Chereads / Biarkan Cinta Memilih / Chapter 19 - Delapan Belas

Chapter 19 - Delapan Belas

"Kita kan disuruh nyari provinsi untuk diteliti apa yang istimewa dari suatu provinsi itu. Gue rasa Sumatra Utara cukup menarik untuk kita teliti. Kalo Bali, semua orang udah tau kali kalo disana banyak pantai indahnya. Ritual-ritualnya juga. Tapi kalo Sumatra Utara, orang-orang masih sedikit yang tahu tentang keindahan provinsi itu," jelas Bella. "Destinasi disitu banyak yang belum di ketahui sama masyarakat. Mulai dari danau toba, air terjun si piso piso dan masih banyak lagi. Nanti kita kembangin sejarah danau tobanya. Baju adat, tarian adat dan lagu daerahnya juga menarik. Apalagi makanan khasnya, kita bisa memperkenalkan bika ambon atau kue putu bambu. Kenapa namanya bika ambon padahal itu dari medan bukan dari ambon."

"Idenya kampung, sama kayak orangnya," sindir Salsha dengan gaya khasnya.

Kini Aldi beralih menatap Dinda yang sedari tadi tertegun menatapnya. "Kalo lo, Din. Kenapa milih Maluku?"

Dinda tersadar dan segera menegakkan tubuhnya. Ia menggaruk kepalanya tak gatal. "Nggak tau sih, ngikut aja."

Aldi menghela nafasnya. Sedari tadi Dinda hanya menatapnya dan tak menyimak sedikitpun ucapannya.

"Jadi kita tinggal milih antara Provinsi Bali dan Sumatra Utara." Aldi beralih menatap Salsha dan Bella bergantian. "Voting aja, ya."

Salsha dan Bella mengangguk setuju. "Kalo hasinya seri gimana?" tanya Bella.

"Ya kalian bikin proposal tentang keistimewaan provinsi yang kalian itu."

"Ribet," keluh Salsha. "Trus kerja lo apa? Yang disuruh bikin proposal gue doang sama dia?"

"Gue kan ketua." Aldi membanggakan diri. "Yang punya ide kan kalian dua."

"Sumpah, ya, ribet banget sekelompok sama kalian." Salsha mulai bosan. "Gue milih ide gue sendiri."

"Gue milih ide Bella," jawab Aldi. Bukan karena ia tak suka dengan Salsha tetapi karena memang ide Bella sangat bagus.

"Jadi 2:1," Aldi menatap Dinda. "Kalo Dinda milih Bella, kita ngambil provinsi Sumatra Utara. Kalo Dinda milih Salsha, kalian bikin proposalnya dulu."

"Gue milih Aldi." Dinda gelagapan karena salah sebut nama. "Maksud gue, gue setuju sama Aldi. Gue milih ide Bella."

Salsha menatap tajam Dinda karena tak memilih idenya. Dinda itu sahabatnya, harusnya Dinda memilih dia. " Din, lo gila. Gue itu sahabat lo, harusnya lo mikih gue."

"Maaf, Sha. Tapi ide Bella menarik, kok."

Salsha memijat pelipisnya. Gini banget punya sahabatnya. Sedangkan Aldi dan Bella menahan tawanya.

"Jadi jelas 'kan. Kita make provinsi Sumatra Utara," kata Aldi. "Udah sore, Diskusinya kita udahin aja. Besok atau lusa di sambung lagi."

Malas berdebat Salsha segera merapikan barang-barangnya dan pergi dari meja itu tanpa berkata sepatah katapun.

"Gue juga pulang, deh. Farel udah nunggu di depan," kata Bella sembari berdiri.

"Hati-hati," kata Aldi. Bella tersenyum dan segera pergi dari tempat itu.

Kini tinggal Aldi dan Dinda yang berada di cafe itu. Suasana jadi canggung. Apalagi Aldi yang merasa kurang nyaman berdua dengan Dinda seperti ini.

"Aldi, udah sore. Bisa nganterin gue pulang?" tanya Dinda penuh harap.

Aldi berpikir sejenak, tak ada salahnya mengantarkan Dinda pulang. Apalagi cuaca sore yang mulai gelap. Akhirnya Aldi mengangguk. "Bisa. Tapi gue ke toilet bentar. Lo tunggu di luar aja."

Dinda mengangguk semangat. Akhirnya ada kesempatan untuknya bisa dekat dengan Aldi. Dinda tentu tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini

*****

"Farel.."

Salsha memanggil yang baru saja menghentikan motornya tepat di depan cafe. Farel melepaskan helmnya dan berjalan melewati Salsha.

"Lo ngapain kesini?" tanya Salsha.

