Chereads / BUCKET LIST / Chapter 8 - Bab 7 Decision

Chapter 8 - Bab 7 Decision

Agni dibuat terkejud dengan kedatangan mendadak Alka di depan pintu kosnya dengan keadaan yang—menyedihkan, mata sebab serta gurat sedih di wajahnya seakan menjadi hal utama yang menyorot penglihatan Agni saat ini, mulutnya belum sempat bertanya ketika dia sadar Alka sudah menubruknya, memeluknya erat, dan isak tangis pilu itu terdengar menyakitkan.

Agni menggiring Alka untuk duduk, memberinya air putih rupanya percuma, Alka masih betah dengan tangisnya. Liquid bening yang keluar berlomba dari kedua matanya seakan mampu membuat bendungan dan orang tak perlu memikirkan soal kekeringan dimusim kemarau. Sejujurnya Agni juga tak punya cukup tenaga hari ini untuk menjadi sandaran orang lain, mengingat dirinya yang juga baru saja selesai menangis setalah pertemuannya dengan Jen barusan.

Memilih untuk diam, dan menenangkan Alka dengan tepukan hangat di punggung gadis itu, Agni berharap tangis Alka segera reda, karena mendengar lirih tangisan Alka, rasanya Agni seperti ini menangis kemabali.

****

Mereka masih diselimuti keheningan, Agni hanya bisa menunggu, mendesak seseorang yang sedang menangis bukan opsi yang bagus, jadi biarlah Alka memuaskan emosinya dulu dalam tangis.

"A--ag--"suara parau Alka membangkitkan Agni dari lamunan, memberi mimik muka meminta penjelasan, walau tanpa paksaan.

"Ka--kamu bener Ag, aku egois..Aku pengen bertahan dengan perasaan ku untuk Hara, nyatanya aku gak sekuat itu Ag, A--aku gak sekuat itu." baru redam beberapa saat, tangisnya kembali pecah, Agni bangkit dari duduknya beranjak duduk disebalah Alka, menggenggam erat tangan sang sahabat yang bergetar hebat. Tak ada hal lain yang bisa Agni lakukan selain memberinya simbol tersirat, bahwa Agni ada disini untuk Alka.

"Lo tenangin diri lo dulu Al.." Alka berusaha menetralkan tangisnya, meredamnya dengan menggigit keras belahan bibirnya, lebih baik terluka fisik ketimbang hati.

"Gu-gue, gue mau move on Ag.." balasnya mengenggam Agni erat, Agni hanya mengangguk-angguk. Berusaha memahami walau masalah hati tidak ada orang yang lebih paham kecuali diri kita sendiri. Pada akhirnya kedua gadis yang tengah merasakan sakit yang teramat pedih itu, kembali menangis bersama—berpelukan erat—meluapkan segala emosi yang sudah lama mereka coba tahan.

****

"Jadi kenapa lo tiba-tiba nangis kejer terus bilang mau move on ?" tembak Agni langsung pada sosok gadis dihadapannya yang sedang asik menikmati cheese burger dengan lahap, sangat berbeda dari dirinya setengah jam yang lalu, menangis, meraung seolah dialah koraban yang paling tersakiti dimuka bumi.

"Kita gak bisa makan dulu ya Ag ?" Jelas jawabannya adalah tidak, lihat saja gelengan ribut yang Agni lakukan. Agni sendiri sudah kelewat penasaran, mengingat bagaimana wajah menyedihkan Alka saat dia membukakan pintu kosnya tadi.

Alka yang tau Agni tak akan menyerah, akhirnya mengalah dan mencoba merangkai kata-kata untuk dia lontarkan pada Agni,

"Gue ketemu Hara—"baru setengah kalimat keluar dari mulutnya Alka dapat melihat dengan jelas mata Agni yang memincing dengan mulut terbuka seakan mau melayangkan protes, Alka berucap cepat meneruskan, "Aku inget kita ada janji—"

Agni membeo, sadar kalau disini dialah yang lupa, dan baru ingat saat Alka membahasnya, terlalu larut akan momennya dan Jen, Agni bahkan benar-benar melewatkan janji temennya dengan Alka. "Ah--sorry soal itu, gue lupa."akhirnya Agni tetap memotong kalimat yang akan Alka utarakan.

