Usman menghentikan makannya karena sudah kenyang. Sementara dua wanita dewasa itu sudah selesai dari tadi. Masakan wanita berusia lima puluh dua tahun itu membuat sang pemuda terlena.
"Ayo nambah lagi makannya, Nak!" kata Azhari mempersilahkan. Melihat orang makan dengan lahap, ia senang dan tersenyum.
"Sudah, Bu. Ini aku sudah kenyang, Alhamdulillah. Ibu sama emm ... Farisha, makannya sudahan?" tanyanya gugup. Ia merasa sedikit takut ketika memanggil Farisha begitu saja.
"Sudah, Usman. Kalau sudah selesai, kita bisa bicarakan pernikahannya!" tandas Farisha. Bukannya ia ingin cepat-cepat menikah, ia tidak mau kalau sampai Benny kembali mencarikannya calon suami
Wanita tiga puluh tahun itu juga takut kalau Usman berubah pikiran. Ia tidak mau itu terjadi dan tidak ingin pemuda itu melanggar janjinya. Walaupun ia sendiri yang terkesan memaksa untuk menikah dengan pemuda yang usianya sepuluh tahun lebih muda darinya.
"Kalau gitu, mari kita bicarakan di ruang keluarga dulu. Farisha ... bawa calon suami kamu dulu!" perintah Azhari. Ia bangun dari duduknya, meninggalkan mereka terlebih dahulu.
"Iya, Bu," sahut Farisha memberikan hormatnya pada Azhari. "Usman, kamu ikutin aku, yah!" ajaknya pada sang calon suami. Berdiri lalu memberi kode dengan tangannya untuk memanggil Usman.
Usman mengikuti dari belakang, ke mana Farisha berjalan. Mereka tiba di sebuah ruangan yang ada di samping ruang makan. Di sana Usman mendekati sebuah kaca hitam yang berukuran cukup lebar. Namun ada sesuatu yang aneh karena ada beberapa tombol di bawahnya.
"Kamu mau nonton tivi?" tanya Farisha. Wanita itu mengambil remote dan menyalakan televisi itu. "Nih, remotnya, kamu cari sendiri, apa yang mau ditonton!" pungkasnya.
Pemuda itu sampai tersentak karena tiba-tiba mendengar suara dan gambar mulai terlihat dari layar televisi itu. "Aaaa! Apa ini?" pekiknya dengan badan yang sudah tergeletak di lantai.
"Ngapain kamu duduk di lantai? Sini nonton di sini!" ungkap Farisha menepuk tempat di sebelahnya.
Usman berdiri dari duduknya. Ia merasa malu karena tidak tahu kalau kaca besar itu ternyata televisi. Saat mengetahui itu adalah televisi, ia justru mendekat ke arah benda itu. Ia melihat dengan seksama dan matanya menganga.
Bukan karena acara di televisi yang membuat Usman menganga. Di mana seorang wanita cantik yang sedang membawakan acara. Tapi karena takjub dengan televisi super besar itu. Bagaimana mungkin ada televisi yang ukurannya seperti layar lebar itu. Meskipun Usman sendiri juga tidak tahu apa itu layar lebar.
"Jangan liatin di situ! Duduk di sini!" perintah Farisha tegas. "Apa kamu melihat perempuan cantik jadi seperti itu, hah? Lebih baik kamu duduk saja di sini!"
Usman mengangguk lalu mengikuti apa yang diinstruksikan Farisha. Ia duduk di sebelah wanita itu. Tempat duduknya cukup empuk baginya. Ia akan betah kalau ada di tempat itu. Tidak lama kemudian, Arumi baru datang ke tempat itu. Ia baru saja dari kamar kecil dan langsung kembali ketika sudah selesai.
Azhari duduk di samping anak perempuannya. Duduk dengan meletakan satu kakinya di atas paha. Kemudian menatap lelaki yang akan menjadi menantunya.
"Tidak perlu panjang-panjang kalau kalian berdua mau menikah. Sebagai orang tua, aku tidak akan memaksa atau tidak menolak kemauan putriku. Jadi niatnya kapan kamu akan menikahi putriku, Nak Usman?"
"Em ... anu ... itu ... aku ..." ucap Usman bingung. Karena ia tidak tahu apa-apa tentang pernikahan. Sedangkan Farisha belum mengatakan padanya.
Satu hal yang juga tidak mungkin dirinya menikah adalah Benny yang tidak menyukainya. Jika ia mengatakan sesuatu yang salah, ia takut Farisha marah padanya. Apabila ia membatalkan rencana itu, ia tidak tahu lagi apa yang terjadi. Intinya saat ini Usman sedang bingung.
