Alexa buru-buru menyelesaikan aktivitas mandinya karena tidak ingin membuat Melvin menunggunya terlalu lama atau akan sembarangan masuk kamar lagi. 'Bisa-bisanya kami tidur bersama tadi? Tapi, dia sungguh menjagaku dan tidak berbuat macam-macam. Semoga saja dia tidak seperti pria-pria lain yang suka mencari kesempatan dalam kesempitan.' batinnya sambil memakai handuk.
Selesai mandi, Alexa bergegas mengenakan pakaian. Dia mengenakan underwear dan bra merah, kemudian mengenakan setelan piyama berwarna merah marun dengan lengan panjang dan bagian atas dada agak terbuka, kemudian memoles wajahnya dengan make up tipis dan membiarkan rambutnya tergerai tanpa menyisirnya lagi.
Alexa bergegas memakai sendal berwarna pink bermotif Mickey mouse kemudian berjalan menuju keluar kamar. Dia berjalan menghampiri Melvin yang menunggunya di ruang tamu dan seketika tersenyum menyambutnya.
"Sudah merasa lebih fresh?" Melvin memastikan.
"Ya."
Alexa duduk di sofa lain dengan kaki merapatkan kakinya. Entahlah, dia masih sangat gugup karena tatapan Melvin begitu intens padanya, membuatnya salah tingkah, membernarkan rambutnya yang memang sudah rapi.
"Kamu bilang belum makan. Bagaimana jika kita masak bersama?" tanya Melvin sambil meraih kantong plastik yang tadi dibawanya. "Kebetulan aku bawa beberapa bahan makanan. Ini untukmu, Untuk persediaan kamu makan selama aku pergi."
"Kamu belanja untukku?" tanya Alexa.
"Hanya sedikit. Ini makanan untuk sarapan dan makan malam karena aku tau kamu selalu makan siang di rumah," jawab Melvin kemudian beranjak dari sofa. "Ayo ke dapur. Kita masak bersama karena aku juga lapar."
Alexa termangu, menatap Melvin yang selalu mendominasi. "Kamu di sini saja. Biar aku yang masak," ucapnya sambil beranjak berdiri.
"Aku ingin menemanimu, membantumu ... aku sering begitu dengan Joey atau mama," sahut Melvin meraih tangan Alexa dan menuntunnya berjalan menuju dapur namun dia tidak tau dapur di sebelah mana. Akhirnya dia berhenti di pintu ruang tengah.
"Kenapa?" tanya Alexa saat Melvin berhenti dan menatapi sekeliling. Ada pintu mengarah ke arah kamar Alexa dan Gea, kemudian ada beberapa pintu lain entah mengarah ke mana.
"Di mana dapurnya?" tanya Melvin.
Alexa tersenyum kemudian mengajak Melvin berjalan mengarah ke dapur minimalis yang menyatu dengan ruang makan. Dia segera melepas genggaman tangan Melvin pada tangannya kemudian mengambil plastik putih berisi beberapa bahan makanan itu.
"Sekarang kamu duduk saja. Biar aku yang masak," seru Alexa. "Tapi, kamu ingin makan apa?"
"Aku ingin ... mini burger saja," jawab Melvin sambil berpikir. "Kebetulan aku beli bahannya tadi."
"Jadi, kamu tadi beli bahan makanan cepat saji ala budaya barat?" tanya Alexa sambil membongkar isi plastik itu. Dia menata beberapa bahan makanan ke dalam lemari, dan sebagian ke dalam kulkas hingga dia menemukan beberapa buah kentang di dalam kulkas itu.
"Ya aku pikir itu mudah dimasak saat kamu sedang buru-buru kerja, dan cukup mengenyangkan," jawab Melvin.
Alexa mengambil kentang itu dan menoleh menatap Melvin. "Apa kamu suka French fries?" tanyanya.
"Ya, kita buat saja. Biar aku yang memotong kentangnya," jawab Melvin kemudian mengambil kentang dalam kemasan itu.
Mereka pun masak bersama sambil mengobrol, mencairkan suasana hingga tidak terlalu canggung lagi. Sesekali Melvin mencuri-curi kesempatan untuk mencium pipi Alexa, sementara Alexa masih belum mencium Melvin. Ah, sepertinya Melvin sudah jatuh cinta juga.
____
Setelah selesai masak dan makan bersama, Alexa dan Melvin memilih untuk bersantai di sofa sambil mengobrol dan memakan camilan berupa keripik ketela yang ditaburi dengan bubuk rasa barbeque.
"Jadi, ibu mu sedang sakit keras?" Melvin memastikan setelah mendesak Alexa untuk mengakui tentang alasannya berhutang pada Siska.
"Iya," singkat Alexa dengan menekuk wajahnya.
"Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Melvin.
"Sudah membaik," jawab Alexa.
"Syukurlah," Melvin mengangguk-anggukkan kepalanya, merasa ikut lega kemudian menarik Alexa untuk berbaring pada posisi meringkuk miring hingga menatap meja dengan kepala bertumpu pada pahanya. "Aku ingin memanjakan mu sebelum aku pergi."
"Seharusnya tidak perlu seperti ini," ucap Alexa sambil membernarkan posisinya senyaman mungkin.
"Kenapa? Bukankah seperti ini sangat nyaman?" tanya Melvin.
"Aku tidak pernah begini sebelumnya," lirih Alexa.
"Aku juga tidak pernah," sahut Melvin sambil mengusap-usap rambut Alexa yang agak kusut. "Apa kamu belum sisiran?" tanyanya.
"Belum," singkat Alexa tersenyum malu-malu.
"Kalau begitu biar aku yang menyisir dengan jariku," ucap Melvin lalu menyugar rambut Alexa, sesekali menghirup aromanya yang agak wangi. Sepertinya mengusap rambut kekasihnya itu akan menjadi aktifitas favoritnya.
Alexa hanya terdiam, merasakan nyamannya di pangkuan Melvin yang juga menyugar rambutnya dengan sangat lembut. Dia tersenyum, merasa nyaman namun senyum itu perlahan pudar disebabkan oleh rasa sedih karena takut semua ini akan berlalu begitu saja. Dalam hatinya sungguh masih bertanya-tanya kenapa pria sempurna seperti Melvin bisa begitu menginginkannya, ingin memberikan segala yang diinginkannya, bahkan sekarang sangat terlihat sayang padanya. Ini terasa terlalu cepat, tapi dia juga tidak bisa memungkiri bahwa rasa cinta itu juga tumbuh di hatinya.
'Apa mungkin cinta ini akan terbalaskan? Bagaimana jika semua ini hanya caranya untuk bisa mencintaiku? Bagaimana jika dia tetap tidak bisa mencintai ku? Apa mungkin dia akan meninggalkan aku, atau bahkan setelah ini dia pergi dan tidak akan pernah kembali? ... Ya Tuhan, aku takut akan terluka.' Alexa bermonolog dengan dirinya sendiri dalam hati, hingga tidak sadar air matanya menetes begitu saja karena terlalu ketakutan akan pahitnya patah hati yang sering orang katakan.
"Sayang," panggil Melvin karena Alexa terus diam. Dia menunduk menatap Alexa yang ternyata menangis. Seketika dia pun mendudukkan kekasihnya itu dan menangkup kedua pipinya, mengusap air matanya dengan ibu jarinya.
"Kenapa kamu menangis? Apa aku sudah membuatmu sedih karena membicarakan tentang ibumu, tentang hutangmu?" tanyanya heran sekaligus iba.
Alexa tersenyum malu-malu dan menekuk wajahnya. Dia segera menyingkirkan tangan Melvin dari pipinya. "Tidak apa-apa .. Eh, aku hanya merindukan keluarga," ucapnya bohong sambil memalingkan wajahnya.
Melvin menghela napas, menarik tubuh Alexa yang mungil ke pelukannya dari samping, kemudian mengusap-usap lengannya. "Sudah jangan sedih lagi. Aku janji, aku akan mengantar mu menemui mereka saat aku kembali dari Thailand."
Alexa terdiam melamun, masih dalam rasa takut semua ini akan berlalu begitu saja. "Melvin ... kenapa kamu begini?" tanyanya spontan.
"Bagimu bagaimana maksudmu?" tanya Melvin.
"Kamu baik dan menginginkan aku? Apa kamu berencana untuk meninggalkan aku setelah ini?" jawab Alexa sekaligus bertanya-tanya.
"Kenapa kamu bertanya begitu? Tentu saja aku tidak akan pernah meninggalkan kamu." Melvin melepas pelukannya, menatap heran pada Alexa yang kembali merasa ragu. "Sayang, untuk apa aku melakukan semua ini jika aku akan meninggalkan kamu? Tidak ada untungnya. Aku begini karena aku ingin mencintai kamu."
"Sungguh?" Alexa memastikan.
"Sungguh. Aku pergi hanya untuk sekedar urusan kerja ...dan setelah aku kembali, aku akan mengajak kamu ikut mempersiapkan pesta pernikahan Joey. Kita akan menjadi pendamping pengantin saat hari pernikahannya." Melvin menjelaskan dengan tersenyum melegakan, menatap Alexa yang tampak takut ditinggalkan. 'Aku sudah membuatnya masuk ke dalam hidupku ... Ya, seharusnya aku memang tidak akan pernah meninggalkan dia.'