Farisha membuka rolling door (pintu lipat) yang digembok dari depan toko. Farisha memakai rok pendek sepuluh senti meter dari lututnya. Ketika ia membuka gembok, ia menungging ke belakang dan udara sekitar menerpa rok mini tersebut. Kebetulan Usman yang kebagian rezeki itu dan hanya bisa menatapnya dengan kesempurnaan yang hakiki.
"Ini sungguh rezeki yang tidak disangka-sangka. Datangnya pun tidak disangka juga. Apalah dayaku yang hanya bisa melihat tanpa bisa menyentuh?"
Hal yang tidak bisa dipungkiri oleh Usman, ia sudah mendapat rezeki yang sudah di depannya. Sayang seribu sayang kalau dirinya tidak memiliki sepenuhnya. Ia sadar diri siapalah dirinya yang bahkan dianggap buluk dan jelek oleh wanita itu.
"Kenapa dia pakai rok pendek sekali? Kalau aku bukan lelaki baik-baik, mungkin aku sudah memanfaatkan kesempatan baik ini. Untungnya cuman aku yang melihat," ujar Usman karena di tempat itu memang sepi.
Usman berjalan hati-hati karena ia tidak ingin sampai Farisha marah padanya. Namun ia kaget ketika Farisha menengok ke arahnya. Ia takut kalau Farisha memarahinya karena telah melihat yang tidak sepantasnya dilihat. Jadi wajah Usman dipenuhi rasa takut.
"Hei, kenapa tampangmu ketakutan gitu? Seperti lihat hantu saja. Apa kamu melihat ada hantu di sini? Hehehe ... cepatlah ke sini! Kamu masukin berasnya ke dalam dulu!" perintah Farisha lalu wanita itu masuk ke dalam swalayan itu.
Usman kemudian memasukan kantong-kantong beras ke dalam. Ia mengikuti langkah Farisha yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam.
"Kamu taruh saja berasnya di sini! Setelah semua selesai dibawa ke sini, nanti masukin ke dalam gudang di belakang sana!" tunjuk wanita itu ke arah belakang. Terdapat pintu yang tertutup di sana.
Usman mengangguk dan segera melaksanakan perintah dari Farisha. Karena banyaknya beras yang ia angkut, membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Dan yang membuat Usman semangat adalah karena Farisha menunggu di dalam dengan posisi duduk. Tentu Usman akan bisa melihat wajah cantik Farisha saat masuk ke dalam. Ditambah lagi paha Farisha yang mulus terlihat sangat menggoda jiwa kelelakian Usman.
Sengaja Usman buru-buru mengambil kantong-kantong beras dengan cepat ke luar. Tetapi saat di dalam, ia malah lebih dilama-lamain. Hal itu membuat Farisha curiga dengan sikap Usman yang seperti itu.
"Ngapain kamu lama-lama saat di dalam, dan cepat banget saat di luar?" tanya Farisha sambil menatap ke arah Usman. Ia berdiri dan tingginya bahkan lebih tinggi daripada Usman sendiri.
Wanita itu termasuk tinggi dan lebih tinggi dari Usman sendiri. Tinggi badan Farisha mencapai seratus enam puluh sembilan. Sedangkan Usman sendiri hanya seratus enam puluh dua. Jika mereka berdiri sejajar pun akan langsung terlihat Usman seperti sedang membawa tantenya.
Hanya yang membuat perbedaan di antara mereka lainnya adalah penampilan. Usman termasuk yang tidak memperdulikan penampilan dan jarang mandi. Tampangnya dekil dan tidak terawat. Untuk makan sehari-hari pun kadang makan dan kadang harus puasa.
"Di luar panas, Tante. Kalau di sini–" Sebenarnya lebih panas keadaan di dalam karena penampilan Farisha.
"Oh, di sini juga panas. Aku lupa untuk menghidupkan AC." Farisha kemudian ke belakang untuk menghidupkan AC. Ia tidak curiga sama sekali pada Usman yang sudah terlanjur berdosa matanya itu.
Usman hanya bisa menggerutu ketika Farisha tidak datang lagi. Usman meneruskan pekerjaannya membawa semua beras yang akan dimasukan ke dalam swalayan.
