'Bukan tentang siapa yang lebih dulu mencintai
Tapi siapa yang bertahan dengan cintanya hingga akhir
Aku mungkin terlambat ,
Tapi aku bisa memastikan bahwa tak ada yang paling ingin ku lindungi kecuali dirimu
Dan tak ada yang bisa mencintaimu seperti aku yang begitu menggilaimu'
****
Malam semakin larut, laki-laki itu masih betah menatap langit malam yang terlihat kelam saat ini, tak banyak bintang yang bisa terlihat bahkan bulan seakan bersembunyi enggan untuk menampakkan dirinya.
Jen merasa hawa dingin kian menusuk hingga kedalam lapisan kulitnya yang terdalam, ah mungkin sudah sampai pada tulang-tulangnya—tapi rasanya dia masih enggan beranjak dari balkon apartemennya, rasanya lebih jika ia mampu bertahan dengan hawa dingin ini jadi dia tidak harus selalu sakit hati tiap kali mengahadapi dinginnya hati seseorang. "I'm ok mom, just tired." helaan napas terdengar berat membuat kata 'ok' semakin gamang lawan bicaranya. Bagaimana dia bisa percaya dengan apa yang diutarakan anak semata wayangnya itu.
Jen menyandarkan punggungnya di senderan bangku, seolah dia memang butuh sandaran untuk semua kebohongan yang diutarakannya malam ini. Nyatanya Jen tidak baik-baik saja seerti yang dia katakan."Beneran ya sayang, kalau ada apa-ada plese let me know, u know i love u so much kan my baby boy"
"oh.. plese stop calling me like that mom, i am not a baby boy anymore, i'm grow up okay ?" Mommy Jen tertawa renyah mendengar protesan dari sang anak, dia selalu ingat kalau Jen paling tidak suka diperlakukan seperti anak kecil, tapi baginya Jen selamnya akan selalu menjadi baby boy kesayangannya yang berharga.
"you're foreverer my baby boy honey. Fine kalau kamu gak mau cerita, tapi inget jangan terlalu memaksakan diri ya" Jen hanya mengangguk samar sebagai jawaban karena dia juga tidak yakin bahwa dirinya tidak akan memaksakan dirinya terlebih untuk perempuan itu.
Setelah petuah dan kalimat rindu yang tak kunjung henti di utarakan mrs Wilson, akhirnya obrolan mereka berkahir—lalu Jen masih betah dengan keterdiamannya, memikirkan jauh tentang apa yang terjadi antara dirinya dan Agni, berandai-andai kalau saja dia tidak menjadi brengsek dulu, mungkin malam ini dia tidak harus menyelami kesendirian dan sepi, mungkin Agni akan ada disini menemaninya, memeluknya, dan mereka akan berbagi tawa.
TING..!
Notifikasinya handphone yang berbunyi menyadarkannya kembali pada kenyataan, dengan malas dia melirik siapa yang berani mengusik ketengannya malam ini. Jen sudah bersumpah kalau orang itu Hara atau Seth dia akan langsung mengirim sumpah serapah pada mereka sebagai balasan.
From : Hiraet ❤
Jen...
Pesan itu membuat Jen melompat dari bangkunya, dan dengan bodohnya handphonenya ikut terlepas dari tangannya—setelah memungut kembali handphonenya yang terjatuh, Jen menelisik isi pesan itu lagi, membuka kemudiam menutupnya lagi—begitu terus berulang kali, kemudian memastikan tanggal dan jam masuknya pesannya itu, memeriksa kontak pengirimnya.
Perasaan mendebarkan itulah yang menyadarkan Jen bahwa hal ini adalah nyata, Agni mengirimkannya pesan, sungguh dia tidak berharap banyak setelah tahu kontaknya tidak lagi dblokir oleh gadis itu, tapi sampai mengirimkannya pesan, rasanya Jen bisa menangis karena euforia yang mendadak membuncah dalam dirinya saat ini. Apakah Tuhan benar-benar mendengar kepahitannya malam ini, lalu menggerakan perempuan itu tanpa sadar hingga mengirimkannya pesan. Belum sempat rasa terkejud bercampur bahagia itu luntur, notifikasi lain datang membuat Jen ingin lombat dari lantai apartemennya sebagai bentuk selebrasi,
From : Hiraet ❤
udah tidur ?
