Beberapa hari setelah pulang dari Boston, Honey masih tak memberi tahukan apa pun pada Abraham ayahnya. Angelica yang memeriksa seluruh luka-luka memar yang dialami oleh Honey, membelikannya sebuah salep anti memar juga menutupinya dengan concelair.
Perlahan luka itu mulai memudar tapi luka di hati Honey mungkin tak akan hilang selamanya. Ia juga masih belum mencairkan cek yang diberikan oleh pria itu untuknya. Honey tak akan sudi memakai uang itu. Jika tidak, ia sama saja dengan seorang pelacur yang sudah menjajakan tubuhnya.
"Hai sayang!" kecup Axel di sisi kening Honey ketika ia tengah menata piring untuk makan malam mereka di atas meja makan. Honey hanya tersenyum tipis dan mulai menyajikan makan malam untuk mereka bertiga.
"Wow, aku rasa kita bisa buka restoran saja daripada bengkel!" celetuk Axel lagi. Honey masih tersenyum saja dan menyelesaikan menghidangkan makanan. Tak berapa lama Abraham datang lalu mencuci tangannya dan duduk di meja makan berhadapan dengan Axel juga Honey.
"Ayo kita berdoa!" ketiganya lalu saling berpegangan tangan untuk berdoa mensyukuri segala makanan dan kenikmatan yang mereka dapatkan hari ini.
Semenjak tinggal bersama Axel dan Honey, Abraham jadi lebih religius. Ia mulai ke gereja dan tak pernah absen berdoa. Abraham bahkan ikut perkumpulan gereja di kota mereka Crawford sebagai relawan sosial membantu manula dan gelandangan.
Ia sendiri memiliki sebuah bengkel di garasi rumahnya dan cukup terkenal di kota kecil itu. Abraham dan kedua anaknya hidup sederhana, jauh dari hiruk pikuk dan kemewahan yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya saat ia menjadi Grey Hunter.
Kini setelah ia menjadi seorang ayah dari dua anak-anak mendiang kakaknya James Belgenza, Grey yang mengganti namanya menjadi Abraham merasa jauh lebih tenang. Ia tak menikah dan memilih menjadi ayah saja.
"Aku dengar Charlotte lolos ke babak selanjutnya ya?" celetuk Axel tiba-tiba saat mereka tengah makan pada Honey. Honey terdiam lalu sedikit melirik pada adiknya.
"Yah, begitulah!" jawab Honey dengan suara kecilnya. Ia lalu menundukkan wajahnya dan itu disadari oleh Abraham.
"Sayang, kamu pasti akan bisa meraih cita-citamu nanti. Aku yakin semua akan berjalan lebih baik dan lebih indah untukmu, hhmm!" ucap Abraham tersenyum mencoba membesarkan hati Honey. Honey hanya mengatupkan bibirnya dan mengulum senyum sambil menggeleng pelan.
"Aku ingin menyelesaikan kuliah ku saja. Tugas akhirku hampir selesai dan aku hanya perlu surat rekomendasi magang dan selesai!" jawab Honey kemudian. Abraham ikut tersenyum tipis meski tak mengangguk.
"Apa kamu tidak ingin mencoba audisinya lagi?" tanya Axel lagi dan Honey menggeleng.
"Mungkin peruntunganku bukan di dunia tarik suara, Axel. Aku tidak ingin memaksa."
"Aku hanya tidak ingin kamu putus asa, Honey. Aku yakin kamu pasti bisa menjadi penyanyi terkenal nantinya." Honey terkekeh kecil dan masih menggeleng.
"Ya sudah jika kamu tak ingin jadi penyanyi, tidak apa-apa. Daddy dan Axel hanya ingin kamu melakukan semu yang kamu inginkan dan meraih seluruh cita-citamu." Abraham mencoba menengahi dengan memberikannya nasehat. Honey hanya tersenyum tipis dan mengangguk saja. Ia masih sedikit menunduk dan menyembunyikan kesedihannya.
Usai makan malam, Honey kemudian masuk ke dalam kamarnya. Ia mengganti pakaiannya dan memeriksakan kembali bekas memar itu yang kini terlihat jauh lebih baik. Sudah tinggal sedikit bekas merah dan beberapa bercak saja.
Honey tetap memakai sweater hoodie nya karena malam ini cukup dingin. Selain ia juga tak ingin jika bekas itu terlihat karena tiba-tiba Axel masuk ke dalam kamarnya. Honey lalu duduk di meja belajarnya dan menghidupkan sebuah lampu. Ia mengambil buku untuk belajar lagi demi bisa lulus di ujian terakhirnya.
Honey dan Axel berkuliah di tempat yang sama. Mereka bahkan kerap satu kelas meski Axel baru akan genap berusia 20 tahun beberapa bulan lagi. Honey lebih tua beberapa bulan dari Axel namun mereka hampir tak ada bedanya.
