Abraham masuk perlahan ke kamar putrinya, Honey untuk membangunkannya. Biasanya Honey selalu cepat bangun pagi tapi hari ini ia bahkan tak turun ketika Axel membuatkan sarapan. Menurut Axel, Honey terlihat tak enak badan dari kemarin dan bisa jadi sekarang sedang sakit.
Abraham duduk di pinggir tempat tidur dan meraba kening Honey. Tubuhnya tidak demam tapi ia belum bangun.
"Sayang? Honey?" panggil Abraham sambil membelai kepala Honey dengan lembut. Honey perlahan membuka matanya dan menggeliat malas sambil menarik selimutnya lagi. Abraham jadi mendengus sambil terkekeh melihat tingkah Honey yang menggemaskan.
"Apa kamu sakit? Aku dengar dari Axel kamu muntah kemarin," tanya Abraham kemudian. Honey lalu mengintip dari balik selimutnya.
"Axel mengadu padamu, Dad?" gumam Honey dengan suara serak khas bangun pagi yang menggemaskan. Abraham terus tersenyum dan mengelus punggung Honey agar ia nyaman.
"Apa kepalamu pusing?" tanya Abraham lagi dan Honey pun mengangguk.
"Kalau begitu kamu istirahat saja hari ini. Aku akan turun dan membawakan sarapan untukmu." Abraham lalu bangun dan Honey tiba-tiba menarik tangannya.
"Aku bisa turun, Dad. Aku hanya ingin tidur lebih lama lagi. Sebentar saja!" rengek Honey memohon pada Ayahnya. Abraham tersenyum dan mengangguk.
"Tidurlah." Abraham mendekat dan mengecup kening Honey lalu berdiri dan berjalan keluar dari kamar. Honey terlihat menarik kembali selimutnya yang nyaman dan kembali tidur. Sementara Abraham yang berdiri di depan pintu mulai sedikit khawatir. Honey tak pernah seperti ini sebelumnya. Apa ia benar-benar sakit?
Abraham lalu berjalan kembali ke ruang makan di depan dapur dan Axel masih di sana menghabiskan sarapannya sambil membaca buku. Pandangannya naik begitu Abraham datang dan duduk kembali di kursinya.
"Apa dia masih sakit?" tanya Axel pada Ayahnya. Abraham mengangguk.
"Dia bilang kepalanya pusing." Axel menarik napas dan mengangguk mengerti. Axel lalu mengambil dan menyodorkan sebuah surat panggilan magang dari salah satu perusahaan di Pennsylvania. Abraham mengambil lalu membacanya.
"Kamu melamar untuk Harvey dan Thorn?" Axel mengangguk sambil masih mengunyah. Grey menaikkan pandangan melihat putranya. Ia tampak berpikir sejenak apakah memperbolehkan putranya itu untuk masuk perusahaan yang dipimpin oleh Blake Thorn, salah satu sahabatnya dulu.
"Apa tidak ada tempat lain?" tanya Abraham lagi masih memandang Axel. Axel sempat tertegun dan melipat kedua lengan di atas meja.
"Memangnya kenapa, Dad? Apa ada masalah?" tanya Axel lagi mulai penasaran. Abraham sedikit menggaruk tekuknya lalu kemudian tersenyum agak aneh.
"Tidak ada. Kapan kamu akan melapor?" tanya Abraham lagi.
"Mungkin besok. Aku harus mengurus beberapa hal hari ini." Abraham tersenyum tipis dan mengangguk lagi. Axel meneruskan sarapan paginya dan Abraham masih memandangi sambil mengaduk-aduk makanan di piringnya. Sebentar lagi Axel akan berusia 20 tahun. Seharusnya sudah ada kabar dari Superhart Tech mengenai pengalihan perusahaan itu kepada ahli waris aslinya yaitu Cassidy Belgenza alias Axel Clarkson.
NEW YORK
BHUPP – BHUPP -BHUP ... pukulan jab beruntun diberikan oleh Rei Harristian pada samsak tinju yang tergantung di ruangan gym pribadi miliknya. Tubuhnya tanpa atasan dan memakai headband sudah basah oleh peluh bahkan sampai menetes ke lantai.
Rei sedang kesal dan marah. Pencariannya belum membuahkan hasil dan malah ia dikerjai oleh asistennya sendiri, Travis Lachey.
"DASAR BRENGSEK!" teriak Rei langsung meninju dengan keras sampai samsak itu nyaris terlepas dari gantungan rantainya. Ia mengayun dengan keras dan Rei menangkapnya. Rei memegang benda yang baru dipukulnya itu sambil terengah hebat. Keningnya ia kantukkan sisi samsak dan bernapas dengan tersengal.
