Ada sebuah penyesalan Usman ketika ia mengatakan bahwa ia calon suami dari Farisha. Ia juga telah memanggil Farisha dengan namanya. Ia juga sudah tidak tahu diri telah melakukan yang tidak dimungkinkan.
"Kamu tidak percaya dia calon suamiku?" Farisha memeluk Usman dengan mesranya. "Akan ku tunjukkan padamu! Usman, kamu cium aku sekarang juga!"
Degh!
Tentu itu adalah sebuah kesalahan yang tidak mungkin bisa dimaafkan. Bagaimana tidak, ia harus mencium Farisha saat itu juga. Farisha membuka maskernya dan terlihat luka lebam di leher dan dagunya. Tentu hal itu membuat dua lelaki itu kaget.
"Ayo, kamu cium aku seperti semalam? Bukannya kamu suka ini?" Farisha menyentuh dagu Usman dan dengan tangannya, Farisha membuat Usman memonyongkan bibirnya.
Dan tak pernah terbayangkan oleh Usman sebelumnya. Tidak pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya untuk ciuman pertama kali Usman harus direnggut oleh Farisha. Perasaannya saat ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tentu bingung bagaimana harus membayangkannya.
Sebuah sentuhan lembut bibir Farisha bersamaan dengan bibir Usman. Mata Usman sampai melotot dan jantungnya seakan mau copot. Nafasnya? Ia bahkan tidak bisa bernafas karena hidung Farisha menyentuh hidungnya dan membuat pernafasan Usman terhenti.
"Ti-ti-ti-da-kk ... ba-gai-ma-na mung-kin!" Pria di depan itu pun seakan tidak percaya. Wanita yang selalu mengintai Farisha dari lama, harus mengalah pada seorang pemuda dekil, pendek, dan terlihat bodoh itu.
Farisha juga merasakan ada sesuatu yang salah dari dalam dirinya. Ini pertama kalinya juga ia merasakan sensasi ciuman itu. Rasanya tentu adalah rasa rendang buatan Azhari, ibunya Farisha.
"Kalian nggak mungkin, kan?" Seakan tidak percaya dengan semua itu tapi itu ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tentu itu bukan rekayasa semata. Kalau sudah seperti itu, ia pun sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. "Baiklah kalau begitu. Pada akhirnya aku harus kalah oleh orang yang bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku."
Farisha melepaskan ciumannya dengan Usman. Ia mengambil nafas sekuat-kuatnya. Begitu juga dengan Usman yang masih saja merasakan sesuatu yang tidak wajar. Andaikan ini bukan hanya sekali, andaikan ini bisa terulang lagi, Usman rela melakukannya dengan Farisha. Ia sudah menjadi milik Farisha, ciuman pertamanya itu.
Karena merasa kecewa, pria itu pun meninggalkan tempat itu. Dengan langkah cepat dan hanya bisa menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak akan melupakan perlakukan mereka sampai kapanpun. Bagaimanapun itu adalah sebuah penghinaan terbesarnya. Ia mungkin akan merasa tidak terlalu masalah jika melihat Farisha dengan orang yang setidaknya selevel. Namun tidak untuk Usman. Ia bahkan tidak akan pernah cocok.
"Bagaimana anak bodoh, dungu, dan dekil seperti dia bisa mendapatkan Farisha? Ini sangat tidak masuk akal sama sekali. Apakah Farisha memang tidak normal? Huhh ... anak dekil itu sungguh keparat!" umpatnya sambil menggenggam tangan.
***
Usman dan Farisha terdiam membisu. Tak ada suara yang mereka ucapkan karena memang mereka tidak pernah melakukan seperti itu sebelumnya. Apalagi untuk Usman adalah sebuah hal yang sangat langka ketika berada di posisi itu.
Sebenarnya ada juga orang yang melihat mereka berciuman. Hanya saja mereka juga tidak menyangka, seorang wanita cantik seperti Farisha, mau mencium seorang lelaki yang berpenampilan burik dan lebih pendek darinya.
'Kenapa aku bisa-bisanya dicium olehnya? Oh, Tuhan ... inikah rasanya dicium oleh bidadari dunia? Kenapa rasanya begitu gemetaran? Aku tidak bosa mengungkapkan dengan kata-kata.' Dalam pikiran Usman, ia juga masih bingung. Apa yang terjadi dengannya hari ini adalah apa yang telah diimpikan banyak orang.