Melihat isi pesan itu, sadar jari panjangnya menekan tombol call pada pemilik kontak Hiraet dihandphonenya, sadar dengan apa yang dilakukannya Jen ingin membenturkan kepalanya kedinding, bagaimana dia bisa tiba-tiba menjadi sinting hanya karena 2 pesan singkat yang masuk ke chat roomnya,
meskipun tak berharap panggilannya akan diangkat, Jen tetap gelisah mendegar bunyi dering yang terus bergema di gendang telinganya,
"..." panggilanya di angkat, namun Agni hanya diam begitu juga dengannya. Jen masih menunggu—
"A--Ag.." Jen membuka pembicaraan setelah hening selama 2 menit, menunggu sabar Agni berbicara—
"Iya.." singkat, namun tetap membuat Jen merasa bahagia, rasanya ada banyak kupu beterbangan dalam perut Jen, dulu dia selalu menghiraukam nasehat orang disekitarnya tentang arti penyesalan dan sekarang dia mengerti betul apa itu—setelah Agni menghilang dari sisinya.
Jen kembali duduk, kali ini berselonjor di lantai dengan kakinya yang dibiarkan , "Kok gak ngomong ?" tanyanya canggung.
Jen mendengar suara berdecak disebrang sana, sepertinya gadis itu kesal karena pertanyaanya, "Lo yang nelpon lo lah yang ngomong" sewot Agni tak santai.
"Ya tapi kan lo yang chat gue duluan" sahut Jen tak mau kalah.
"ya tapi kan gue cuma..." Jen dapat mendengar helaan napas dari mulut Agni yang terasa berat. "Fine, gue—"
"Gue apa ?" tanya Jen tak sabar. "Ck..ya sabar dong ini lagi nyusun kata-katanya" balas Agni spontan—sedikit emosi. Jen yang mendengar gerutuan Agni berusaha menahan kekehannya, rasanya sudah sangat lama dia tidak menggoda Agni seperti ini, dan Agni yang akan selalu terlihat menggemaskan saat menahan emosinya
"Ehem..cepet gue gak punya banyak waktu ?" katanya masih menggoda, Jen tidak tau saja saat ini muka Agni sudah memerah hingga ketelinganya, walau tau Jen hanya menggoda—tetap saja rasanya agak menyebalkan.
"Lo ngeselin banget ya KAMPRET..!!" Agni memekik saat mengumpat, seolah menaruh seluruh tenaganya di akhir kalimat yang dia lontarkan. Disisi lain Jen yang sempat terpekur mendengar makan Agni, kini menjadi pihak yang tertawa paling keras.
"kenapa lo ketawa ?" tanya Agni sinis.
"Karena lo lucu.." ungkapnya jujur, Agni yang mendengarnya menjadi beku, membisu, dan sedikit terperangah—harus dia apakan informasi ini. Sial sekali, kenapa hatinya selalu lemah, berdebar hanya karena kata-kata Jen yang jelas diucapkan laki-laki itu tanpa sadar.
"...."
Lagi-lagi mereka terjebak dalam keheningan, apa dia salah bicara dan membuat gadis ini marah lagi ? pikir Jen kalut, "Kok diem.." katanya tak sabar.
"Lo bawel sih.." sudut bibir Jen terangkat, membuat senyum lebar tak tertahan, apakah dia boleh berharap kalau Agni sedang malu karenanya. Semoga iya, karena itu artinya dia masih memiliki ruang dalam hati gadis itu.
"Maaf" katanya lembut membuat Agni mengernyit—sejak kapan laki-laki ini bisa berbicara dengan nada sehalus ini.
"Ehem gue juga mau minta maaf" Jen berkerut samar, rasanya Agni tidak berbuat kesalahan apapun padanya, kenapa gadis itu justru meminta maaf.
