Makan malam sendirian di apartemen ditemani televisi yang Ia setel acak salurannya menjadi rutinitas Bella. Makanannya itu belum habis, tapi gadis itu tampak tak berselera. Bella malah melamun. Oh, melamun yang Ia lakukan bukan sekedar pikiran kosong, justru sebaliknya. Bella tidak henti-hentinya memikirkan apa yang tiba-tiba Ia lihat di kelas sebelum perkuliahan dimulai tadi.
Siluet siluet yang berbicara itu belum pernah Ia lihat sebelumnya. Yang Ia lihat itu benar-benar siluet, hitam namun berbicara. Bella bukannya takut, tapi Ia tak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
Anehnya lagi, Ia mengalami itu semua dalam kondisi sadar, bukan mimpi, atau pingsan seperti saat itu Ia melihat Tristan dalam mimpinya pascakecelakaan.
"Apa itu juga bagian dari sesuatu yang akan terjadi?" gumam Bella pelan.
"Tapi sebelum-sebelumnya selalu kelihatan jelas wajah orang yang berbicara." Bella membandingkan mimpinya beberapa hari lalu, dimana Ia melihat Tristan sedang berdiskusi dengan rekan-rekannya.
Bella menghela nafasnya dalam, menaruh sendok makannya, benar-benar mengakhiri acara makan malam itu, "Terjadi atau enggak, lebih baik gak usah diambil pusing," ujarnya kemudian.
Ya, Bella menuruti kata-kata Tristan untuk tidak menaruh perhatian lebih soal keanehan yang Ia alami itu. Toh apa yang Ia lihat tidak sepenuhnya akurat terjadi. Memang benar bahwa beberapa skenario mimpi pascakecelakaan soal Tristan terus terjadi beberapa hari kemudiannya, dan Tristan yang berbicara dengan rekan-rekannya itu terjadi di hari yang sama.
Namun nyatanya, Tristan melamarnya dua hari lalu. Jauh dari apa yang Ia lihat dari mimpinya. Skenarionya juga berbeda. Di dalam mimpi itu, Tristan melamarnya lebih romantis, bukan lewat telepon sebelum tidur. Tapi apa peduli Bella, yang jelas pria itu sudah melamarnya.
"Lupain Bel, jalani hidup normal." Bella berujar pada dirinya sendiri keras-keras sembari mencuci piring.
Selesai mencuci piring, Bella kembali ke ruang tengah, berniat menghibur diri dengan menonton seri netflix favoritnya. Ini baru jam delapan, terlalu siang untuk tidur. Juga ada satu hal yang Ia tunggu-tunggu. Panggilan atau chat dari Tristan untuk membuatnya tidur lebih nyenyak.
"Belum pulang pasti," ujar Bella pelan setelah kembali memeriksa layar ponselnya. Hanya grup kantor yang berisik mengisi notifikasi.
Menarik selimut, Bella merebahkan diri di sofa. Seri komedi dipilihnya, meskipun selera humornya itu sangat tinggi dan tidak mudah tertawa hanya karena sitkom. Tapi yasudahlah, suara tawa para aktor yang terdengar jenaka setidaknya lebih bisa merelaksasi otaknya dibanding seri politik apalagi thriller.
TING!
Bagaikan automatis, tangan Bella terjulur meraih ponsel. Kini Ia harap-harap cemas. Harapannya itu Tristan, bukan bapak-bapak yang melempar jokes garing di grup dosen.
Keberuntungan bagi Bella, itu benar Tristan.
[iMess]
(Tristan Emilio Fariq)
Malam Bella
Lagi senggang gak? Kalau senggang Saya telfon
Bella tersenyum lebar, tidak perlu waktu lama untuk menjawab 'Iya, Saya senggang kok' atas pertanyaan Tristan yang sangat sopan meminta izin menghubunginya itu. Beberapa detik kemudian layar ponselnya itu sudah berubah menunjukan foto profil Tristan.
"Halo? Assalamualaikum," sapa Bella sumringah. Gadis itu mengatur posisi di sofa senyaman mungkin.
"Waalaikumsalam. Kamu udah di rumah?" tanyanya.
Bella mengangguk, "Udah kok. Kamu udah pulang?"
"Ya, sudah juga. Gimana hari ini? Is it good for you?" tanyanya setengah tertawa pelan. Tepatnya canggung sih.
Bella menghela nafas dalam, memejamkan mata dan tersenyum, "Alhamdulillah, semuanya berjalan baik-baik aja. Kamu gimana?"
"Banyak kerjaan hari ini, banyak yang perlu dipikirin, belum lagi Saya agak emosi soal beberapa hal. Energi Saya udah abis kayaknya," ujarnya tertawa.
"Kamu introvert ya?" tebak Bella.
"Kok tau?"
"Biasanya yang suka ngomong energi abis itu introvert."
