Bella tidak bisa fokus dari tadi. Otaknya berpikir keras tentang apa sebenarnya hubungan Salsha dan Aldi. Sepertinya mereka ada hubungan yang tidak ketahui oleh orang lain. Lantas mengapa mereka terlebih tidak akur saat di sekolah.
Sesekali Bella melirik Salsha dan Aldi bergantian. Keduanya sangat fokus mengerjakan tugas mereka walau sesekali terjadi adu mulut di antara keduanya. Bella jadi semakin curiga, apalagi Aldi yang sudah memiliki pacar di Bandung.
"Udah malam, capek gue," keluh Dinda. Ia merentangkan kedua tangannya yang terasa pegal.
Tanpa mereka sadari memang hari telah berganti menjadi malam. Aldi melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7 lebih 15 menit.
"Kita lanjut besok aja gimana? Udah pada capek 'kan?" usul Aldi. Sebenarnya pun Aldi merasa capek.
"Yaudah lanjut besok aja." Bella menyetujui usul Aldi. Selanjutnya ia memberi kabar kepada Farel untuk menjemputnya di rumah Salsha seperti keinginan lelaki itu.
Salsha menutup laptopnya dan merenggangkan kakinya. "Lanjut besok, sekalian kita latihan nari sama lagunya aja."
Bella, Dinda dan Aldi pun membereskan buku-buku mereka. Dinda tersenyum penuh makna. Malam ini ia juga akan bermodus kepada Aldi dengan meminta lelaki itu mengantarnya pulang.
"Ald, anterin pulang mau, nggak?" tanya Dinda penuh harap. "Udah malam, nyari taxi pasti susah."
Aldi spontan melirik Salsha, sedangkan yang dilirik tampak acuh. Sebenarnya Aldi malas harus mengantar Dinda tapi ia merasa kasihan juga kepada gadis itu. "Oke."
Dinda tersenyum senang. jika bisa, Dinda juga ingin mengajak Aldi makan malam diluar. Hitung-hitung pendekatan.
Setelah membereskan barang-barang mereka. Dinda, Aldi dan Bella keluar untuk pamit. Salsha sebagai tuan rumah pun mengantar ketiganya untuk keluar.
"Bel, lo mau gue antar juga?" tawar Aldi.
Bella menggeleng pelan. "Nggak usah, Farel bentar lagi datang, kok."
Aldi manggut-manggut mengerti. Kemudian ia pamit kepada Salsha dan masuk ke mobilnya dan di susul oleh Dinda. Sebelum menjalankan mobilnya, Aldi melambaikan tangannya kepada Bella.
Kini tinggallah Salsha dan Bella di teras rumah itu. Bella mengedarkan pandangannya ke segala penjuru rumah Salsha itu. Rumah yang dulunya sering ia datangi.
"Ngapain lo masih disini. Pulang lo!" usir Salsha.
Bukannya merasa sakit hati mendengar ucapan Salsha itu, Bella malah tersenyum hangat. "Gue kangen deh sama rumah ini."
"Tapi sayangnya rumah ini nggak kangen sama lo. Bahkan rumah ini jijik harus di datangi sama lo lagi," sinis Salsha.
Bella beralih menatap Salsha dengan pandangan kosong. "Rumah ini nggak berubah ya. Tetap sama kayak dulu."
"Rumah ini memang nggak berubah. Tapi orang yang ada di dalam rumah ini yang berubah," jawab Salsha tanpa memandang Bella.
"Lo nggak kangen apa, Sha main bareng sama gue disini." Bella mulai mengenang masa lalu. Masa lalu yang mungkin tak akan pernah bisa terjadi lagi. "Dulu kita sering main di taman bunga lo. Kita berenang, main boneka. Banyak hal yang kita lalui disini, Sha."
Salsha menarik nafasnya dan menghembuskannya perlahan. Jika boleh jujur, Salsha pun sebenarnya merindukan momen-momen saat ia bersama dengan Bella. Tetapi rasa rindu itu di kalahkan oleh rasa kecewanya yang memuncak kepada gadis itu.
"Ngapain gue kangen sama hal yang nggak penting kayak lo. Gue udah lupain apapun yang terjadi sama lo disini. Bahkan gue lupa kalo kita pernah sahabatan!" Suara Salsha bergetar. "Lo nggak usah berharap lebih, karna sampai kapanpun gue nggak akan pernah mau lagi dekat atau bukan sahabatan sama lo. Pernah jadi sahabat lo itu adalah hal yang paling gue sesali seumur hidup gue."
Setelah mengatakan itu, Salsha masuk kerumahnya dan menutup pintu itu dengan keras. Tapi bukannya masuk ke kamar, Salsha malah mengintip Bella dari jendela.
Bella menarik nafasnya. Kenangan-kenangan dirumah ini menghantui pikirannya.
"Tapi gue masih berharap kita bisa sedekat dulu, Sha," lirih Bella.
*****
Dinda tak pernah membayangkan hubungannya dengan Aldi akan sedekat ini. Tugas kelompok yanh diberikan Bu Mira memang memberi berkah kepadanya. Ia jadi memiliki waktu bersama dengan Aldi. Setelah putus dengan mantan pacarnya dulu, baru Aldi yang membuatnya membuka hatinya lagi.
