Chereads / BUCKET LIST / Chapter 7 - Bab 6 Reason

Chapter 7 - Bab 6 Reason

Sudah tiga hari berlalu sejak perbincangan Agni dan Alka di telepon tempo hari, sejak saat itu pula suasana diantara keduanya terlihat tidak hangat, tak saling melemparkan canda tawa, bahkan berbicara hanya seperlunya. Tentu saja hal ini menarik perhatian Fey dan Tia yang seperti orang bodoh—tidak tahu apa-apa—walau tau ada yang salah dari kedua sahabatnya ini.

Seperti saat ini, mereka berempat tengah menikmati makan siang di kantin, dalam kesunyuian, kalau biasanya Agni tidak akan betah dengan suasana seperti ini, mau itu sedang makan sekalipun, bocah itu seakan mau bisa mati kalau tidak membuka mulutnya, jadi memang ada yang salah sudah tentu ? Walau Fey dan Tia tak itu apa.

Muak menunggu mereka berdua menjelaskan, Fey yang sudah jengah dengan suasana ini akhirnya angkat bicara.

"Jadi lo berdua kenapa ?Jangan bilang gak kenapa-kenapa atau gak ada apa-apa, karena gue tau pasti ada apa-apa..!!" ucapnya lalu menunjuk Alka dan Agni secara bergantian.

"Gak ada apa-apa Fey beneran." Alka lebih dulu membuka suara, setelah sebelumnya saling bertukar padang dengan Agni terlebih dahulu.

"Liar" sahut Tia kemudian, Tia belumlah sebodoh itu untuk terperdaya oleh akting murahan Agni dan Alka. Terutama Agni sahabat kentalnya sejak dulu. Jelas Fey dan Tia hapal gerak-gerik Agni di luar kepala.

"Lo bedua kalo emang masih anggap kuta cuubut cerita sok sekarang, gue gak suka ni lo bedua main rahasia-rahasian gini." kata Fey lagi tanpa mengalihkan pandangannya pada kedua temannya yang kebutulan Agni memang duduk sejajar dengan Alka, sedang Fey duduk di samping Tia.

Agni yang sedari tadi hanya diam dan masih menikmati makan siangnya menoleh sekilas ke iris mata Fey yang masih menatapnya tajam, seolah-olah bola mata itu mampu mengeluarkan laser yang siap ditembakkan kepadanya, sedikit kikuk Agni berdehem sekilas, lalu melihat Fey lagi yang kali ini menaikan alisnya, seakan menuntut jawaban.

"Ni minum dulu, lo gak capek apa dari tadi teriak-teriak," itulah kalimat pertana yang dikeluarkan Agni setalah sebelumnya berusaha cuek, sambil memberikan segelas mint tea miliknya ke hadapan Fey, walau dia antara ikhlas dan tidak ikhlas sebenanrnya. Fey seakan mendapat durian runtuh, tentu saja dirinya sangat amat mau menimum minuman favorit Agni, kapan lagi bocah ini mau bagi minuman kesukaanya, Agni yang berbagi mint tea adalah sebuah keadaan yang tak pernah terpikir akan terjadi dalam hidupnya.

Agni menghela napas sesaat, ternyata memang sulit menyembunyikan apapun dari Fey dan Tia, kadang dia berharap sahabat-sahabatnya itu untuk tidak peka terhadap hal-hal seperti ini. Karena terkadang kepekaan keduanya menjadi boomerang untuk Agni.

"Gue ketemu Jen kemaren" kalimat singkat itu kontan membuat Fey dan Tia tergelak sesaat, sedang Alka hanya diam memperhatikan, sepertinya Agni akan jujur dan bercerita, begitu pikirnya.

"Rajendra maksud lo?" Tia bertanya pelan—memastikan, Agni masih menyesap minumannya, sebelum akhirnya menggaguk santai, dia sudah memprediksi sebenarnya kalau kedua temannya akan berekasi seperti ini kalau dia bercerita.

Fey kemudian bangkit dari duduknya, berkacak pinggang, terlihat emosi yang ketara dari wajahnya, giginya bergemeletuk, bahkan tangannya mengepal keras bukti usahanya menahan emosi yang semakin liar,

"Mau ngapain lagi tu cowok ?" tanyanya marah.