Farel tak menjawab pertanyaan yang tak penting itu. Farel sibuk memperhatikan Bella yang baru keluar dari cafe. Bella menatap Salsha sekilas dan tersenyum menyapa Farel.

"Udah lama nyampenya?" tanya Bella.

Farel menggeleng. "Baru aja sampe. Kita pulang sekarang?"

Bella mengangguk semangat. Sekali lagi Bella melirik Salsha yang diam membeku di tempatnya. Farel memegang tangan Bella dan menarik gadis itu untuk mengikutinya ke motor. Kemudian mereka berdua pergi meninggalkan Salsha sendirian.

Salsha menghela nafasnya, Hatinya sangat sakit melihat lelaki yang ia cintai dekat gadis lain. Apalagi gadis itu adalah orang yang sangat ia benci. Salsha mengepalkan tangannya. Salsha tidak akan menyerah begitu aja. Secepatnya Salsha pasti bisa membuat hubungan Bella dan Farel hancur.

"Lo belum pulang?" tanya Dinda yang baru saja keluar dari cafe. Dinda menatap ke depan. Hujan baru saja turun. "Yah hujan. Lo pulang bareng kita aja."

"Kita?" beo Salsha.

"Iyaa, kita." Bella mengangguk sembari tersenyum malu-malu. "Gue sama Aldi."

"Lo pulang sama Aldi?" Salsha kaget. Ia pikir Aldi tidak akan mau merespon Dinda karena lelaki itu sudah punya pacar. Tapi nyatanya Aldi itu playboy brengsek.

"Yuk, Din." Aldi keluar dari cafe dan heran menatap Salsha masih ada disini. "Lo belum pulang?"

"Hujan," jawab Salsha malas.

"Pulang bareng kita aja," tawar Dinda. "Ald, lo maukan nganterin Salsha juga pulang. Kasihan udah mau malam, hujan lagi."

"Ogah!" sahut Salsha cepat.

"Kayaknya Salsha nggak mau, deh." Aldi jelas saja tak mau memaksa Salsha. Terserah gadis itu saja mau ikut atau tidak. "Gue ambil mobil dulu di parkiran."

Sepeninggal Aldi, Salsha lagi-lagi menghela nafasnya. Taxi di sekitaran sini sangat sulit di cari. Bisa-bisa Salsha harus nunggu paling cepat satu jam untuk menunggu Taxi.

"Lo yakin Sha mau nunggu taxi aja?"

Salsha mendadak ragu, tetapi untuk pulang bareng dengan Aldi pun Salsha malas. Tapi sepertinya kali ini Salsha harus mengalah. Demi keamanan dan kenyamanannya.

"Gue ikut, deh."

Aldi datang dengan mobilnya. Dinda dan Salsha segera masuk kedalam mobil itu. Tentunya Dinda berada di depan, di samping Aldi. Sementara Salsha harus rela duduk di belakang sendirian.

Aldi melirik Salsha dari spionnya sembari tersenyum meledek. "Tadi sok jual mahal, eh malah minta di antarin juga."

"Lo nggak senang?" balas Salsha sewot. "Turun deh  gue."

"Cih, baperan!" ledek Aldi sembari menjalankan mobilnya.

Selama di perjalanan, Salsha hanya diam saja. Sementara Dinda selalu cari perhatian kepada Aldi. Dinda menanyakan hal yang penting sampai hal yang tidak penting. Rasanya Salsha ingin menutup mulut keduanya agar berhenti berbicara.

"Trus hobi lo apa?" tanya Dinda.

"Gue suka main basket, sih. Sama main gitar," jawab Aldi.

Gue nggak pernah dengar dia main gitar. Batin Salsha.

"Bisa nyanyi dong?" tanya Dinda antuasias.

"Nggak bisa-bisa banget la." Aldi merendah. "Standar."

"Lo kan pasti jago tuh main basket. Kenapa nggak main basket di sekolah?"

Aldi melirik Dinda sekilas. Sebenarnya malas untuk meladeni pertanyaan gadis itu. "Malas aja kalo sekarang. Gue nggak mau nunjukin main."

Aldi melirik Salsha dari spion lagi. "Rumah lo dimana?"

"Nganterin gue dulu?" tanya Salsha. Harusnya Aldi mengantar Dinda terlebih dahulu, baru mereka sama-sama pulang. Jika harus mengantar Salsha dulu, Aldi malah capek pulang balik.

Aldi mengangguk. "Rumah lo dimana?"

"Di jalan senopati nomor 23," jawab Salsha kesal. Aldi pura-pura tidak tau rumahnya padahal lelaki itu juga tinggal disana.

Bego. Batin Salsha.