Chereads / BUCKET LIST / Chapter 6 - Bab 5 Everything has Changed

Chapter 6 - Bab 5 Everything has Changed

Tak jauh berbeda dengan Agni dan Alka, Hara juga Jen saat ini tengah merenung berdua didalam mobil Jen.

"Jadi Agni orangnya?—yang buat lo uring-uringan." Hara membuka suara pertama kali, walau matanya masih fokus menatap kedepan, ntah apa yang ada disana hingga ia terasa tak bosan walau sudah 10 menit belum mengalihkan padangannya. Sedang lawan bicaranya hanya mengangguk singkat, tak peduli Hara melihatnya atau tidak—terlalu malas untuk membuka suara, tenaganya terasa sudah terkuras habis tadi.

Jen masih memerhatikan ponselnya dengan hikmad—melihat satu roomchat di salah salah aplilasi chatingnya, memerhatikan dengan seksama—Ah dia masih diblok rupanya—membuatnya ingin membanting handphonenya.

"Gue gak yangka akhirnya lo sama Agni—"seakan tak menyerah Hara kembali memancing. Pada akhirnya Jen menoleh,

"Gue juga gak yangka."balasnya kemudian, menerawang jauh pada perasaanya sendiri.

"Lo sama si kacamata juga kayaknya ada something..?"

"Brengsek, dia bukan cewek berkacamat! Namanya Alka..!!" tegasnya, sedang Jen masih acuh walau sudah diteriaki, tidak ada yang salah, gadis itu memang berkacamata, lalu dimata letak salahnya ??

"Mantan gue waktu di Jogja.."lanjut Hara pelan, lirih—seakan pertanyaan Jen membuka luka lama yang berusaha dia tampik

Jen mengangguk samar, seperti sudah memperhitungkannya, "I see, lo serasa ngeliat setan tadi waktu papasan sama dia."

"Gue cuma kaget—kita sekarang gak dalam term yang baik..by the way Agni kelihat benci banget ya sama lo, gak yangka bisa liat dia gini ke elo, puas banget gue liatnya." cibirnya kejam.

Berdecak sebal, Jen kembali mengeratkan kepalan tangannya, "I"ll make her love me again, for sure.."

Melihat kilatan emosi dalam mata Jen, Hara hanya bisa menghela napas, Jen memang orang yang sulit mengendalikan emosinya—disaat bersamaan dia memang selalu bertindak seenaknnya untuk apa yang di inginkan, bahkan ketika harus menjadi egois atau bajingan sekalipun. Hara bagaimanapun mengenal Agni, jadi meskipun dia sahabat Jen disini—dia tak pernah membenarkan tindakan yang dilalukan pada Agni.

"Jen, kalau lo cuma pengen buat Agni jatuh cinta lagi buat lo lukain lagi mending jangan Jen,"

mendengar penuturan Hara, Jen tidak menunjukkan reaksi apapun, hanya saja perkataan itu telak menampar sudut hatinya, Dia sadar akan sikapnya yang menyerupai bajingan, hanya saja sulit untuknya untuk jujur, ego dan prinsip kental yang dia miliki seakan menjadi batu pengahambat paling besar bagi dirinya untuk mengikuti kata hati.

"Gue laper, mending kita makan dari pada pusing mikirin masalah hati." ajaknya pada Hara.

Tau nasehatnya hanya diabaikan oleh, Jen hanya bisa berdoa semoga saja temannya ini tidak lagi menyia-nyiakan kalau dia benar-benar diberi kesempatan kedua.

****

Sejak sore tadi hingga sekarang saat sudah sampai di kos, Agni masih melamun, memikirkan kejadian sore tadi yang tidak pernah dia sangka akan terjadi jauh lebih cepat dari perkiraan, Agni sudah menduga bahwa dia tidak akan bisa lari selamanya dari makhluk bernama Jen, tidak—bahkan sejak dulu.

Lalu apakah dia akan melakukan seperti yang sudah-sudah, memaafkan kemudian kembali menjadi dungu karena terlajur cinta—ohh tentu opsi itu dia tolak mentah-mentah, dia bisa hancur kalau harus patah sekali lagi untuk orang yang sama, neraka dunianya harus dia akhiri saat ini juga.

