Sore ini Usman akan bertemu dengan ibunya Farisha. Rasa deg-degan tak bisa ia hilangkan dalam dada. Ia merasa seperti akan dikenalkan dengan calon mertua. Walau Farisha lebih tua dari Usman, jelas Usman mau jika harus menikah dengan Farisha. Walau itu hanya di dalam mimpin Usman semata.
"Yuhuu huhuhu ... mau nikah ... mau nikahh ... ahhh ... nikah-nikah. Sama tante Farisha ... hooo ... uwoooo ... yeahhh!" Sambil berdendang, ia menuju ke kamar mandi membawa handuknya yang terlihat kucel dan sudah banyak berlubang.
Saat akan menuruni tangga, Usman menghentikan langkahnya ketika ia mendengar Farisha sedang melakukan hubungan hubungan lewat handphone. Usman mendengar panggilan mesra antara Farisha dengan orang yang sedang dihubunginya lewat handphone.
"Ooh ... dia sudah punya pacar, kah? Aku tidak jadi menikah sama tante Farisha?" keluh Usman. Usman meneruskan langkahnya menuruni tangga.
Tidak lupa Usman masih bersenandung. Namun kali ini adalah lagu sedih dengan suara parau dan tidak enak di dengar. Namun saat bernyanyi sedih itu, ia merasa seperti seorang penyanyi yang sangat profesional.
Saat ia di kamar mandi pun ia tidak bisa berhenti bernyanyi. Dengan suara yang ia kira merdu itu membuatnya percaya diri. Selama ia mandi, ia terus melantunkan lagu dengan nada kesedihan yang ia buat mendayu-dayu.
"Hahhh ... habis mandi, mau ketemu calon mertua. Tapi calon mertua siapa? Apa aku akan menjadi saksi pernikahannya nanti? Atau aku hanya menjadi obat nyamuk?"
Usman mengganti pakaian begitu selesai mandi. Tidak lupa ia membawa pakaian kotornya. Karena ingin tampil keren, Usman akan memakai pakaian yang paling baik malam ini. Tetapi semua pakaian terbaik pun akan terlihat buruk di mata orang kaya. Karena pakaian yang dimiliki oleh Usman semua dibelinya dengan harga yang murah dan celana pun ia beli di toko loak.
Saat Usman kembali ke kamar dengan membawa pakaian kotor dan handuk yang sudah berlubang, Farisha baru keluar. Ia nampak bahagia setelah menelpon seseorang.
"Kamu sudah siap, Man? Hari ini kita belikan pakaian untuk kamu terlebih dahulu. Pakaian kamu sangat jelek dan bau! Kamu aku tunggu di bawah, jangan lama-lama!"
"Iya, Tante. Aku akan segera ke bawah," jawab Usman. "Apa aku memang bau, yah?" lirihnya lalu menggeleng pelan.
Usman masuk ke dalam kamar dan memikirkan perkataan Farisha. Ia mencium pakaian yang ia kenakan memang benar-benar bau. Pantas saja Farisha tidak suka dengan tampilannya yang seperti itu.
Sementara Farisha turun dari tangga. Ia sudah mengganti pakaiannya dan tidak perlu mandi. Tapi tetap saja ia berbau wangi dengan memakai parfumnya. Ia keluar dari Swalayan dan masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di depan swalayan.
Tak ada kata yang ia keluarkan tapi ia benci dengan tatapan para pria yang terus memperhatikan dirinya. Ia sangat membenci siapa saja pria yang seperti ayahnya. Apalagi jika pria itu tinggi, tampan dan kaya raya.
"Hai, Cantik," panggil seorang pria tinggi tampan dan tampak berkarisma. Ia adalah seorang pria yang sama seperti tadi pagi, ia adalah teman Farisha kuliah dulu. "Sendirian aja? Apa masih belum memiliki seorang pendamping, hemm? Aku juga lagi mencari seseorang yang mau menjadi ibu dari anak-anakku."
Farisha tidak suka dengan pria tersebut karena pria itu malah mengingatkannya dengan ayahnya. Ayahnya juga tinggi dan gagah. Ia tidak suka dengan pria manapun di dunia dan tidak mau berurusan dengan pria itu.