Tia yang melihat Agni mengehela napas panjang, merasa prihatin pada sohibnya ini, tak bisa membantu banyak, paling tidak dia harus membantu menenangkan satu macan ngamuk di meja ini, walau jujur saja Tia juga mati-matian menjaga dirinya agar tetap waras.

"Fey, duduk !! gak malu lo diliatin orang sekantin ?" Tia berusaha membujuk Fey untuk kembali duduk dengan nenarik-narik tangannya gak santai, karena Fey yang terlihat ngotot dan wajahnya yang masih mengobarkan emosi marah tak terbendung.

"Dia mau ngomong—" Agni masih menyendokkan kuah sotonya yang sudah tinggal beberapa suapan lagi, berusaha menjaga suaranya sesantai mungkin. Demi apapun sesungguhnya dirinya sudah takut untuk balik menatap wajah Fey yang saat ini terlihat mengerikan.

"—mmm...ya gitu, mo ngomong" lanjutnya sambil menguyah makanannya. Melihat Agni yang santai menanggapi tentang Jen jelas membuat Fey jengah, kenapa sahabatnya bisa sesantai ini, jika yang mereka bicarakan ini Rajendra the fucking bastard harusnya Agni tidak sesantai ini. Rajendra adalah alasan Fey dan Tia melihat Agni menangis berbulan-bulan. Rajendra adalah alasan Agni tak pernah lagi seceria dulu, walau sahabatnya ini pandai untuk membuat senyum palsu di hadapan setiap orang, Rajendra juga alasa Agni ngotot ingin kuliah di Bandung demi menjauh dari laki-laki sialan itu. Bahkan Agni pernah beberapa terapis untuk mentalnya karena patah hatinya untuk Rajendra bersamaan dengan patah hatinya terhadap orang tuanya sendiri.

Fey yang masih tak terima kembali menyuarakan tanyanya. "Kok lo bisa santai banget si Ag ? Lo gak lupa kan apa yang udah that fucking bastard lakuin ke elo ?" tanya Fey setelah duduk kembali dibangkunya.

Lagi-lagi Agni hanya bisa mendesah lelah, dia tau—bahkan lebih dari tau bagaimana sakit yang disebabkan oleh laki-laki itu padanya, lebih dari siapapun tentu Agni lah yang paling hancur, namun dia harus seperti apa ketika usahanya untuk menjauh, bahkan sampai harus kuliah di tempat yang jelas di tentang kedua orang tua nya —Rajendra justru muncul tanpa aba-aba, tanpa peringatan. "Gue gak akan lupa Fey, gak akan pernah kecuali tiba-tiba gue ketiban meteor jatuh terus amnesia."jawabnya masih santai.

Fey yang sudah bisa mengontrol emosi ya, akhirnya duduk kembali walau masih dengan paksa Tia, "Awas aja kalo lo balik tiba-tiba bucin lagi, gak perlu nunggu meteor jatuh, gue yang lempar pala lo pake granat biar lo amnesia." ancaman Fey jelas bukan main-main. Bagi Fey menyakiti sahabatnya berarti itu menyakitinya. Seperti halnya Lavinka yang di labraknya sampai bercucuran air mata dulu, maka Jen akan mendapatkan setidaknya 10 goresan luka, kalau berani membuat Agni kembali rapuh seperti dulu.

Agni berusaha mendinginkan keadaan dengan melempar candaan pada Fey yang sudah tidak setegang tadi, "Itu artinya lo mau bunuh gue ya nenek lampir, gue tau ko sadis dan berbisa, tapi gue gak nyangka lo sesadis ini bestie."sungut Agni lalu menoyor kepala Fey pelan. Fey hanya mendelik marah namun tidak menjawab candaan tidak bermutu Agni.

"Oke terus kalo lo ketemu Jen, apa hubungannya ma Alka, ni yang kita tanyain dari tadi itu kenapa lo bedua diem-dieman, jadi gue gak paham korelasi lo ketemj Jen sama diem-diemannya lo ma Alka." Tia akhirnya angkat bicara, setelah menjadi penonton sejak tadi.

Agni yang lagi-lagi di desak karena terlihat canggung dengan Alka, berusaha memutar otak cepat untuk menghilangkan kekhawatiran sahabat-sahabatnya ajaib ya, "Gue gak diem-dieman kampret ma Alka, gue lagi gak mood aja setelah ketemu Jen, terus Alka kan emang anaknya diem gimana sih lo." sungut Agni kesal, paslnya sedari tadi dia merasa selalu dipojokkan oleh duo kucrut ini.

