Chereads / The Promise : Cursed of Astaroth Mansion / Chapter 2 - Bab 2 : Astaroth's past.

Chapter 2 - Bab 2 : Astaroth's past.

Zen mematikan alarm yang sudah berbunyi selama 2 menit. Zen mengucak matanya kemudian menatap jendela apartmentnya yang sudah ditembus oleh sinar Mentari pagi. Hari ini adalah hari Minggu, namun Zen mempunya janji dengan Fudo untuk bermain bersama. Zen juga tidak lupa janjinya dengan Myra nanti malam. Sejujurnya Zen sangat penasaran dengan dunia yang Myra maksud, namun lelaki itu harus bersabar sampai malam tiba.

Lupakan tentang Myra, saat ini Zen tengah memilih pakaian yang akan ia kenakan. Sebenarnya Zen sangat cocok memakai apa pun, dianya saja yang pilih-pilih.

Zen bercermin seraya merapihkan kemejanya. Zen pikir ini baju yang terlalu formal jika hanya untuk sekedar bermain dengan Fudo. Tapi itu bukan masalah, Zen suka style ini.

Tatapam Zen beralih ke arah sebuah pigura kayu. Mungkin ini terdengar konyol, tapi Zen percaya apa yang dikatakan Myra adalah kebenaran.

Zen merasakan getaran kecil di saku celananya. Pasti Fudo yang sudah meneleponnya. Lelaki itu sangat tidak suka dengan orang yang datang terlambat. Pasti Fudo akan memarahinya nanti. Ya, Zen juga tidak peduli. Lelaki itu tidak mengangkat teleponnya dan langsung bergegas menuju kediaman Fudo setelah sebelumnya mengunci apartmentnya.

Sesampainya di sana, Zen melihat Fudo yang sedang menyirami tanaman rumahnya dengan Ability yang ia miliki. Zen selalu bertanya-tanya mengapa Ability milik orang lain berbeda dengan Ability miliknya yang sama sekali tidak berguna. Zen pikir tuhan pilih kasih padanya.

Fudo yang tersadar akan kedatangan Zen langsung menghampiri lelaki itu dan menyemprotkan air ke arah wajah Zen.

"Lama sekali. Bahkan kau tidak mengangkat teleponku," omel Fudo.

Zen lebih memilih mengabaikan itu dan berjalan memasuki rumah besar milik Fudo.

"Jadi, hari ini kita ngapain?" tanya Zen seraya mendaratkan bokongnya di sofa milik Fudo.

Fudo menatap atap-atap rumahnya. Sejujurnya ia juga tidak tahu mau melakukan apa dengan Zen, Fudo hanya iseng saja menyuruh Zen main kerumahnya. Lagi pula Zen tidak punya teman selain dirinya, sudah pasti Zen akan setuju.

Fudo tersadar dengan sesuatu kemudian menatap Zen.

"Zen, apa kau sudah mengunjungi rumah lamamu?" Zen terdiam sejenak kemudian mengangguk kecil.

"Tidak ada yang aneh. Kau hanya termakan berita yang tidak benar." Fudo menyandarkan tubuhnya.

"Sial, kupikir itu benar. Jika benar pasti aku akan langsung ke sana. Aku sangat penasaran dengan sesosok yang banyak dibicarakan orang-orang," lanjut Fudo.

Zen manatap Fudo yang tampaknya sangat kecewa dengan apa yang ia katakan. Zen tidak bisa bilang apa yang sebenarnya ia temui di rumah lamanya. Zen harus merahasiakannya karena ia tidak ingin temannya terlibat masalah.

"Zen, aku tahu aku terlalu sering menanyakan ini. Tapi kita teman. Ayolah, beritahu aku tentang Ability milikmu." Zen menaikkan kedua alisnya kemudian tersenyum miring.

"Tidak penting. Bukan sesuatu yang berguna juga," balas Zen acuh.

Fudo menghela napasnya. Setiap ia memberikan pertanyaan mengenai Ability milik Zen, jawaban Zen terus seperti itu dan tidak pernah berubah. Seolah Ability miliknya benar-benar tidak memiliki kegunaan apapun.

"Aku yakin Ability milikmu bahkan lebih berguna dari pada milikku. Entahlah tapi aku merasa seperti itu," lanjut Zen.

Fudo mengeluarkan percikan air dari jemarinya. Fudo masih tidak yakin dengan apa yang Zen katakan, suatu saat pasti Fudo akan mengetahui Ability yang dimiliki oleh Zen. Entah kapan.

"Bagaimana hubunganmu dengan Rai?"

"Pertanyaan bodoh. Aku tidak memiliki hubungan spesial dengan Rai." Fudo merangkul Zen kemudian meledek lelaki itu terus menerus. Karena menurut Fudo, mereka berdua terlihat sangat serasi.

Fudo dan Zen menghabiskan banyak waktu. Mereka hanya mengobrol dan bercanda namun waktu terasa berjalan sangat cepat. Zen tidak begitu menyesal memiliki teman hanya satu. Fudo sudah cukup untuk menghiburnya. Ia bersyukur, setidaknya tuhan masih memberikan kesenangan padanya.

°°°

Zen membuka pintu kayu yang sudah agak lapuk setelah memastikan tidak ada satupun orang yang melihatnya. Bisa-bisa Zen dicurigai.