Usman meninggalkan Farisha ke belakang. Karena ia tidak bisa berpikir jernih setelah ciuman itu. Sementara Farisha kembali menutup diri dengan masker.
"Ini adalah satu-satunya untuk mengusir orang tidak tahu diri itu," kata Farisha lirih. Ia bertindak biasa dan tidak memikirkan apapun lagi.
Orang yang sedang memilih barang untuk dibeli pun mempercepat langkahnya dan segera mengambil apa yang mereka ingin beli. Mereka ingin segera meninggalkan tempat itu karena tidak mau mengganggu lagi.
"Ada yang mau ditambahkan lagi, Kakak?" tanya Farisha dengan sopan. Ia mengangkat tangannya di depan dada dan masih tetap tercetak lekuk tubuhnya walau tertutup.
"Eh, enggak, Kak, itu saja," balas pembeli wanita itu sambil tersenyum. Dalam hati ia bertanya-tanya, 'Mengapa wanita ini menutupi semuanya? Kemarin saja tampilannya seksi abis. Apa ini karena lelaki dekil itu? Beruntung sekali jadi anak dekil itu.'
Farisha mengecek apa yang di dalam keranjang belanjaan satu persatu dengan scanner barcode. Setelahnya, ia memasukan barang-barang itu ke dalam kantong kresek berwarna putih biru.
"Semua jadi seratus dua puluh sembilan ribu dua ratus rupiah, Kak." Farisha mengatakan harga sesuai yang tertera di layar laptop di depan.
"Oh, ini, Kak!" Wanita itu memberikan uang dua ratus ribuan. "Delapan ratusnya permen aja, Mbak," lanjut perempuan itu.
Farisha memberikan kembalian uangnya pada perempuan itu. Ia kemudian mengucap, "Terima kasih banyak, jangan lupa datang lagi, yah." Ia tersenyum ramah dan tentu tidak bisa dilihat karena memakai masker.
Setelah perempuan itu pergi, Farisha membuka kembali maskernya. Terlihat luka memar berwarna kebiruan dan ada kehitaman. Itu adalah luka yang ia dapatkan dari tadi malam oleh Benny, ayahnya.
"Kenapa anak itu malah pergi? Padahal mau meminta tolong. Uhh ... badanku remuk semua gara-gara Benny sialan itu!" geram Farisha pada ayahnya sendiri. Untuk menyebut sebagai ayah pun ia tidak mau. Jadi ia hanya menyebut nama saja.
Farisha sudah tidak melihat tanda-tanda orang datang lagi. Ia meninggalkan tempat kasir dan menghampiri Usman yang ada di belakang.
"Usman ... kamu bisa menolongku untuk menunggu di meja kasir? Aku mau ke belakang sebentar, mau buang air kecil," kata Farisha lalu meninggalkan Usman ke belakang.
Usman mengangguk dan tidak bisa berkata apa-apa. Karena ia tidak bisa melayani di kasir, ia juga tidak tahu cara menjalankan mesin kasir. Sehingga ia memastikan tidak ada orang di swalayan tersebut. Usman menuruti perintah Farisha untuk menunggu di meja kasir.
"Semoga nggak ada orang yang datang sebelum Tante cantik itu selesai. Tapi aku suatu saat juga pasti akan melayani di kasir ini," ujar Usman sambil melihat-lihat apa saja yang ada.
Usman memegang mesin scan dan laptop yang menyala. Namun ia tidak tahu cara menggunakannya. Ada juga sebuah tempat uang yang ada di bawah meja. Dan ada juga mesin print kecil dan semua yang ada di meja kasir, ia tidak tahu menahu. Karena ia hanya sekolah sampai SD. Itupun tidak sampai lulus.
"Aku sudah mencium tante Farisha. Jadi nantinya kita harus berhubungan apa? Tidak mungkin, kan, aku harus menjadi pacarnya? Lagipula nggak mungkin dia mau, gitu. Apalah daku yang hanya orang tidak berpunya ini."
Meskipun ia sudah mencoba melupakan semuanya, masih terbayang di ingatannya, pernah mencium Farisha. Itu selamanya tidak akan pernah terlupakan. Sesuatu yang tidak terduga dan mungkin hanya ada satu kesempatan seumur hidupnya.
***