"Haha, bener sih. Tapi introvert juga cara buat re-charge energi."
Bella mengangkat sebelah alisnya, "Oh ya? Apa contohnya? Soalnya Saya ambivert."
"Ya yang Saya lakuin ini."
"Maksudnya?"
Tristan terdengar menghembuskan nafasnya keras-keras, "Kamu ngetes Saya? Ya nelfon Kamu lah. Jadi cara Saya buat recharge energi."
Bella tertawa pelan, "Kok marah?"
"Abisnya lemot."
"Heh! Sembarangan."
"Iya sih, dosen muda berprestasi masa lemot kan?" Tristan balas tertawa.
"Kamu gak istirahat?" tanya Bella kemudian.
"Mau, bentar lagi. Mau mastiin dulu Kamu bisa tidur nyenyak setelah Saya telfon," ujar Tristan penuh percaya diri.
Bella kembali tersenyum, "Makasih loh. Telfon Kamu lebih berpengaruh kuat dibanding seri komedi netflix."
"Oh iya dong. Anyway Kamu lagi nonton? Berisik itu suara orang ketawa."
"Haha iya."
"Dosen kok nonton tivi."
Bella mengerutkan dahinya, "Lah emang gak boleh?"
"Kan image dosen tuh akademis banget gitu, tontonannya yang serius serius, bukan film lawak kayak Kamu gini."
"Saya nyalain tapi gak Saya tonton kok ini. Buat ngeramein apartemen aja."
"Kamu takut?"
"Sedikit."
Tristan terdiam sejenak.
"Saya besok libur."
"Iya, Saya juga."
"Terus?"
Bella kembali menekuk dahinya, "Terus?"
"Ya terus jadi gak mau ketemu? Katanya ada perlu diskusi penelitian?"
Bella menepuk jidatnya pelan, "Oh iya. Jadi jadi, besok ya, sekalian makan malem aja," ujarnya.
Tristan tertawa pelan, "Yaudah besok Saya jemput jam tujuh. Mau makan dimana besok?"
"Terserah Kamu."
Tristan berdecak pelan, "Kebiasaan nih perempuan katanya suka jawab terserah. Ayo dong beraspirasi, mau makan dimana? Saya belum tau selera Kamu soalnya," ujar Tristan.
Bella tergelak, "Yaudah yaudah. Makan nasi padang aja."
"Bella ... Saya bisa traktir Kamu lebih dari nasi padang."
"Emang kenapa? Kan bagus hemat ..."
"Haduh ... iya iya. Besok kita makan nasi padang. Tapi yakin Kamu mau diskusi penelitian di warung padang? Rame loh, gak fokus nanti."
"Pindah aja abis makan, diskusinya di kedai kopi."
"Oh, kirain. Yaudah, Saya ada rekomendasi kedai kopi bagus buat kerja dan diskusi."
"Okeee!" Bella mengacungkan jempolnya sendiri meskipun tak terlihat Tristan. Senang sekali rasanya.
"Yaudah. Tidur gih," titah Tristan.
"Iyaa. Kamu juga."
"Siap."
"Oh ya Bella ..."
"Kenapa?"
"Semoga tidur Kamu nyenyak dan mimpi indah malam ini, dan seterusnya."
****
Selesai shalat maghrib, Tristan sudah rapi dengan gaya berpakaian kasualnya. Pria itu jauh dari kesan sebagai ikatan dinasnya sebagai polisi dengan hanya mengenakan kaos polo putih dan jeans. Gia yang melihatnya sedari tadi mundar mandir di depan cermin itu sampai heran.
"Mau kemana sih?" tanyanya, sedikit mengalihkan fokus dari rancangannya. Akhir pekan, wanita ambisius karir itu masih bekerja dari pagi.
"Kepo!" jawab Tristan ketus, lanjut menyampirkan sling bag miliknya.
"Oalah asu, ini malam minggu yo? Mau nge-date Kamu?" umpat Gia.
"Lambemu Mbak, ketauan Mama diamuk Koe pasti," ujar Tristan. Kini sudah mengambil kunci mobilnya, tinggal memakai sepatu saja dan pergi.
"Bella Kamu jemput?"
"Ya iyalah, masa disuruh naik grab?"
"Bagus. Kirain Kamu gak tau cara nge-date yang baik itu gimana," ledek Gia.
"Ngaca sih Mbak, emang Kamu pernah nge-date? Suamimu itu kan cuma sketchbook." Tristan tak kalah meledek. Memang dasar dua bersaudara ini.
"Oalah kurang ajar!"
"Aku pamit, tidur duluan aja, Aku pulang malem!"
"Heh anak orang jangan Kamu apa apain ya. Pulangin jangan malem-malem!" teriak Gia.
BLAM!
Namun Tristan keburu menutup pintu.