Mendengar itu Fey dan Tia jujur saja agaknya kuranh percaya dan jelas masih menyimpan keraguan juga, pasalnya Agni hanya terlihat canggung beberapa hari belakangan ini dengan Alka, bukan dengan dirinya maupun Fey. Namun pada akhirnya mereka memilih untuk menyerah dan membiarkan Agni lolos, memaksa Agni udah berkata yang sesungguhnya sudah sering mereka lakukan, tapi presentasi kegagalannya juga selalu tinggi. Temannya ini sangat pandai bersilat lidah demi menutupi apa yang dirasakannya atau apa yang di alaminya.

"Ah masuk akal si" ucap Tia pada akhirnya, sedang Fey hanya mengangguk meng-iyakan.

Melihat tatapan Fey yang masih intens padanya, jujur saja Agni merasa merinding.

"Apaan si Fey..? Lama-lama naksir lo sama gue ?" lontar Agni santai dengen kerlingan nakal nan menggoda, Fey yang dikerjai begitu hanya mengernyit jijik, lalu pura-pura akan muntah setelahnya. Benar-benar jokes yang menggelikan.

"NAJIS" balasnya kemudian. Pada akhirnya Agni berhasil lolos dari sidang dadakan di tengah-tengah jam makan siang mereka.

****

Siang itu Agni memutuskan untuk mengajak Alka biacara secara langsung, dia sadar hubungan mereka yang renggang juga tidak baik untuk circle pertemanan mereka, toh sebenarnya dia juga bukannya marah atau apa dengan Alka, hanya saja malam itu pertama kalinya sejak mereka saling mengenal, mereka terlibat perdebatan sengit.

Setelah mengirimkan chat via whatsapp yang langsung disetujui oleh Alka, Agni bergegas menuju taman kampus fakultas teknik, sengaja memilih tempat yang cukup jauh dari fakultasnnya untuk meminimalisir kemungkinan kepergok oleh Fey dan Tia, pasalnya dia sudah memilih untuk tidak jujur tadi, bisa repot urusannya kalau mereka ketahuan memang sedang terlibat slek, akan ada klarifikasi babak ke dua pastinya. Itu juga yang membuat Agni dan Alka pergi diam-diam secara terpisah, berbohong dengan alibi Alka akan ke perpustakaan kampus, sedang Agni harus pulang duluan karena perutnya sakit tak tertahan, untung keduanya percaya dan tidak membuntuti salah satunya atau bahkan menggelar sidang untuk kedua kalinya.

Asyik memainkan telepon genggamnya Agni tidak sadar kalau sejak tadi ada seseorang yang memerhatikannya dari kejauhan, perlahan sosok itu mencoba mendekat, lalu duduk disampingnya—saat itulah Agni menoleh, obsidiannya membesar, memandang kaget hazel yang tepat ada dihadapannya. Sesaat Agni seperti lupa bagaimana bernapas—bagaimana caranya berbicara.

"WHAT THE FXXX, Lo ngapain ada disini ?" pekiknya setelah menemukan suaranya kembali. Menggeser posisi duduknya, mencoba menjauh sejauh mungkin—yang tak kunjung berhasil karena lengannya dengan jelas ditahan oleh pemilik manik hazel itu. Agni sudah meronta seperti apa yang dia pelajari dari film-film yang dia tonton, namun tampaknya laki-laki ini juga mempraktekkan bagaimana aktor laki-laki yang mampu menahan lengan pasangannya untuk tidak kabur. Tapi tunggu Agni jelas bukan pasangan orang ini, lalu mengapa harus digenggam seeerat ini. Berani lengannya pasti sudah merah.

"Brengsek ya lo, lepas gak ?" masih mencoba melepaskan cengkraman sang pria sekuat tenaga tapi tidak berhasil karena laki-laki tampan nan brengsek ini juga menahannya sekuat tenaga.

"Gue gak nyangka perubahan lo bener-bener besar banget ya Ag, udah pinter ngomong kasar. Udah pintar ngumpat kamu? " balas Jen santai dan sarkastik, masih betah menatap Agni yang jelas menatapnya penuh benci.

Agni yang merasa disindir—berdecih keras, "Gue gak butuh penilaian lo." jawabnya dingin.