Alka menyeka bibirnya yang belepotan oleh saos sebelum kembali bicara,"Aku tau.."balasan santai itu membuat Agni heran, setaunya Alka bukan tipe yang mudah memaafkan seseorang yang ingkar janji. Dulu saja pernah sewaktu Agni janji akan menemaninya mencari rok untuk presentasi, namun Agni justru ketiduran, Alka ngambek dan harus dibujuk menggunakan ice cream dulu untuk bisa memaafkan Agni. "Aku lihat Jen nyamperin kamu tadi, di taman—aku bingung mau nyamperin atau gak, tapi akhirnya aku putusin buat enggak."

Agni tergugu, ntah kenapa dia merasa sedang dipergoki melakukan sesuatu yang sangat terlarang. Lagipula kenapa juga Alka ada disaat, melihat kekacauan antara dirinya dan Jen. Salahkan Jen yang datang tiba-tiba dan nengacaukan pikiran Agni seperti yang sudah-sudah. "Kenapa ?" atensi Agni sekarang sepenuhnya untuk Alka, persetan dengan hot chicken dihadapannya, ini jauh lebih penting.

Alka menarik napas, sekaan membutuhkan lebih banyak pasokan oksigen untuk mulai membahas apa yang terjadi tadi."Ada Hara." Dia ajak aku ngobrol." penjelasan singkat itu membuat Agni paham, ingat mereka diposisi yang sama, jadi sudah tentu dia mengerti gemerlut hati Alka saat ini. Tapi kenapa Jen dan Hara harus merusuh di waktu yang bersamaan.

"Dia ngomong kalau dia kangen." Alka memainkan jemarinya, terlihat seburat merah menghiasi pipinya, Alka merona.

"Sound like bullshit" kata Agni cepat, memotong cepat imajinasi Alka. Alka hanya bisa mendengkus pelan, seakan sudah bisa memprediksi reaksi Agni. "Terus kenapa lo malah mau move on ? setelah prince charming lo ngomong 'Rindu'" Agni mengajukan pertanyaan yang sebenarnya lebih mengarah ke ejekan, membuat Alka mengerucutkan bibirmya sebal, Agni memang sadis kalau urusan menyindir, walaupun sudah tidak kaget tapi tetap saja rasanya menyebalkan.

"Ada beberapa hal yang memang lebih baik kamu lepaskan, ketimbang kamu kekeh memertahankan tapi itu berpotensi menghacurkan dirimu sendiri, I lost my self once Ag. A--aku gak menyalahkan dia juga akan hal itu, tapi tetep aja, like u said to me before, we should love our self first before anyone else."

Agni tersenyum samar, dia mengangguk membenarkan ucapan Alka barusan. Bukan cuma Alka yang sempat sehilangan dirinya sendiri karena perasaanya, Agni juga pernah dan bukan hal yang mudan hingga akhirnya kamu sadar bahwa setiap manusia di dunia ini berhak atas bahagianya, mereka berhak atas bahagia mereka sendiri. Dan tidak ada manusia di dunia ini yang memilili hak untuk menyakiti mu, seandainya dia sadar lebih cepat dulu. Namun larut dalam penyesalan juga bukan hal yang bisa kamu lakukan untuk menjadi lebih baik, jadikan mereka pelajaran hidup hingga kamu tak akan menyelami penyesalan itu untuk kedua kalinya.

Agni tiba-tiba bangkit dari duduknya, Alka sudah tau pasti sebentar lagi Agni akan melakukan hal gila—"Oke kita udah sepakat, ayo Move on..!! kita hempas bajingan-bajingan itu dari otak dan hati kita.!!" Kan betul, lihat betapa Agni terlihat membara, sedang Alka harus meredam malunya, bagaimana tidak kalau Agni mengikrarkan perkara move on dengan suara yang sangat dan sudah setara spiker miliknya.

Sebenarnya Alka tak mau setuju dengan penyematan nama bajingan untuk Hara, sebutlah dia bucin tapi memang panggilan itu tidak pantas, mau mengajukan protes pun percuma, Agni pasti menghiraukan kata-katanya, gadis itu lebih keras kepala dari siapapun yang orang yang Alka kenal.

"Kita buat list."

Alka mendongak setelah tadi masih bungkam dan menunduk malu, menatap Agni dengan pandangan terbaca—

"Gue udah rencanain ini dari waktu kita telponan waktu itu."penjelasan itu masih belum dapat dipahami Alka, terbukti dari kedua alisnya yang seolah menyatu, dan ekspresinya yang masih menunjukkan raut bingung.