Baru beberapa menit berkonsentrasi, mata Honey menangkap lagi amplop dari hotel Poseidon yang ia dapatnya beberapa hari lalu. Ujung jemarinya lalu menarik amplop tersebut dan membukanya lagi. Honey sudah memakai lagi kalungnya tapi kartu pesan dan ceknya masih ada di sana.
Matanya membaca lagi tulisan tangan itu. Pria itu tak menuliskan namanya sama sekali. Pandangan Honey lalu beralih pada cek yang belum diuangkan itu. Ia belum membaca dengan jelas dan ada nama pemilik cek yaitu si pria yang sama tertera di sana. Hanya saja ia harus mendekatkan lagi cek tersebut agar bisa melihat lebih jelas.
"R. Har ... ris ... tian?" Honey mengeja perlahan nama yang dituliskan dalam tulisan tangan bersambung itu.
"Harristian?" sebut Honey lagi mencoba mengingat.
"Kenapa rasanya aku pernah mendengar nama itu? Tapi dimana?" Honey masih terus bergumam dan berpikir. Ia yakin pernah mendengar nama itu di suatu tempat. Sedang asyik mengingat, pintu kamarnya tiba-tiba di ketuk dan kepala Axel muncul kemudian di baliknya. Honey pun berbalik dan tersenyum.
"Masuklah!" Axel langsung masuk dan menutup kembali pintu kamar Honey. Ia berjalan ke arah ranjang dan tidur terlentang di sana. Honey pun tak lama ikut naik ke atas ranjang dan langsung tidur di sebelah Axel.
"Aku tidak bisa tidur. Ketika kamu pergi tiga hari, aku malah bermimpi buruk!" sungut Axel kemudian sambil memajukan bibirnya. Honey sedikit menoleh dan terkekeh.
"Aku rasa kita harus berhenti tidur bersama," gumam Honey pelan.
"Kenapa?"
"Kita bukan anak-anak lagi dan punya ranjang masing-masing." Axel sedikit tertegun dan menarik napasnya. Ia menjulurkan tangan agar Honey bisa bersandar di pundaknya seperti biasa.
"Aku selalu takut saat malam, kamu tahu itu kan?" Honey mengangguk saat bersandar di dada Axel.
"Sebelum Daddy pergi, malam itu dia bilang dia akan membawa kita pergi liburan di Maldives. Aku belum pernah pergi ke negara tropis, jadi aku sangat senang mendengarnya." Honey sedikit tersenyum dan makin mengeratkan pelukannya.
"Aku sampai tak tidur malam itu, menunggu Daddy dan Mommy pulang untuk menjemput kita," lirih Axel lagi dengan mata berkaca-kaca. Axel menempelkan pipinya di sisi ujung kepala kakaknya Honey.
"Kita sudah kehilangan semuanya. Aku tak mau kehilanganmu juga, Jewel ... " bisik Axel dan Honey yang dipanggil dengan nama lamanya lantas menaikkan pandangan. Jika Axel mulai berbisik memanggilnya dengan nama 'Jewel' maka biasanya ia akan meneteskan air matanya.
Honey memeluk adiknya, Axel dan mereka sempat terisak berdua berusaha membuat suara sekecil mungkin agar tak ada yang mendengar.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Cass!" gumam Honey lagi menyebut nama asli adiknya.
***
The Midas Rei sedang mengawasi proses rekaman salah satu band senior yang tengah membuat album musik baru. Seharian ia berada di ruang teknis musik untuk merekam, memotong, mengedit dan berdiskusi bersama para aranger, teknisi serta musisi.
Kepalanya mengangguk angguk mengikuti ritme musik yang tengah ia dengarkan lewat headphone yang nyaris tak terlepas darinya. Rei memberikan beberapa instruksi dengan serius sampai Travis, asistennya datang membisikkan sesuatu padanya. Rei membuka headphonenya lalu menoleh dengan wajah yang tak mengenakkan. Ia membuka headphone dan melemparkannya ke atas meja lalu berdiri dan keluar.
Rei tak menyapa siapa pun ketika berjalan masuk ke dalam kantornya. Di sana sudah ada Christina yang berdiri dengan angkuh dan seksi karena memakai pakaian semi terbuka.
"Aku mau kontrakku kembali. Kamu tidak bisa memecatku begitu saja, Rei!" Rei mendengus dan menyengir sinis sambil berjalan mendekat. Travis mengikutinya dari belakang.
"Apa kamu masih punya malu datang kemari untuk meminta kontrak dariku?" Christina ikut mendengus dan mendekat lagi. Ujung jarinya lalu menunjuk dada Rei.
"Jika kamu tidak mau melakukannya. Aku akan mengaku pada media jika kamu memang gay dan selama ini kita melakukan hubungan palsu karena pada dasarnya ... kamu tidur dengan seorang pria!"
Mata Rei sontak membesar dan rahangnya langsung mengeras mendengar ancaman seperti itu.