Sungguh Agni yang terlihat dalam pandangan Jen saat ini, berbeda 180 derajat dengan Agni yang selama ini ia kenal, Agni menjadi sangat tak tersentuh.

Jen hanya bisa memandang sedih, dialah sumber utama yang membuat gadis ceria disampingnya ini berubah. Tak ada lagi Agni yang selalu tampak bercahaya ketika ada didekatnya.

Telihat jelas bahwa Agni membenci keberadaannya, rasanya bahkan perempuan itu enggan walau hanya berbagi oksigen ditempat yang sama dengab Jen.

Jen mengehela napas panjang, berusaha menurunkan egonya adalah apa yang harus ia lakukan saat ini. "Lo benci gue banget ya Ag ?" pertanyaan retoris itu akhirnya keluar dari mulut Jen, walau sudah bisa menebak apa jawabannya namun Jen ingin meyakinkan dirinya sekali lagi—lewat mulut Agni sendiri, Jen ingin mengetahui kebenarannya walau itu artinya dia menyakiti dirinya sendiri.

Agni masih betah bungkam, untuk apa juga dia menjawab pertanyaan yang Jen lontarkan, yang Agni inginkan hanya satu, lari dari Jen sejauh-jauhnya. Lagi pula kata benci tak bisa mewakili bagaimana perasaan Agni untuk Jen, jujur saja apa yang Agni rasakan untuk lelaki ini lebih rumit dibandingkan rumus fisika atau matematika yang pernah dipelajarinya dulu.

"Jawab Ag..Lo 'BENCI' gue ?" tekannya sekali lagi, sambil mengeratkan genggamannya di lengan Agni, mununtut jawaban pasti untuk dirinya. Tak sadarkah Jen, Agni sudah meringis tak nyaman atas lengannya yang menjadi korban sedari awal.

Agni menoleh, sebelum kemudian tertawa kering, memberi tatapan remeh pada Jen—benci katanya ?Agni lebih dari hanya sekedar benci pada Jen. Sudah Agni katakan bahwa itu rumit, sayangnya Agni malas repot-repot menjelaskan pada lelaki ini.

"Kenapa ? inikan yang lo mau ?" jawaban itu kontan membuat Jen melotot, apa maksudnya dengan menyebut bahwa itu keinginannya ?

"Lo selalu bilang kalo gue parasit, benalu, cewek yang gak punya harga diri karena terus ngejar-ngejar lo yang jelas-jelas gak punya rasa sama gue, itukan yang lo rasain ? Kenapa sekarang lo kayak kebakaran jenggot setelah gue nurutin permintaan lo dengan ngejauh ? mau lo apa sih Gevariel Rajendra Wilson ?"

Laki-laki pemilik mata hazel, dengan darah Indonesia campuran Inggris itu tersentak ditempatnya, terlalu banyak kejutan yang dia alami hari ini kebencian Agni bersama dengan alasanya yang terungkap barusan. Jujur apa yang Agni katakan adalah kebenaran, setidaknya begitulah yang selalu Jen ungkapkapan pada sohib-sohibnya semasa SMA—setelah mengetahui perasaan Agni padanya, Jen menjadi semakin arogan, congkak, dan tak pernah lagi ada untuk Agni sebagai sahabat seperti kedekatan mereka dulu, Jen berubah jauh menjadi sosok yang tidak lagi Agni kenal, seakan dia membenci keberadaan Agni disekitarnya, setidaknya itu yang Agni pahami.

"Ke-kenapa lo bisa—"

"Bisa apa bisa tau apa yang lo omongin dibelakang gue ?! Oh tentu aja Jen, gue bisa tau karena gue punya telinga yang masih cukup baik buat denger omongan busuk lo tentang gue! "potong Agni cepat, masih menampilkan smirknya. Jen yang membantu membuat Agni merasa menang, seharusnya dari dulu saja Agni berlaku begini, biar lelaki itu jadi sadar diri dan tidak lagi mengusik hidupnya sejenak jidat.

Entah mendapatkan kekuatan dari mana Agni mampu melepaskan cengkraman tangan Jen dilengannya, oh ataukah kekuatan Jen melemah setelah mendengar cerita Agni barusan ?

Agni berdiri, berkacak pinggang menatap remeh orang dihadapannya yang tiba-tiba menjadi bisu, ntah hilang kemana kepercayaan diri orang ini.