Masih memerhatikan layar laptopnya yang sedari tadi memutar drama Korea—dengan tatapan kosong, tiba-tiba dia terlonjak, bersemangat seakan tengah menang lotre atau baru menemukan air di tengah gurun yang gersang. Segera dia menggapai handphonenya yang sejak tadi dianggurkan di atas meja, buru-buru mendial nomer seseorang yang paling ingin dihunginya saat ini.

"Astaga Alka lama banget si ngangkatnya..!!"ucapnya cepat sesaat setelah mendengar telponnya telah diangkat, dosebrang sana lawan—sang lawan bicara—Alka hanya bisa dibuat terkejud heran plus jengkel, bayangkan saja dia langsung dimaki sedetik setalah menganggkat telpon, apa salahnya ?

"Ag, kalau nelpon itu ucap salam dulu, ini langsung sensi ? ada apa?" untuk saja Alka merupakan tipe manusia dengan batas sabar yang tinggi, coba kalau tadi yang ditelpom Agni itu Fey atau Tia sudah pasti mereka akan berdebat dulu selama setengah jam, atau yang lebih parah telepon Agni akan langsung dimatikan, jika dilihat dari pengalaman.

"Hahaha.. sorry Al, tapi ini gue mau nyampein sesuatu yang PENTING..PENTING banget asli ?"jawabnya menggebu-gebu.

Alka mengeryit heran, namun karena kepo juga jadi di hanya berohoh ria menanti hal penting yang ingin Agni sampaikan.

"Lo mau tau gak? gue dapat ide untuk konklusi pembicaraan kita sore tadi ?"

"wait ?pembicaraan yang mana"tanyanya heran.

berdecak Agni—menjatuhkan bokongnya kembali kekasu, menggambil salah satu bonekanya—boneka dengan bentuk kucing, kesukaannya, boneka yang diberi nama moci,

"itu soal Hara sama Jen." jawabnya kemudian.

"masih mau bahas mereka ?nanti nangis lagi kamu kayak tadi sore," ejek Alka sembari terkekeh puas.

"oh... bahagia banget ya lo kayaknya liat gue nangis ?"

"gak dong Ag hahaha" Alka masih tertawa, jahat memang, namun lucu saja kalau dia mengingat bagaimana muka Agni yang nelangsa tadi sore. Pengalaman baru bagi Alka, yang dia pastikan akan tersimpan erat dari memorinya hingga nanti, kapan lagi dirinya bisa menistakan Agni—kalau biasanya dia yang dinistakan.

"bilangnya enggak tapi ketawanya lepas banget Al.."sindir Agni

"Gue serius ini..!" lanjutnya, Alka berusaha meredam tawanya, kemudian mengangguk-angguk—yang sudah jelas tidak dapat Agni lihat,

"Oke-oke then apa itu ?" jawabnya setalah tawanya 100% redam.

"lo mau move on kan dari Hara ?"

Alka yang ditembak pertanyaan seperti itu,langung bungkam. Tidak tau harus bereaksi seperti apa ? tidak tau harus menjawab apa ?? Benarkah dirinya ingin move on dari hari ??? Alka tidak tau.

Jujur Alka memang merasa dikecawakan pada saat itu, bahkan hingga sekarang dia juga masih mencoba sembuh dari rasa kecewanya, hanya saja dia juga sedikitnya menyesal dengan perpisahan yang terjadi diantara mereka berdua, dari sudut hatinya dia masih mengharapkan kalau-kalau mereka berdua bisa berdamai dan mungkin kembali merajut kasih, jadi kalau ditanya apa dia mau move on? jujur Alka tidak mau, tapi dia juga tidak bis menjamin rasa sakit hatinya mampu dia hilangkan kalau-kalau dia tidak berani beranjak dari masa lalu.

Apakah menyembuhkan luka itu berarti kamu harus melepaskan dia yang sampai saat ini masih kamu inginkan ?

sisi hatinya menjawab ya, karena Hara adalah sumber rasa sakitnya, jadi kalau dia mau sembuh dia harus melepasnya, namun sisi hatinya yang lain menjawab tidak, karena sejujurnya dia yakin kalau rasa yang dimilikinya akan mampu membawa kesakitan itu menghilang dalam dirinya.