Dinda menatap Aldi dengan tatapan memuja. Lelaki itu sedang fokus mengemudi. Dinda memikirkan cara lagi agar ia lama berduaan dengan Aldi. Hingga mengajak Aldi makan malam terpikir di kepalanya.
"Ald, lo keberatan kalo kita makan dulu, nggak?" tanya Dinda penuh harap. "Gue lapar banget."
Aldi melirik Dinda sekilas. Perutnya juga terasa lapar. Jadi menurutnya tidak ada salahnya menerima tawaran Dinda. Hanya dengan makan malam tidak membuat ia jadi berselingkuh kan.
"Boleh," jawab Aldi. "Lo mau makan apa?"
"Makan nasi goreng aja gimana?" tawar Dinda. "Dekat sini ada nasi goreng yang enak banget."
Aldi mengangguk. "Tinggal lo arahin aja nanti."
Dinda bersorak senang dalam hati. Aldi itu lelaki idaman, ia tak pernah menolak apapun permintaan Dinda. Belum menjadi pacar aja, Aldi sudah baik dan menuruti kemauannya apalagi jika Aldi resmi menjadi pacarnya. Bisa-bisa Dinda awet muda karena terus bahagia.
Dinda membawa Aldi ke tempat nasi goreng yang biasa ia kunjungi bersama Salsha jika mereka gabut dirumah dan pengen makan di luar. Setelah memesan nasi goreng dan es teh manis. Dinda dan Aldi duduk di kursi yang di sediakan.
"Nggak papa, 'kan makannya di pinggir jalan kayak gini. Soalnya makanan disini enak banget," kata Dinda memulai percakapan.
"Nggak papa la. Di Bandung juga gue lebih suka makan di pinggir jalan kayak gini. Lebih merakyat." Aldi terkekeh.
Dinda semakin kagum kepada sosok Aldi. Lelaki itu memang pas menjadi pacarnya. Dinda memangku wajahnya dengan tangannya dan menatap Aldi lekat-lekat.
"Lo masih marahan sama pacar lo?" tanya Dinda ingin tahu. Dalam hati ia berdoa agar Aldi dan pacarnya terus marahan atau perlu putus. Sehingga Dinda punya kesempatan untuk jadi pacar lelaki itu.
Aldi mengangguk. Tania belum mau membalas pesannya. "Iya."
"Maaf ya." Dinda pura-pura merasa bersalah. "Gara-gara pacar lo jadi salah paham."
"Santai aja." Aldi hanya tak mau Dinda merasa dirinya berpengaruh terhadap hubungannya. "Nanti juga baik lagi."
Dinda mengangguk mengerti. Kemudian pesanan mereka datang. Dinda mempersilahkan Aldi untuk mencicipi nasi gorengnya. Dan keduanya pun sibuk dengan makanan di depannya.
Nasi gorengnya terasa lezat sekali. Tiba-tiba pikiran Aldi tertuju kepada Salsha. Apa gadis itu sudah makan. Tapi tak ada makanan yang layak untuk dimakan dirumah selain roti. Aldi bernisiatif membelikan nasi goreng kepada Salsha dengan dalih untuk Ibunya agar Dinda tidak curiga.
Setelah selesai makan, Aldi segera mengantar Dinda pulang. Awalnya Dinda memaksa Aldi untuk tinggal sebentar kerumahnya tetapi Aldi menolak. Selain jam yang menunjukkan pukul 9 malam, tubuh Aldi juga terasa capek. Aldi ingin istirahat.
Aldi memasuki rumahnya dan tak menemukan Salsha diruang tamu dan di dapur. Aldi beralih ke kamar Salsha dan menemukan gadis itu sedang belajar.
Aldi masuk ke dalam kamar Salsha dan meletakkan nasi goreng yang ia beli di samping gadis itu, selanjutnya ia membaringkan tubuhnya ke kasur milik Salsha.
"Lo ngapain kesini?" tanya Salsha. Ia menghentikan kegiatannya dan menatap Aldi horor. Lelaki itu sudah berani masuk ke dalam kamar dan tidur di kasurnya. Sangat kurang ajar sekali.
"Capek banget." Aldi merenggangkan otot-ototnya.
"Elo sih mau aja jadi supir mendadaknya Dinda." Salsha berdecih. "Tapi kok pulangnya lama banget kalo cuma nganterin Dinda."
"Sekalian makan tadi. Dinda ngajak makan." Aldi menunjuk plastik berisi nasi goreng yang ia letakkan di samping Salsha tadi. "Gue beliin buat lo. Kurang baik apalagi gue."
"Mau-mau banget ya di ajak makan malam sama cewek," kata Salsha sinis. "Wajar aja pacar lo di Bandung marah sama lo."
Aldi terdiam sejenak. Ia kembali mengingat Tania. Aldi hanya makan malam sebentar dengan Dinda, itupun hanya sekedar teman, tak lebih. Aldi tidak merasa ia mendekati Dinda atau merasa berselingkuh dari Tania.
"Kalo tau gimana kelakuan lo disini, dia pasti langsung mutusin lo!"
Aldi lagi-lagi terdiam.