"Jen gue emang suka sama lo, dan jujur sebagai orang yang suka sama lo gue gak munafik kalau gue juga pengen lo bales perasaan gue..Tapi diluar perasaan romansa gue ke elo, gue masih anngap lo sahabat Jen, walaupun dengan brengseknya lo jadian sama orang yang gue anggap sahabat, gue gak masalah, gue tetep support lo dan dia." Agni terdiam sesaat, meneliti ekspresi apa yang ditampilkan pria dihadapannya ini—sepertinya dia sudah membuat anak orang menjadi bisu mendadak, berarti Jen masih seorang manusia belum benar-benar berubah menjadi iblis karena tak lagi banyak protes seperti yang sudah-sudah.

"Tapi apa sadar, yang lo lakuim setelah lo tau perasaan gue, lo dengan brengkseknya jadiin perasaan gue sebagai bahan lawak lo dengan temen-temen lo !! Lo anggap gue menjijikan !! dan lo sebut gue apa ? BENALU ? brengsek lo Jen !!"

Jen ikut berdiri setelahnya, mengumpulkan keberanian untuk balik menatap Agni yang sudah diselimuti emosi yang mungkin sudah sejak lama dipendamnya sendirian. Jen tersenyum samar. Mengingat kembali tingakahnya yang serupa bajingan dimasa lalu, kalau dipikir kembali kenapa dulu Jen ngotot balik membenci Agni setelah tau Agni memiliki perasaan padanya ? Jen tidak ingat, Jen lupa akan alasnnya sendiri, atau sejak awal memang dia tidak memiliki alasan pasti ? Jen hanya terlalu kaget namun justru melampiaskannya dengan cara paling hina, menjadi satu-satunya penyesalan yang pernah dirasakannya.

"I am sorry Ag, Gue tau, gue serupa bajingan banget di mata lo saat ini. Gue gak akan komplain tentang apapun, tapi gue bener minta maaf Ag, sorry.. Really.."

Agni berusaha mengeraskan hatinya, kalau biasanya dia luluh dengan ekspresi nelangda Jen, kali ini tidak lagi. Mengabaikan gemuruh hatinya yang tak pernah bisa santai kalau bediri berdekatan dengan Jen.

"Lo tau, it's too late to apologize, jadi untuk permintamaafan basi lo itu, gue gak bisa terima." kata-kata Agni membuat Jen melemas di tempatnya, tak lagi berusaha mencegah Agni yang pergi menjauh. Jen hanya bisa mengela napas menatap punggung kecil itu semakin menjauh.

Agni yang juga dalam kondisi hati tidak baik-baik saja, bahkan melupakan janji temunya dengan Alka.

****

Alka sudah ada disana sejak tadi, tak lama setelah Agni sampai ditempat janji temu mereka, sayang ketika sudah melihat sosok Agni dari kejauhan dan berniat menghampiri, Alka melihat sosok Jen mendekat ke arah sahabatnya itu. Alka bimbang dia takut Agni tak mampu mengontrol dirinya didepan laki-laki itu, tapi disisi lain Alka ingin mereka berdua biacara, baru meneguhkan hatinya untuk tetap mengahampiri sang sahabat, seseorang berdiri di hadapan Alka, menghentikan pergerakannya, juga dunianya untuk sesaat.

"Biarin mereka Al, mereka butuh bicara satu sama lain." ucapan orang itu membangunkan Alka pada realita, saat tersadar siapa sosok yang berdiri dihadapannya, Alka dengan gerakan cepat, memutar tubuhnya—bermaksud pergi dari sana tak tak terlibat percakapan dengan sosok itu, namun baru berapa langkah di memutar lagi-lagi langkahnya terhentikan oleh kata demi kata yang orang itu rangkai.

"Kamu tau Al ? Ketika aku bilang mereka butuh bicara, itu berlaku sama dengan kita. Kita Al juga butuh, don't you think the same think with me ?"

Alka masih betah berdiam di tempatnya, memunggungi sosok itu—Hara—salah satu sumber pertengkarannya dengan Agni.