"Al-Alka..!!Hellaww Al...ALKA.." teriakan Agni membawa Alka kembali pada dunianya, sejenak melupakan kegemerlatan hatinya yang bimbang.

"Jadi gimna lo mau move on ??" desak Agni,

"Aku gak tau Ag," jujur Alka kemudian, tak ada gunanya menutup-nutupi.

" hmm, lo masih ragu ya ? tapi Al, apa lo gak mau mempertimbangkan diri lo sendiri, lo butuh bahagia Al, dan untuk bisa bahagia itu lo butuh pengorbanan.!"

"Apa pengorbanan itu harus dengan ngebuang perasaan gue ?" tanyanya lirih, melepas Hara, bukan sesuata yang Alka inginkan, kalaupun memang selamanya mereka akan bersebrangan, menjadi sing seperti sekarang—biarlah itu karena jalan takdir bukan dengan rencana yang Alka kehendaki.

Terdengar helaan napas di telangi Agni, Alka sadar bahwa dia seperti ramaja labil yang sangat tidak konsisten, kadang dia ingin melepaskan, sesaat kemudian dia ingin bertahan—Alka juga bingung dengan dirinya sendiri, Alka hanya baru saja merasakan perasan ini untuk satu orang, jadi dia bingung dalam mengatur perasaanya sendiri.

"Al, inget dia udah ngecewain lo..! You deserve better" Agni kembali mengingatkan.

"Ag, lo gak tau rasanya .!" jawabnya lantang, seakan merasa kesal juga karena sedari tadi Agni selalu memojokannya, ini perasaanya sendiri, dia tidak butuh orang lain untuk mengguruinya, bukankah Agni juga sama dengannya, perasaannya untuk Jen jelas masih ada ?Kenapa dia tidak bisa mengeti..

"Justru karena gue tau dan paham, makanya gue ngomong gini sama lo..! Gue pernah ada diposisi lo selama bertahun-tahun, walaupun gak persis sama, karena gue bukan siapa-siapanya ? tapi gue tau Al rasanya diperbudak perasaan sendiri ? Bahagia lo itu gak akan bisa absolut lo dapetin kalo sumbernya, parasitnya masih tinggal disana, gerogotin hati lo, sampe lama-lama kebas, terus lo mati rasa !"

Agni merasa bersalah—jujur, apalagi setelah mendebgar isak tangis Alka yang memilukan, obrolan mereka harusnya ringan, kemudian berkahir dengan canda tawa, bukan seperti ini. Menjadi berat dan menyakitkan, selalu seperti itu ketika dipaksa untuk berbicara mengenai kedu laki-laki itu, tak pernah berkahir dengan baik. Itulah mengapa Agni ngotot mengajak Alka untuk membebaskan perasaannya, karena hati yang mereka berikan untuk kedua laki-laki itu hanya menjadikan sumber rasa sakit untuk mereka berdua.

"Hiks..Hiksss."

"Sorry Al gue gak maksud bikin lo nangis kayak gini"

"Gu-gue hiks..gak tau..hiks Ag..g-gue gak tau." Alka sudah menjatuhkan dirinya dalam kubangan selimut—menggigit bibirnya cukup kerasan untuk meredam isakannya. Namun semua itu seolah tak memberikan efek apapun, tangisnya kian pecah, seakan emosi itu telah lama dia pendam, dan baru mampu dia keluarkan semuanyang, dihadapan—tidak langsung—sahabatnya.

"Lo tenangin diri lo Al, nanti kita biacara lagi" Agni memutus sambungan telponnya tanpa menunggu balasan dari Alka, membanting handphonenya kasur cukup keras hingga menimbulkan suara—persetan dengan efek yang ditimbulkan nanti.

Agni menyeka sudut matanya yang sudah tampak basah,ah rupanya tanpa sadar dia juga ikut menangis—hari ini dia menangis kedua kalinya untuk orang yang sama—Jen, si brengsek. Ini yang terakhir. Setuju atau enggak nya Alka dengan idenya, Agni tetap akan melanjutkannya.

Menghapus Jen dari pikiran dan hatinya adalah absolut.