"Lo pernah denger soal bucket list ?" Alka mengangguk cepat, "Kita buat list cara-cara yang bisa buat kita move on dari mereka."

"contohnya ?"

Agni terlihat berpikir sejenak, mengetuk-ngetukkan jari telunjukknya di dagu—sebelum kemudian menjetikkan jarinya semangat

"misal hapus semua foto yang lo punya sama dia."

"Enggak..!" protes Alka cepat, menyilangkan kedua tangannya membentuk huruf X raksasa.

"Loh..loh ini penting lo Al, biar lo lupa..! Biar lo gak bisa lagi mantengin foto berdua kalau lagi dengerin lagu galau ?"

"Tau dari mana—"

"Hutss.." Alka mengatupkan mulutnya yang berucap protes, "Kalau kata smash I know u so well my baby Alka." Kata Agni kemudian.

Mendengarnya Alka hanya bisa memutar bola matanya malas, sudah jelas dia akan selalu kalah debat dengan orang ini.

"Kalo masih berat ?" Agni menggantungkan kalimatnya, menyesap fruit tea miliknya yang tinggal setengah—sebelum melanjutkan "Lo bisa mulai gantu home screen sama lock screen hp lo."

"Harus banget."Alka masih menawar—Agni memberi kode kalau yang satu itu sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.

"Fine." Alka berujar pasrah, meraih persegi panjang pipih miliknya, mengotak-atik—lalu menganggkat memperlihatkan pada Agni kalau dirinya sudah menuruti keinginan cewek itu.

"Good." Agni berujar puas. Mungkin hal ini terlihat sepele untuk orang lain, banyak orang yang pasca putus, langsung bisa gonta-ganti pasangan dan tak terlihat patah hati. Tapi beda ceritanya kalau yang mengalami itu adalah orang yang benar-benar menaruh rasa dan kepercayaan akan komitmen yang dibangunnya, kehilangan orang itu berarti ia juga kehilangan separuh dunianya, jadi usaha untuk bangkit bukanlah sesuatu yang gampang, termasuk perihal kecil dengan mengganti HS dan LS di handphone.

"Terus apa lagi ?"tanya Alka tak sabar, "lo tulis disini."Agni menyerahkan kertas dan pulpen dihadapan Alka, "Lo pikirin keinginan-keinginan lo yang pengen lo lakuin tapi belum bisa lo wujudin, misal lo mau naik balon udara atau keliling eropa haha gue bercanda, tapi kalo emang ada keinginan lo yang kayak gitu tulis aja.. kita saling bantu wujudin keinginan masing-masing, buat diri kita bahagia, itu cara terbaik buat move on."Tapi ada satu hal yang gue haramin buat lo tulis disana ?" Alka mendengarkan, "Jangan libatin orang lain, atau kasarnya jangan jadiin orang lain pelampiasan."

"Setuju, aku juga gak pernah setuju dengan opini untuk bisa move on cepat adalah dengan menemukan orang baru, kalau kita aja belum bisa berbenah dengan diri sendiri, gimana mungkin kita mempersilahkan orang lain buat ngisi."

Agni bersyukur, setidaknya dia memiliki teman yang satu pemikiram dengannya, karena sulit menemukan yang seperti ini, orang suka sekali meremehkan perihal move on. Lalu suka dengan mudahnya menyuruh mereka untuk mendekati orang lain demi menyembuhkan hati mereka yang terluka, padahal bagi Agni hanya 2 hal tempat paling baik untuk berdiskusi masalah hati ialah, Tuhan yang akan selalu ada untuk hambanya dan diri sendiri, satu-satunya yang tidak akan berkhinat pada mu.

"Oh iya please rahasiain plan kita ini dari dua marmut ya Al, gue males banget kalo harus di ejek sama mereka." mengerti siapa yang dimkasud Agni, Alka hanya bisa nengangguk lucu dan tertawa lepas. Hubungan mereka anatar Agni, Fey, dan Tia memanglah unik hate-love relationship, terlihat sering bertengkar dan berdebat, namun juga saling memerhatikan dan menyayangi satu sama lain.

****

'Agni bangun.. !! Agni cantik bangun..!! Agni yang cantik banget ayo bangun!!

Jangan salah paham dengan mempertanyatakan siapa gerangan orang waras yang berkata-kata seperti itu, suara barusan bukan berasal dari orang lain, melainkan dari alrm hanphone Agni yang direkam oleh suaranya sendiri.

