Salsha berlari kecil melewati siswa-siswi yang berdiri di koridor dengan menurup wajahnya. Salsha menangis, ia tidak bisa menyembunyikan perasaan sakitnya kala orang yang ia cintai memilih orang lain.
Salsha sampai di rooftop sekolah dan berdiri disana. Salsha menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan semua perasaan sakit yang ia rasakan. Sekali lagi, ia kehilangan seseorang yang bahkan belum sempat ia miliki.
"Aaaaaaaaaaaaa!" Salsha berteriak kencang. Meluapkan perasaan sesak di dadanya. "Gue benci Farel, gue benci Bella!"
Aldi yang mengikuti Salsha dari belakang tersenyum miris melihat gadis itu. Kehilangan Farel ternyata berdampak sebesar ini untuk Salsha. Aldi pikir, Salsha hanya mencintai Farel sedikit saja. ternyata gadis itu membawa seluruh hatinya. Makanya sekarang saat Farel pergi, hatinya juga ikut pergi.
"Tuhaaan jahaat. Kenapa Tuhan nggak pernah bikin gue bahagia!" Salsha kembali berteriak. "Apa salah gue, Tuhan. Kenapa hidup gue selalu menderita."
Aldi geleng-geleng kepala melihat Salsha. Aldi berjalan mendekati gadis itu dan berdiri di sampingnya.
"Lo lemah banget, ya."
Salsha menatap Aldi dan mengusap airmatanya kasar. "Lo ngapain kesini? Lo mau ngetawain gue karena gue nangis. Lo mau ngetawain gue karena Farel nyatanya nggak pernah cinta sama gue?"
"Picik banget pikiran lo sama gue." Aldi menyunginggkan senyum sinisnya.
"Lo pasti senang 'kan? Lo pasti puas sekarang." Airmata Salsha tak hentinya mengalir. Rasanya masih sakit mengetahui fakta jika Bella dan Farel resmi berpacaran.
Aldi duduk di lantai dan menatap lurus ke depan. "Gue akuin lo bego banget. Lo lebih bego dari apa yang gue bayangin sebelumnya."
Salsha mengusap airmatanya lagi dan mengikuti Aldi untuk duduk di samping lelaki itu. "Lo nggak tau gimana perasaan gue. Lo nggak tau rasa sakitnya kehilangan orang yang lo cintai."
Aldi menatap Salsha miris. "Hidup nggak melulu tentang cinta, Sha. Bego kalo lo nangis segininya cuma karena cinta. Lo nangis seolah-olah lo kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup lo padahal lo cuma kehilangan orang yang nggak pantas buat lo!"
"Farel berharga buat gue." Salsha bersikeras. "Farel segalanya buat gue!"
Aldi tertawa sinis mendengar ucapan Salsha. "Lo tau kenapa Farel nggak bisa lo milikin setelah berbagai cara yang lo lakuin supaya dia suka sama lo!?" tanya Aldi. Salsha menggeleng singkat. "Itu karen Farel nggak baik sama lo. Tuhan ngejauhin lo dari Farel, itu karna emang Farel nggak di takdirin sama lo. Karena sekuat apapun lo berusaha, kalo itu bukan buat lo, lo nggak bakal pernah dapatin itu."
"Farel itu di ciptain buat gue. Bella yang datang dan ngerusak semuanya!" Salsha malah menyalahkan kehadairan Bella. "Coba aja kalo Bella nggak ada. Pasti sekarang gue sama Farel udah bahagia."
"Jangan pernah salahin orang lain atas kegagalan lo sendiri. Bella bukan penghalang buat lo dan Farel kalo memang dia ditakdirin buat lo."
Bahu Salsha bergetar dan ia pun makin menangis sejadi-jadinya. Salsha tak pernah begini sebelumnya. Salsha menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Lo bego banget, sumpah!" Aldi tak habis pikir dengan sikap Salsha yang seperti ini. "Lo nangis disini sementara disana Farel sama Bella lagi senang-senang. Lo ngabisin air mata lo buat hal yang nggak berguna kayak ini."
"Sha, biar gue kasih tau ya. Di luar sana masih banyak cowok yang lebih ganteng, lebih keren, lebih bisa ngehargain lo daripada Farel. Farel cuma satu di banding jutaan cowok di dunia ini." Aldi menasehati Salsha. Ia tak tega juga melihat Salsha menangis seperti ini. "Lo masih muda. Perasaan lo saat ini sama Farel masih keciil banget. Masih jauh ke jenjang yang lebih serius. Lo pasti akan nemuin cowok-cowok yang bisa bikin lo bahagia dan lupain perasaan lo sama Farel. Di umur yang segini, perasaan itu masih labil. Masih suka pergi dan datang tiba-tiba, nggak menetap. Sekarang lo ngerasa Farel segalanya buat lo dan lo takut kehilangan dia. Tapi besok, siapa yang tahu kalo lo malah ngerasa benci dan nyesal pernah suka sama dia."
