seolah tak mau melepaskan diri darinya, dia yang mengulurkan tangan maka jangan salahkan jika aku enggan melepaskan.
"Wah, sopan banget sih. Aduh nggak masalah kok, justru Tante senang kamu disini," balas Mama Riki itu.
Aku yang semula berdiri untuk menyalaminya kini dipaksa duduk. Wanita cantik itu menatapku dalam membuat jantung ini gugup saja. Dia tertawa, entah apa yang lucu namun tawa itu membuatku candu.
"Hem, sekarang tante kayaknya tahu deh kenapa dia selalu cerita tentang Rista. Kamu manis, sering-sering datang ya? Dunia yang secerah mentari jauh lebih menyenangkan ketimbang kegelapan yang menyesakkan," ujar Tante itu.
Bingung? Iya, mengapa dia mengatakannya mantap seolah-olah memang mengetahui segalanya. Padahal dia orang lain, aku jauh lebih suka jika wanita ini nggak sok tahu.
Berkat ucapannya, aku yakin kalau setelah ini gak akan kemari lagi apapun yang terjadi. Dia benar-benar menyebalkan ya? Aku membencinya, sungguh.
"Iya, Tante," balasku seadanya.
"Nah bagus! Karena sudah sarapan tadi, bagaimana jika kamu bantu Tante masak saja yuk? Nanti setelah ini kita makan siang bersama-sama, tante tahu sih kalau kamu pasti sibuk tapi pulang nanti aja ya? Riki nggak pernah ajak main anak gadis, ya gitu katanya mereka insecure lihat Refi."
"Berhubung kamu yang pertama, mau kan makan siang sama kami?"
Sorot mata tulus seorang ibu. Mama pernah menatapku seperti itu, dulu, namun kini dia mana pernah melakukannya?
Apa kali ini tak masalah ya jika aku mencobanya?
"Memang boleh?" sahutku seadanya.
Tak ku sangka. Hobi yang terkubur ratusan hari kini masih normal rupanya.
Sama sekali aku gak pernah menduga kalau masih bisa memasak. Jam memang baru menunjukkan pukul setengah sepuluh namun makanan semuanya telah tersaji.
Mama Riki menatapku tak percaya. Refi yang sebagai hanya mencicipi saja sejak tadi sampai geleng-geleng. Aku melihatnya, dia bahkan sengaja makan duluan dan masa bodoh pada jadwal makan siang.
"Kak, walaupun aku sempet mikir kasian kakak yang punya pacar Riki. Tapi kalau kayak gini nggak papa, atau kakak mau sama bang Dimas saja? Dia jauh lebih mapan dan cocok buat kakak!"
Dia yang menggebu-gebu membuatku tertawa kecil. Berlebihan sekali ya dia itu? Mana baru jam segini sudah makan dua kali.
"Siapa yang cocok sama abang?"
Gara-gara pertanyaan itu aku terkejut. Ya tentu saja karena Riki menarik kursi yang ku tempati saat ini.
"Jauh-jauh dari Dimas, dia kupu-kupu," bisiknya membuatku kebingungan.
Kupu-kupu?
Maksudnya apa ya?
Atau, laki-laki yang bersikap manis namun pergi saat sudah mendapatkan keinginannya? Meskipun aku tak memiliki teman namun istilah 'kupu-kupu jauh lebih berbahaya dari buaya' sudah terdengar sampai ke telinga.
"Wow, cewek sapa nih?"
"Eits, Abang! Jangan main-main dia ini calon kakak aku, kalau Abang mau menggoda sama janda sebelah aja. Kalau mau menikah aku bakalan jadi orang pertama dan paling keras yang bilang, SAH!"
UHUK UHUK!
Aku terbatuk-batuk mendengar ucapan ngawur itu. Janda sebelah, sah? Sebenarnya bagaimana sih pola pikir keluarga ini.
"Ya ampun, Refi, kamu bikin kakak kesulitan loh ini. Sudah deh jangan ngada-ngada, sana makan yang banyak saja! Bikin ulah saja bisanya," omel Tante ini.
"Dih, kan Abang yang mulai. Eh aku sih, tapi tetap saja benar kan, Ma? Lihat muka Abang jauh lebih ganteng dari kak Riki. Untuk antisipasi jadi aku bilang gitu. Nah mari kita tanya, menurut kak Ta siapa yang paling ganteng di antara mereka?" tanya Refi padaku.
Aku menatap seseorang yang dipanggil Abang oleh Refi, lantas beralih pada Riki.
"Nggak ada," balasku jujur.
Ngomong-ngomong, aku ingin bertanya sejujurnya. Bagaimana bisa Refi berbicara banyak dalam waktu singkat?
"Yah, Tante kecewa...."
"Sama, aku juga, itu artinya kakak nggak akan datang lagi ya?"
Respon keduanya membuatku hendak mengangguk namun Riki lebih dulu menyela.
"Nggak bukan jadi alasan dia nggak akan tinggal disini kali, udah deh kenapa pada heboh? Bang, pergi mandi gih nggak usah ikut godain adik ipar!" tegas Riki ngada-ngada.
Sejak kapan aku menjadi miliknya? Kami kenal saja baru kemarin terlepas fakta bahwa dia telah mengenalku sejak lama sih.
"Dih, ngaku-ngaku aja lo sat! Orang dia nggak mau wahahaha!"
Bugh!
Aku meringis saat Riki melemparkan kotak tissue ke wajah kakaknya itu.
Namun tak ada yang kasian, semuanya malah terbahak-bahak seakan yang barusan memang sebuah lelucon saja. Kembali aku bertanya-tanya, pola pikir mereka ini seperti apa?
Secerah mentari yang menyinari pagi hingga membuat bunga menari kah?
To be continued ....