"Lebih baik kamu tinggalkan tempat ini, Bram!" usir Farisha. "Ini Usman lama banget turunnya, sih!" Farisha semakin kesal karena Usman pun sangat menyebalkan buatnya. Namun hanya Usman yang ia rasa cocok untuk membantunya saat ini.
"Heh? Usman! Hahahaha! Itu nama yang sangat lucu. Jangan bilang dia itu adalah pacarmu, hahaha!" tawa Bram ketika mendengar nama Usman itu.
Usman yang dimaksud Farisha pun menunjukkan diri. Ia menutup pintu dengan mendorong pintu lipat atau rolling door itu dan menguncinya. Saat ia melihat ke arah mobil, dengan jelas ia melihat seorang pria tinggi dan tegap. Ia termasuk tampan dan terlihat jauh lebih keren daripada Usman sendiri.
"Apa dia calon suami tante Farisha? Ah, aku hanya akan menjadi obat nyamuk saja, hehhh," keluh Usman mendesah. Ia menyiapkan mental untuk mendekat ke arah mereka.
"Hei, kamu yang namanya Usman?" tanya Bram. "Hahaha! Kamu lucu banget, Usman. Benar-benar pintar kamu mencari seorang wanita cantik. Dan pakaian kamu itu lho ... modis banget, tau nggak sih? Hahaha!" tawa Bram dengan kerasnya. Bagaimana tidak tertawa kalau melihat Usman yang seperti itu.
"Cepat, Man! Kamu jalannya leled kayak siput," gerundel Farisha. Ia melambaikan tangannya agar Usman jalan dengan cepat.
Usman mengakui kekurangannya itu. Dibandingkan dengan mereka berdua memang Usman hanya seorang lelaki yang biasa. Ia bahkan tidak akan mampu membeli apa yang mereka pakai saat ini. Ia berjalan dengan cepat dan hendak membuka pintu mobil di bagian tengah.
"Man! Kamu duduk di depan!" perintah Farisha. "Kamu jangan malu-maluin aku nanti di depan Ibu!" lanjut Farisha.
Namun Bram terlebih dahulu membuka pintu depan. Ia duduk di samping Farisha. Hal itu membuat Farisha kesal dan mendorong Bram agar keluar dari mobil.
"Kamu minggir, Bram! Aku nggak ngajak kamu!" tegas Farisha sambil mendorong Bram agar keluar. "Kalau kamu rese, lebih baik kamu tinggalin tempat ini!"
"Heh ... sabar-sabar, Sayang! Aku nggak akan mengganggu bidadariku yang cantik ini, kok. Malahan aku akan menemani kamu ke manapun kamu mau. Dan kalau kamu mau, aku akan membahagiakan kamu selalu," rayu Bram dengan rayuan gombalnya.
Farisha mendorong Bram berkali-kali dan sangat marah. "Keluar, kamu! Kalau mau ikut, kamu di belakang!" tandas Farisha. Karena ia tidak ada cara lain, ini hanya menjadi keputusan terakhirnya.
"Ooh ... baik-baiklah, Sayang. Aku akan ke belakang, yah! Aku tahu kamu membutuhkan anak itu untuk menjadi pelayanmu." Bram membuka pintu lalu membuka pintu di mana ada Usman di dalam. "Kamu duduk di depan. Tapi ingat, kamu jangan mencuri-curi kesempatan. Kalaupun kamu anak kecil, kamu juga pasti nafsu juga melihat Farisha, kan?"
Perkataan Bram begitu menohok hati Usman. Memang ia lebih muda dari mereka berdua. Tapi bukan berarti nafsu adalah segalanya. Usman akui memang awalnya ia sangat mengidolakan Farisha karena ia baru pertama kali melihat wanita paling cantik sedunia.
Dengan seiringnya waktu, Usman mulai terbiasa dan tidak ingin membayangkan yang tidak-tidak. Apalagi karena bantuan Farisha ia sudah sangat bersyukur. Ia sudah bertekad untuk tidak akan mengambil kesempatan dari semuanya.
"Permisi, Om. Maafkan saya yang nggak tahu apa-apa," ungkap Usman dengan sopan. Ia keluar dan menunduk pada Bram.
"Om? Om katamu? Hei, Bocah! Kamu kira aku ini om kamu, hah?" umpat Bram sambil memukul bahu Usman hingga pemuda itu terhempas ke jalan aspal.
***