Usman harus berhati-hati karena belum ketahuan telah mencuri pandang ke arah Farisha. Ia tidak ingin wanita itu menyadarinya dan membuatnya dipecat kembali. Ia kembali keluar dan masuk ke mobil untuk mengeluarkan beras.
"Heiy, kamu orang baru, kah?" tanya seorang pemuda yang kebetulan lewat jalan itu. Ia terlihat mengejek Usman karena dirinya juga pernah bekerja di swalayan tersebut.
"Eh, siapa? Aku? Iya, aku orang baru di sini," jawab Usman. Ia melihat lelaki itu dengan heran. Mengapa lelaki itu melihatnya dengan tatapan mengejek?
"Oh, setelah kehilangan semua karyawannya, eh, ternyata si wanita menjijikan itu malah terpaksa mencari orang dekil sepertimu," ujar pemuda itu dengan mengejek.
"Maaf, maksud kamu gimana, yah? Orang saya kerja di sini kan kerjanya halal. Bagaimana kamu bisa mengejek pemilik swalayan ini? Apa kamu iri, karena nggak kerja di sini?" timpal Usman geram.
Ada saja orang yang bilang wanita menjijikan pada Farisha. Membuatnya tidak terima atas perkara pemuda itu. Namun pemuda itu tetap tidak ingin meladeninya lebih lagi.
"Oh, mungkin kamu belum tahu saja. Tetapi nanti juga kamu akan menyesal sendirinya! Lihat saja beberapa hari atau beberapa minggu kemudian. Pasti kamu akan menyesalinya." Setelah mengatakan itu, pemuda itu pun meninggalkan Usman.
Ucapan pemuda itu membuat Usman berpikiran terus. Apa yang akan terjadi beberapa hari atau beberapa minggu ke depan? Yang pastinya dirinya hanya berniat bekerja. Ia tidak ingin diganggu oleh orang luar yang menjerumuskannya. Yang ia lihat dari Farisha adalah wanita yang baik walau kadang ejekannya membuatnya sakit.
"Kenapa baru kerja beberapa jam sudah ada yang tidak suka padaku? Lagian kan apa salahku yang kerja di sini? Bukankah kerja di sini juga halal? Atau karena iri karena tidak kerja di sini dan tidak bisa melihat tante Farisha dengan bebas? Ah, sudahlah ... aku di sini kerja. Nggak perlu urusin omongan orang."
Tidak mau ambil pusing, Usman meneruskan pekerjaannya dengan semangat. Ia pun mengambil karung-karung beras dengan mengangkat lebih banyak. Usman ingin pekerjaannya cepat selesai dan ingin istirahat.
"Tapi agak laper juga, kenapa tante Farisha nggak ada di sini? Sebenarnya lagi apa dia sih?" Usman pun tidak semangat lagi karena tidak ada Farisha.
Sebenarnya ia sudah membawa separuh lebih banyak. Ia pun membawa kantong-kantong beras dengan biasa. Ia tidak berlama-lama di dalam dan tidak lagi cepat-cepat di luar. Sampai akhirnya ia selesai membawa semua berasnya. Barulah Farisha muncul dari belakang.
"Sudah selesai, kah? Oh ... kamu boleh istirahat sebentar. Nanti kamu bekerja lagi karena masih banyak kerjaan yang harus kamu lakukan!" ungkap Farisha santai. Ia duduk di meja kasir sehingga Usman tidak lagi melihat paha mulus itu.
Usman duduk di lantai karena saking capeknya. Namun ia juga merasa haus dan lapar. Ia tidak tahu harus ngapain. Mau minta makan pun ia tidak berani. Namun beberapa saat, perutnya berbunyi, "Kruyuk ... kruyukk!"
"Apa kamu sudah lapar? Oh ... sampai lupa kalau saya lagi masak beras di rice cooker. Mungkin beberapa menit lagi akan matang. Kamu bisa masak, enggak?" tanya Farisha.
"Bisa, Tante. Tapi masakanku enggak enak," balas Usman. Tentu ia tidak bisa percaya pada masakannya. Ia tidak ingin kecewa ketika sudah memasak tetapi tidak sesuai selera orang kaya.
"Oh, kalau begitu, kamu beli lauk saja!" Farisha mengambil uang di dompetnya dan memberikan uang dua puluh ribuan. "Kamu nyari rumah makan di deretan ruko ini, kamu jalan terus ke arah kanan lima puluh meter," terangnya pada Usman.
***