"Lo tau kan..Maksud gue soal insiden tamparan waktu itu"
Jen terpaku untuk sesaat, kejadian itu memang membekas untuknya, karena untuk pertama kalinya Agni melayangkan tamparan untuknya, setelah selama ini Agni hanya mengungkapkan emosinya dengan cibiran dan makian saja. Tapi Jen tidak pernah marah, justru dirinya merasa bahwa tamparan itu perlu untuk membuatnya lebih sadar. Jen bahkan berpikir dirinya butuh lebih dari sekedar tamparan.
"Jangan buat gue lebih pencudang dari pada ini Ag.."
"Maksud lo apa ? Lo gak suka karena gue minta maaf ?" sungut Agni tak suka.
Jen mengurut keningnya yang berdenyut tidak nyaman—pening tiba-tiba datang dan menghantamnya dengan hebat, mengingat kelakuannya dulu membuat Jen malu dan marah, "I deserve that Agni, thats what i mean. Gue harusnya nerima lebih dari sekedar tamparan lo waktu itu, jadi jangan minta maaf."
"Lo tau Jen gue lakuin permintaan maaf ini bukan untuk lo, tapi untuk diri gue sendiri.!" Agni mengerang marah lalu memutus teleponnya sepihak, kenapa Jen selalu egois dengan pemikirannya sendiri, kenapa perminta maafnya bahkan sulit untuk laki-laki itu terima. Haruskah Jen bersikap melankolis ketika dulu bahkan dirinya tak pernah terusik dengan tingakahnya yang jauh lebih menyebalkan. Agni bahkan sudah melangkah dan tak ingin lagi mengingat, tapi laki-laki itu selalu menariknya untuk kembali menyangkut pautkan apapun dengan masa lalu mereka.
"Maaf" Jen berucap sedih, setelah tau teleponnya tak lagi terhubung dengan Agni. Rasanya dia sungguh kesal dengan pikirannya sendiri yang selalu memperumit masalah. Tapi itulah yang sebenarnya Jen rasakan, dia tidak berhak atas perminta maafan yang Agni utarakan. Dia yang harusnya mengucap maaf bukan sebaliknya.
TING.!!
Walau enggan Jen tetap membuka notifikasi chat di handphonenya—melihat nama Hara tertera disana,
From : Hara
Lo harus ikut gue hunting besok..!! Alka bilang dia bawa Agni.. Ceh menyebalkan!!
Jen tersentak ditempatnya, kali ini dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Tuhan beri untuknya.
****
"Jadi kasih tau gue kenapa tu orang ikut ?" ketus Agni setelah melihat Hara keluar dari mobil bersama seseorang yang membuatnya naik pitam semalam.
"Lo sendiri kenapa ikut ?" jawab Hara kelewat santai, kemudian menghampiri Alka yang terlihat repot dengan barang bawaannya.
"Kamu bawa kamera ?" katanya basa-basi.
"Iya pinjem punya Agni" Hara mengangguk paham.
Agni mendengus melihat Hara yang terlihat bicara santai dengan Alka. Lalu matanya beralih ke seseorang yang sejak tadi diam dan bersender di badan Honda HR-V hitam milik Hara. Mata hazel itu tampak semakin berkilau dibwah sinar matahari, rasanya Agni kembali disadarkan bahwa lelaki ini memang masuk dalam kategori mereka yang punya tampang di atas rata-rata. Lihat saja garis rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung namun tipis, serta bibirnya yang bervolume tidak tebal tidak juga tipis membuat Agni betah menatap kearahnya tanpa sadar.
"Ag mingkem kali, lo mupeng banget liatin temen gue sampe netes tu air liur" sindir Hara yang tiba-tiba muncul dihadapannya dengan cengiran jahil.
'Bang**t' makinya dalam hati, bisa-bisanya dia tertangkap basah sedang memerhatikan Jen. Agni bersungut masam—memukul keras lengan Hara tanpa ampun.
"Siapa juga yang lagi liatin Jen" bantahan Agni sepertinya tidak berguna, lihat saja Alka dan Hara yang justru tertawa nyaring mendengar gerutuannya. Saat matanya tidak sengaja menatap ke arah Jen— bisa Agni lihat laki-laki itu tengah tersenyum teduh karahnya.