Masih dengan kedaan setengah sadar Agni menjulurkan tangannya, meraba-raba kasurnya sendiri, berusaha mencari benda pipih yang mengeluarkan suara berisik itu. Sungguh menganggu pagi indahnya.

Setelah mematikan alrm di handphonenya, Agni duduk sejenak, berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih terombang-ambing, lihat juga matanya yang belum sepenuhnya terbuka.

Bangun pagi memang selalu menjadi rutinitas menyebalkan untuk Agni, mengingat jadwal tidurnya yang tidak teratur, semalam saja Agni baru bisa memejamkan mata pukul 3 pagi, jadi kalau dipaksa bangun sepagi ini sudah tentu akan sulit. Merasa masih mengantuk berat Agni berniat menjatuhkan dirinya lagi, bergelung dalam selimut dicuaca musim dingin seperti ini sungguh sangat menggoda iman, belum juga meneruskan niatnya—bunyi nyaring panggilan masuk menghentingkan semuanya, dengan sangat terpaksa Agni mengangkat panggilan telepon itu.

"Ha--lo." sapanya serak.

"Halo Agni, nak kamu baru bangun ?" suara bundanya yang jelas menyapa gendang telinganya langsung membuat Agni tersadar 100persen. Bisa panjang urusannya kalau sang bunda tau kalau anak gadisnya baru bangun jam segini.

"Eh enggak kok bunda, ni udah siap-siap mau kampus."bantahnya cepat

"Syukurlah kalau gitu, kakak, bunda cuma mau sampein kalau weekend besok bunda sama ayah gak jadi ke Bandung."

"Kenapa bun ?" tananya lirih serupa bisikan pelan.

"Adikmu ada pertandingan disekolahnya, jadi bunda sama ayah harus ke sekolah buat kasih support, sebenarnya kita mau kamu kesini juga kalau kamu bisa ? Gimana nak ?" penjelasan sang bunda terang saja membuat Agni kecewa, selalu seperti itu, sampai kapanpun dirinya tidak akan pernah menjadi prioritas.

"Tapi udah satu bulan kan ayah sama bunda gak jadi-jadi jengukin aku di Bandung." katanya kecewa.

"Maaf ya sayang, kita bakal usahain minggu depan, jadi gimana kamu mau ikut nonton pertandingan adek kamu ?" bundanya selalu seperti itu sekarang beliau berjanji 2 hari kemudian beliau akan membawa kabar yang berbeda, Agni sudah terlalu sering diberikan janji-janji yang hanya berakhir dengan kebohongan semata.

"Maaf bunda Agni gak bisa, ada perkumpulan ukm." bohongnya—tentu saja dia menolak untuk hadir, untuk apa dia ada disana kalau keberadaannya tidak akan pernah dianggap oleh keluarganga sendiri. Dirinya akan selalu menjadi bayang-bayang sang adik di mata keluarganya sendiri.

"Ah ukm foto itu ya, ya sudah kalau begitu. Kamu tau kan sayang lebih baik kamu fokus sama kuliah kamu daripada kegiatan tidak penting seperti itu. Padahal bunda senang waktu kamu keluar dari SS dulu dan fokus sama sekolah mu."Agni sudah akan mendebat, sebelum bundanya melanjutkan biacarnya,"yaudah, kamu jangan lupa sarapan ya nak, terus jangan sering-sering begadang gak baik buat kesehatan. Bunda tutup teleponnya. Walau bunda berharap kamu merenungi kata-kata bunda barusan. " tanpa menjawab—Agni memutus lebih dulu sambungan telepon itu, moodnya hancur bahkan disaat dia belum memulai harinya, harusnya dia abaikan saja panggilan telpon itu kalau tau pembicaraannya lagi-lagi tentang janji yang ingkar atau bujukan untuk meninggalkan hobinya. Namun dia masih tau diri—belum ingin dicap sebagai anak durhaka yang mengabaikan panggilan telepon orang tuanya. Dia juga ingat, dia adalah seorang anak, yang punya kewajiban untuk menghormati kedua orang tuanya, semoga saja akal sehatnya akan bertahan seiring kekecewaannya yang akan terus bertambah.

Tapi sampai kapan Agni hidup dalam bayang adiknya. Sampai kapan Agni harus jadi manusia nomer dua di hadapan orang tuanya, apakah dia terlalu mengecewakan untuk ukuran seorang anak. Agni jelas tak paham.