Hara mengehela napas berat, berbicara apa lagi yang diinginkan laki-laki ini. "Kamu mau bicara apa lagi Hara ?" mendengar Alka akhirnya membuka suara untuknya setelah sekian bulan gadis itu kekeh dengan kebisuannya, hati Hara mendadak hangat, rindu yang dirasakannya kian meluap, rasa ingin merengkuh sosok itu dalam peluk, namun rasa sadar bahwa dia sudah tidak berhak. Dia yang melepas justru dia yang hidup dalam kubang penyesalan. Sejujurnya walau Alka yang memutuskan hubungan mereka, Hara lah yang memiliki peran besar dalam berakhirnya hubungan keduanya.

"Aku rindu Al. Rindu sekali sampai rasanya begitu menyakitkan.."ujaran lirih Hara, meruntuhkan segala emosi terpendam Alka, air matanya meluruh berlomba keluar membasahi kedua pipinya. Alka tau, Hara bukan tipe lagi-lagi brengsek yang suka mengumbar kata-kata manis.

Alka selalu tau ketika Hara jujur, sejak dulu Alka selalu tau, itulah yang membuatnya terdengar semakin menyakitkan. Karena rindu itu tak hanya milik Hara sendiri, Alka juga merasakannya—sama besarnya—sama menyakitkannya.

Mendegar isakan kecil Alka, Hara memberanikan diri melangkah mendekat, sebelum perkataan Alka seolah bilah tajam pisau menghentikan langkah yang baru saja ia ambil.

"Maaf tapi aku sudah tidak peduli dengan rindu mu Hara, 'kita' hanyalah bagian dari memori untukku sekarang, kamu bukan lagi realita yang ingin aku hadapi setiap hari seperti dulu." Alka berujar sangat dingin disela isak tangisnya. Ketika membalikkan tubuhnya, dan kini keduanya berdiri berhadapan, Hara dapat melihat ada guratan marah dan kecewa yang berpendar di bola mata gadis itu.

Mendengar jawaban Alka, Hara menggeleng ribut, mencoba mengelak, tak akan pernah bisa setuju dengan kalimat menyakitkan dari gadis itu,

"Kamu tau kan aku gak pernah setuju dengan perpisahan sepihak dari kamu ? Gak pernah Alka..!" seru Hara tak tertahan, sejak mereka berpisah, Hara selalu mencari cara untuk kembali pada gadis itu,namun seperti rumah yang enggan membukakan pintu bagi tamu asing, Alka bersikap demikian—menganggap Hara asing dan tak lagi memberi kesempatan.

Alka manatap Hara dengan wajah yang sudah sangat basah, membiarkan Hara melihat rapuhnya, lukanya, pedihnya. Bukan hanya Hara yang merasakan sakit, Alka bahkan sudah tersakiti sebelum mereka berpisah, tersakiti dengan sikap Hara yang seolah menganggapnya ada dan tiada.

"Kamu tau Hara ? ketika seseorang ingin menjalin hubungan, tentu membutuh persetujuan kedua belah pihak untuk membuat sebuah komitmen, berbeda ketika seseorang ingin mengakhiri suatu hubungan, mereka hanya butuh satu, satu saja dari keduanya yang tidak ingin lagi bertahan." jawaban itu telak menampar Hara, air lelaki ikut luruh tanpa dikomanda, besamaan dengan itu l, air mata Alka yang juga kembali berjatuhan. Meski perpisahaan keduanya sudah berberapa bulan yang lalu, rasanya sakit itu masih membekas hingga saat ini, seakan luka itu selalu basah, dan basah lagi—tak pernah tau kapan akan mengering. Atau tak akan pernah bisa mengering.

" Ja-jadi Hara ketika sesuatu yang kamu coba pertahankan itu enggan bertahan, tolong kamu lepas ya, karena itu gak cuma menyakitkan untuk kamu, tapi juga untuk aku." setelahnya Alka beranjak, meninggalkan Hara yang sudah tertunduk, isakannya menjadi semakin pilu—Hara meremat dadanya yang terasa sangat sesak, tau bahwa belahan jiwanya—sosok rumah yang teramat sangat dia cintai sudah sangat jauh, jauh dari pandangannya, jauh untuk sekedar menjadi tempat berteduh.

Alka berlari sekencang mungkin, menjauh dari tempatnya dan Hara mengorek masalah hati mereka, setelahnya dia ambruk menjatuhkan dirinya pada sebatang pohon untuk menyadar segala rapuh dalam dirinya, menangis pilu, menyesali bahwa kenapa harus sesakit ini untuk melepaslan, disaat dia juga tak cukup punya kekuatan untuk mempertahankan.