Salsha masih diam. Tubuhnya pun masih bergetar hebat. Salsha mendengarkan semua ucapan Aldi dan menelaahnya. Aldi benar, perasaannya bisa saja berubah. Tapi untuk sekarang Salsha mencintai Farel dan tidak mau lelaki itu di miliki oleh orang lain terutama Bella.
Aldi mengambil rokoknya dari dalam saku. Menyalakannya dan mengisap rokok itu lamat-lamat. Aldi meletakkan sebungkus rokok di depan Salsha.
"Kalo lo mau nangis, nangis aja. Luapin semua rasa sakit lo sekarang. Tapi lo harus janji, setelah hari ini jangan lagi mau nangisin orang kayak Farel." Aldi menghembuskan asap rokoknya ke wajah Salsha yang masih di tutup tangan. "Sekalian nih lo ngerokok biar lo agak tenang. Gue biasanya gitu."
Bahu yang Salsha yang tadi bergetar perlahan berhenti. Salsha mengusap airmata yang masih menguap keluar. Salsha melirik Aldi dan rokok di lantai bergantian. Salsha mengambil satu batang rokok dari dalam dan memperhatikannya.
"Gue boleh ngerokok?" tanya Salsha polos. "Caranya gimana?"
Aldi mendelik. Ia pikir Salsha tidak akan merokok. Aldi juga tidak akan mengizinkan Salsha untuk merokok kan. Itu hanya sebatas ucapan Aldi saja.
"Bego!" maki Aldi lagi sembari menepuk kepala Salsha agak keras kemudian mengambil rokok dari tangan Salsha. "Cewek nggak boleh ngerokok. Jangan gila."
"Kan lo yang nyuruh." Salsha mengusap kepalanya yang sakit akibat tepukan Aldi. "Kepala gue sakit," kata Salsha dengan suara manjanya.
Aldi tertawa kecil melihat ekspresi wajah Salsha yang menurutnya menggemaskan. Tangan Aldi bergerak untuk mengusap lembut kepala Salsha.
"Yaudah, gue minta maaf."
Salsha mengusap wajahnya yang masih tersisa air mata. Matanya sembab karena kelamaan menangis. "Mata gue sembab, nggak?"
"Sembab," jawab Aldi. "Muka lo yang jelek makin jelek karena kelamaan nangis. Udah mirip sama setan muka lo."
"Ihhh jahat banget, sih." Salsha menoyor kepala Aldi.
"Sekarang lo senyum dulu biar mukanya lebih cantik dikit." Aldi tersenyum lebar menatap Salsha. "Kayak gini."
Perlahan, senyum di wajah Salsha mengembang. Perasaannya juga jauh lebih baik sekarang, tidak seperti tadi. Aldi berhasil menyadarkan Salsha untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Salsha merasa bersyukur Aldi datang menemaninya disini.
"Tapi kok lo bisa ada disini?" tanya Salsha.
Aldi mematikan rokoknya dan menatap Salsha. "Gue ngikutin lo."
"Isss dasar penguntit," cibir Salsha.
"Gue tahu lo bakal nangis karena nggak sanggup karena tau mereka pacaran. Makanya gue inisiatif ngikutin lo," kata Aldi. "Dan benar kan kata gue lo nangis disini. Untung gue datangnya tepat waktu. Kalo nggak mungkin lo bakal bunuh diri karena nggk kuat."
"Lo pikir gue bego?" Salsha mendengus kesal. "Yakali gue mau bunuh diri cuma karena gitu doang."
Aldi menatap Salsha lekat-lekat dengan tatapan meledek. "Lo nggak sadar kalo lo bego? Waahh hebat banget, ya."
"Gue nggak bego." Salsha bersikeras.
"Trus tadi lo nangis-nangis, sampe mata lo sembab kayak gini lo nggak ngerasa bego?"
Salsha mengalihkan pandangannya ke depan. "Ya naluri cewek aja kalo ngerasa sakit hati pasti nangis. Tapi kan habis nangis pikirannya jadi tenang."
"Sekarang udah tenang?" tanya Aldi.
"Udah," Salsha memperlihatkan deretan giginya yang putih. "Berkat lo, makasih ya."
"Sama-sama," jawab Aldi. "Kalo lo udah ngerasa tenang, mending kita balik ke kelas."
Salsha menganggukkan kepalanya.