Pandangan Honey mulai sesekali kabur dan berkunang-kunang setelah 15 menit keluar dari klub malam itu. Honey bahkan jadi agak sulit bernapas dan sedikit merasa kepanasan. Charlotte yang pura-pura tidak tahu berjalan lebih awal dari Honey lalu berhenti dan menoleh ke belakang.
"Honey, apa kamu baik-baik saja?" tanya Charlotte pura-pura peduli. Honey mengangkat wajahnya yang mulai memerah menatap Charlotte.
"Kenapa di sini jadi panas?" tanya Honey dan Charlotte langsung mengernyitkan keningnya.
"Ah, kamu ada ada saja. Ayo, kita harus kembali!" ajak Charlotte lagi. Ia langsung menarik tangan Honey yang sudah semakin mabuk tak sanggup berdiri. Honey meminta berhenti menyandarkan punggungnya di salah satu dinding koridor.
"Aku ingin ke toilet!" gumam Honey dengan suara kecil. Charlotte lalu mengangguk dan memapah Honey. Tapi bukannya membawa ke toilet, malah ia membawa temannya itu masuk ke dalam lift. Honey tak bsia berbuat apa pun. Tubuhnya serasa melayang dan ia terus menggesekkan kedua pahanya di balik rok.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Charlotte saat melihat perilaku aneh Honey. Honey menyengir malu dan mengangguk lalu menundukkan kepalanya yang pusing.
Keluar dari lift, Charlotte membawa Honey ke lantai paling atas di hotel mewah itu. Dia berpikir itulah tempat terjauh dimana ia bisa meninggalkan Honey agar tak kembali ke ruang audisi. Charlotte kemudian memapah Honey keluar dari lift dan ia sudah mulai meraba tubuhnya sendiri tanpa sadar.
Charlotte berniat meninggalkan Honey begitu saja di salah satu koridor yang ternyata menuju beberapa kamar presidential suite. Sampai ia dipergoki oleh seorang pria yang menawarkannya bantuan karena melihatnya memapah gadis mabuk.
"Apa kamu butuh bantuan?" tawar pria tersebut pada Charlotte yang tengah memapah Honey.
"Uh, umm ... dia ..." pria itu terus memandang Charlotte yang mulai panik dan pria tak dikenalnya itu sepertinya mulai curiga.
"Dia seharusnya jadi teman kencan seorang pria, masalahnya aku tidak tahu dimana kamarnya. Aku hanya membantu mengantar!" jawab Charlotte spontan. Pria itu masih memandang lalu mengalihkan perhatiannya pada gadis yang tengah dipapah. Setelah memandang Honey, pria itu sedikit sedikit menyeringai dan melirik ke arah sebuah kamar.
"Ikut aku, aku tahu siapa yang butuh kencan!" pria itu lantas berbalik dan Charlotte yang memapah Honey lantas mengikutinya. Pria itu lalu mengetuk pintu beberapa kali sampai seorang pria tanpa atasan dan hanya memakai celana membuka pintu. Tapi ia tak begitu terlihat karena ternyata lampu kamar dibuat temaram.
"Aku punya hadiah untukmu!" ujar pria itu pada pria di depannya yang terlihat bingung tak mengerti. Tanpa ijin, ia langsung menerobos masuk dan meminta Charlotte ikut masuk untuk mengikutinya.
"Letakkan saja dia di ranjang!" ujar pria asing itu pada Charlotte. Ia pun mengangguk dan meletakkan gadis yang dipapahnya ke atas ranjang.
"Ada apa ini?" tanya pria tanpa atasan itu masih bingung. Charlotte sempat berbalik dan mencoba melihat sosok pria itu. Dari temaramnya lampu dan jarak yang cukup jauh karena ia berdiri di ujung koridor kamar, Charlotte bisa melihat tubuh atletis dan raut ketampanan pria yang tak ia kenal itu.
"Ada hadiah untukmu. Sekaligus untuk membuktikan apakah kamu bukan gay!" ucap pria itu pada pria yang tak memakai atasan itu lagi. Pria itu sempat memiringkan kepalanya melihat Honey gadis yang kini tergeletak di tempat tidurnya.
"Jika dia tak bisa berjalan esok pagi, baru aku percaya bahwa kamu adalah pria normal. Dan akan kukatakan pada yang lainnya!" pria itu bicara lagi lalu mengajak Charlotte untuk pergi meninggalkan Honey bersama pria yang tak dikenalnya di atas ranjang di dalam sebuah kamar mewah.