Sekarang semua orang menuduhnya adalah pria gay dan gosip tentangnya memiliki hubungan gelap dengan Travis, membuatnya Rei jadi serba salah.
"Gue bukan gay, gue beneran suka sama cewek!" gumam Rei pelan masih mengatur napas dan memegang samsak itu. Bosan dan lelah, terlebih semalaman ia tidak tidur, Rei berbalik dan membuang sarung tinju yang ia gunakan begitu saja. Rei akhirnya berselonjor di salah satu sofa padahal tubuhnya masih penuh dengan peluh. Ketukan di pintu kemudian mendongakkan kepalanya.
Pintu terbuka dan terlihat ayahnya perlahan masuk sambil mencari-cari dirinya.
"Dad?" Arjoona menoleh dan tersenyum. Ia lalu masuk dan sedikit mengernyitkan kening melihat putranya yang basah berkeringat tapi malah tiduran di sofa.
"Kamu lagi apa?"
"Habis olahraga!" jawab Rei singkat lalu bangun dan mengambil handuk untuk mengeringkan peluhnya. Arjoona hanya mengangguk saja dan melihat ke sekitarnya. Rei memang menjaga benar bentuk tubuhnya.
"Ada apa Daddy kemari?" tanya Rei kemudian. Ia mengambil sebotol air minum dan menghabiskannya.
"Daddy bawa seseorang untuk kamu urus. Dia ada di bawah!" Rei mengernyitkan keningnya menoleh pada Ayahnya.
"Siapa?"
"Calon pengawal pribadi Venus. Daddy bisa minta kamu mengurus kan?" Rei menarik napasnya dan mengangguk. Rei lalu mengambil kaos lengan pendek dan memakainya sehingga tato di pundak belakang sebelah kiri tertutupi.
"Daddy pikir kamu gak mau masuk Golden Dragon," celetuk Joona saat melihat tato di punggung anaknya.
"Memang bukan, aku cuma anggota biasa!" jawab Rei singkat lalu berjalan ke arah pintu dan Arjoona pun mengikutinya. Sambil berjalan ke bawah, Arjoona masih mencari tahu soal anaknya.
"Kamu gak berminat jadi Beta-nya Ares?" Rei yang sedang turun dari tangga tiba-tiba berhenti dan berbalik menoleh pada ayahnya sambil mengernyitkan kening.
"Kami bukan The Seven Wolves!" jawabnya sarkas. Arjoona hanya menaikkan kedua alisnya bersamaan.
"Cuma saran!" tukasnya singkat dan Rei meneruskan kembali turun dari tangga.
Di ruang tamu, seorang pria berpenampilan rapi dengan jaket kulit sudah menunggu sambil berdiri melihat sekeliling rumah.
"Rei, perkenalkan ini Dion Elang Juliandra, anak mendiang Steven Juliandra, mantan CEO Winthrop Elektronik di Indonesia. Sekaligus kepala keamanan kakek kamu, Gerald Winthrop." Arjoona memperkenalkan pria bernama Dion itu pada Rei. Rei tersenyum dan menyambut jabat tangan Dion.
"Dion, ini anakku, Alrescha Harristian!" sambung Arjoona lagi.
"Hai, apa kabar? Senang akhirnya bisa bertemu!" ucap Rei dengan ramah usai berjabat tangan. Dion ikut tersenyum ramah dan mengangguk.
"Terima kasih atas keramahannya. Senang bisa bertemu." Rei menepuk tangannya sekali sambil menyengir.
"Kita sama-sama orang Indonesia, jadi jangan sungkan!" Dion tersenyum dan mengangguk. Arjoona tersenyum dan mengangguk.
"So, Dion ... Rei yang akan mengurus semuanya. Keperluan dan pekerjaan kamu seperti apa dia yang akan menjelaskan. Aku harus pergi sekarang, ada beberapa meeting di Kim." Arjoona menambahkan lagi.
"Terima kasih, Rei, udah gantiin Daddy di Kim. Daddy pergi dulu!"Arjoona menepuk lengan Rei dan berjalan keluar dari apartemen anaknya dan meninggalkan Rei beserta Dion berdua. Rei lalu tersenyum aneh dan mempersilahkan Dion untuk duduk.
"Silahkan duduk. Aku panggilnya Dion atau Mas Dion ..."
"Terserah. Bagiku gak masalah!" Rei tersenyum dan mengangguk saja.
"Fine, aku harus mandi dan siap-siap dulu. Setelah itu baru kita liat apartemen buat Mas Dion trus kita ke Skylar, aku akan kenalkan sama adikku nanti. Mas Dion uda sarapan?" Dion tersenyum dan mengangguk.
"Udah tadi di pesawat."
"Kalo gitu, make yourself at home. Welcome to New York!"