"Kota kapan saja mau, Bu. Semakin cepat maka akan semakin baik lagi." Farisha tahu kalau Usman bingung. Tapi baginya tidak masalah jika Usman memiliki inisiatif sendiri.
Karena sebelumnya Farisha menyuruh untuk diam dan mengiyakan semua yang dikatakan olehnya, pemuda itu menjadi bingung apa yang harus dikatakan. Nyatanya memang Usman menjadi calon suami yang patuh pada calon istrinya. Walau pernikahan itu hanya pura-pura, nantinya.
"Kamu nurut banget sama Farisha, Usman? Tapi kamu adalah calon suami bagi anakku. Kamu harus punya sifat tegas juga! Namun kamu jangan bersikap seperti ayahnya Farisha juga, yah!" pinta Azhari kepada Usman.
"Iya, Bu. Aku tahu itu. Ibu tenang saja, aku tidak akan mengecewakan semuanya. Terima kasih nasihatnya, Bu," ungkap Usman.
Azhari tersenyum mendengar perkataan pemuda itu. Sifat Usman sangat jauh berbeda dengan Benny dulu. Kalau Benny dulu sebelum menikahinya, bersikap menggebu-gebu dan penuh dengan janji-janji manis. Membuat dirinya terbuai oleh rayuan manis dan semangatnya.
Sekarang Azhari menyadari bahwa melihat lelaki itu bukan dari ucapannya. Terapi bagaimana seorang lelaki memperlakukan seorang wanita yang dicintainya. Dulu sebelum menikah pun Azhari sudah mendapatkan pengalaman tidur dan melayani Benny di tempat tidur. Kali ini ia tidak tahu, apakah Farisha dan Usman sudah melakukannya atau belum.
"Hemm ... ibu jadi tenang kalau kamu bersungguh-sungguh. Kalau boleh tahu ... apa kalian sudah ... maksud ibu, kamu tahulah!" Azhari tidak mengatakan secara langsung. Seharusnya mereka paham maksudnya.
Tentu saja Usman bingung. Bagaimana ia tahu kalau tidak dikatakan dengan jelas? Tayangan di televisi menampilkan sebuah acara yang sama sekali tidak digubris oleh semuanya. Ketika itu mereka fokus dengan rencana pernikahan antara Usman dan Farisha. Namun saat ini belum ada keputusan yang pasti, kapan akan dilangsungkan pernikahan itu.
"Iya, Bu. Usman orangnya baik tapi ia juga akan nurut padaku. Tapi itu karena ia tidak ingin menyakitiku! Kalau aku menikah dengannya, aku harus melaksanakan tugas sebagaimana istri kan, Bu?" tanya Farisha untuk meyakinkan ibunya kalau mereka serius. Walaupun itu hanya kebohongan semata.
"Yah, menurut ibu sih nggak masalah. Kamu punya KTP kan, Nak Usman? Nanti kita akan konsultasi dengan pak RT, bagaimana penyelesaiannya. Kurasa malam ini ibu perlu istirahat!"
"Iya, Bu. Hati-hati, Bu," ungkap Usman. Ia tidak menyadari kalau mengatakan itu. Kemudian pemuda itu mempersilahkan calon mertuanya untuk meninggalkan mereka.
"Kalau gitu, aku antar ya, Bu!" ungkap Farisha yang ikut dengan ibunya. "Kamu malam ini tidur di sini ya, Usman!" tandas Farisha, meninggalkan Usman seorang diri.
Farisha berpegangan tangan Azhari, masuk ke kamar bersama. Kalau bersama ibunya, Azhari bersikap seperti anak kecil lagi. Berbeda jika sedang bersama dengan orang lain. Sisi dewasanya akan terlihat.
"Kenapa kamu masih sama ibu? Harusnya kamu antar calon suami kamu ke kamarmu atau kamu antar ke kamarnya," kata Azhari ketika mereka sampai di dalam kamar.
"Biarkan saja dulu, Bu. Aku mau mesra-mesraan dulu sama ibu," ungkap Farisha yang memeluk ibunya seperti seorang anak kecil.
Sementara Usman sendirian di ruang keluarga. Ia menyaksikan televisi tapi ia merasa ingin buang air kecil. Ia tidak tahu di mana ada toilet. Ia bingung ke mana ia akan buang air kecil. Karena ia diperintahkan untuk tidur di rumah itu, ia bingung mau melakukan apa.
***