Setelah Charlotte keluar, ia lalu menghalangi pria yang membuat dirinya membawa temannya ke dalam kamar mewah itu.
"T-Tunggu ... aku ..." sisi humanis Charlotte tiba-tiba muncul dan hendak mengurungkan niat dengan meninggalkan Honey di kamar itu. Bukan itu tujuan awalnya, ia hanya ingin mengerjai. Pria itu berbalik dan mendengus lalu seperti mengingat sesuatu. Ia lantas merogoh dompet dan menarik 10 lembar uang 100 dolar dan memberikannya pada Charlotte.
"Aku rasa ini cukup untuk dua jam. Atau mungkin dia hanya kuat satu jam saja, temanku itu gay. Kurasa dia mungkin tak akan menyentuh gadis itu. Jadi ini cukup kan?" ujar pria itu memberikan lembaran uang tersebut pada Charlotte. Ujung bibir Charlotte kemudian naik dan tersenyum. Tangannya lantas mengambil lembaran uang-uang itu dan mengangguk.
Setidaknya ia tak begitu khawatir karena pria yang bersama Honey adalah seorang gay. Honey pasti akan baik-baik saja. Dia hanya harus gagal audisi, setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Charlotte.
Pria itu pun pergi bersama Charlotte masuk ke dalam lift yang sama. Dan mereka sempat mengobrol sebentar sekedar berkenalan.
"Aku sedang mengikuti audisi di bawah!" pria menaikkan alisnya dan mengangguk.
"Namaku Dalton Curt dari Tritone Music!" mata Charlotte langsung membesar dan dan sikapnya berubah antusias.
"Apa kamu produser di Tritone?"
"Aku pemiliknya!" Charlotte makin senang.
"Apa aku boleh tahu kapan kalian akan mengadakan audisi seperti Skylar?"
"Kenapa memangnya?" tanya Dalton lagi.
"Aku ingin mencoba jika aku tidak lewat audisi disini!" Dalton hanya menyeringai dan membiarkan harapan Charlotte berputar-putar saja melayang di udara.
Sementara di dalam kamar, Rei ikut panas saat melihat tubuh indah gadis asing yang kini berada di ranjangnya. Bibir Rei yang tipis kini mengecup pelan ujung dagu gadis yang bahkan tak ia tahu namanya saat ia menekukkan lehernya ke belakang.
"Uh ..." bibir, lidah dan gigitan Rei kini diberikan ke sepanjang leher sang gadis yang ikut meremas pundak dan kini rambutnya. Bagaikan vampir yang lapar, Rei memberikan seluruh ciuman basah yang terus membuat gadis itu menggelinjang hebat.
Gadis itu punya tubuh yang jauh lebih kecil Christina. Tapi yang paling membuat Rei bergairah adalah wangi rambutnya. Ingin rasanya Rei memasukkan seluruh gadis itu ke dalam mulutnya. Bau manis seperti campuran madu dan cherry blossom di musim semi.
"Aku suka wangi rambutmu, Sayang. Manis ..." desah Rei lalu menaikkan tubuh gadis itu dan melucuti semua sisa pakaiannya sampai hanya meninggalkan pakaian dalam. Rei lantas menjauhkan dirinya dan sedikit terengah terus memandang gadis cantik di ranjangnya. Ia mundur dan menyalakan satu buah lampu.
Mata Rei rasanya tak ingin berkedip. Dengan hanya menggunakan pakaian dalam dan rambut pirang emas yang begitu berkilau, Rei kembali mendekatkan dirinya.
Tangannya lantas menjulur ke depan untuk meraba dan merasakan hangatnya kulit gadis itu. Ia meraba dari leher lalu pindah ke tengkuk dan semakin naik ke atas rahang. Ujung jarinya membelai lembut pipi gadis yang kini berada di bawah kakinya, di bawah pengaruhnya.
Rei menyeringai dan meremas sejumput rambut pirang gadis itu lalu menariknya ke belakang. Terdengar suara lenguh dari bibir pink si gadis itu. Lidah Rei sedikit keluar menjilati ujung bibirnya sendiri. Ada hasrat yang berbeda saat melihat mata polos seperti itu memohon untuk dilepaskan.
Sebelah tangannya yang lain lantas meraba pengait celana semi kulit yang masih ia kenakana. Bunyi ziper lalu terdengar pelan tanda celana mulai dibuka. Rei hanya hanya perlu menurunkan sedikit agar sang gadis tahu apa yang harus ia lakukan.