Myra tersenyum miring menatap kedatangan Zen yang tepat waktu. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.

"Hari ini kau datang lumayan cepat." Zen hanya terdiam.

Meskipun Myra adalah iblis, perempuan itu tidak terlihat menakutkan sama sekali. Berbeda dengan iblis yang ada dalam imajinasi Zen. Gagah dan perkasa. Hanya saja mereka sama-sama memiliki tanduk merah darah.

"Jika kau sudah siap ikuti aku." Zen mengikuti langkah Myra. Perempuan itu memasuki sebuah ruangan.

Sungguh warna merah yang sangat memanjakan mata. Itulah kesan Zen saat pertama kali memasuki ruangan yang sepertinya akan membawanya ke dunia yang berbeda.

Zen terdiam ketika melihat Myra mengulurkan kedua tangannya. Perempuan itu seperti sedang mengalirkan suatu energi ke sebuah wadah. Perlahan warna mata Myra berubah menjadi merah menyala. Sebuah gerbang pun terbuka di hadapan keduanya. Ini benar-benar seperti mimpi bagi Zen. Dunia lain yang ia anggap hanyalah khayalan ternyata benar-benar ada.

"Masuklah lebih dulu. Aku akan menyusul." Zen hanya menuruti perkataan Myra san melangkahkan kakinya melewati gerbang besar itu.

Zen merasakan aura yang sangat berbeda dari dunianya. Aura mencekam apa ini? Baru pertama kali Zen merasakan yang seperti ini. Sudah seperti di film-film yang ia tonton saja.

Zen memutar pandangannya. Pegunungan merah lebih banyak terlihat di sini. Terlalu banyak warna merah membuahkan kesan yang panas, namun Zen tidak merasakan panas sama sekali.

Setelah melihat Myra yang sudah ada di belakangnya, Zen menghela napasnya. Ini lebih baik dari pada saat sendiri. Wajah Myra terlihat sangat berseri, sepertinya perempuan itu benar-benar merindukan dunia asalnya.

"Sudah berapa lama kau tidak kembali ke duniamu?" Myra menatap Zen.

"Entahlah. Yang jelas sudah sangat lama," balas Myra.

"Bagaimana jika kita berkeliling dulu? Aku sangat merindukan beberapa tempat di sini," lanjutnya. Zen mengangguk setuju.

Mereka berjalan sambil Zen yang terus memutar pandangannya. Sejujurnya tempat ini Indah namun terlihat sedikit gelap. Kalau dipikir-pikir Zen tidak mengetahui apapun tentang Myra di dunia ini dan apa yang membuatnya tidak pernah kembali ke sini lagi.

"Hei, Myra, apa aku boleh bertanya sesuatu?" Myra mengangguk kecil.

"Silahkan," balasnya.

"Apa yang membuatmu tidak pernah menginjakkan kaki di dunia ini lagi? Padahal kau terlihat sangat merindukan dunia ini." Myra menghentikan langkahnya kemudian tersenyum kecil.

"Itu karena aku melanggar sebuah peraturan di sini. Lucifer mengetahui semuanya dan mengasingkanku dari dunia ini, namun Lucifer tidak menghapus namaku dari daftar pilar karena Ability milikku yang memang spesial. Dunia ini juga memiliki peraturan yang tidak boleh dilanggar selayaknya duniamu. Namun saat itu aku masih terlalu muda dan tidak mengerti tentang peraturan. Aku hanya melakukan apa yang aku anggap benar. Seperti itu," jelas Myra panjang lebar.

"Peraturan apa yang kau langgar sampai Lucifer mengasingkanmu seperti itu?" Myra berusaha mengingat.

"Aku tidak cukup ingat. Namun sepertinya aku menolong seorang manusia kecil yang tersesat di dunia ini. Dunia ini juga bisa dibuka tanpa portal. Biasanya seseorang yang memiliki rasa benci dan dendam yang sangat besar bisa melihat portal menuju ke dunia ini. Aku tidak mengerti kenapa manusia kecil itu bisa ada di dunia ini. Itu sangat aneh. Lucifer melarang seluruh iblis untuk membantu manusia. Namun saat itu aku masih terlalu polos dan menolongnya. Aku diasingkan dari dunia ini dan terdampar di dunia manusia. Banyak dari mereka yang tidak bisa melihat wujudku. Namun suatu hari, aku menemukan sebuah rumah yang terlihat bercahaya. Itu adalah rumah milik keluargamu, Zen. Aku tahu alasan mengapa rumah itu bercahaya, hanya saja itu terlalu dini untuk disampaikan sekarang. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa kamu bisa melihat wujudku, kan? Itu karena saat kamu lahir, aku sudah menandaimu, Zen. Aku tertarik padamu karena suatu alasan. Kurasa sampai ini dulu sudah cukup. Itu cerita yang sangat panjang." Setelah mendengar cerita Myra, pertanyaan di kepala Zen justru semakin banyak.

Namun Zen menahan dirinya untuk bertanya lebih jauh karena baginya itu sudah cukup sekarang. Setidaknya Zen mengetahui sedikit tentang Myra dan masa lalunya.

"Ternyata Lucifer benar-benar nyata. Kukira itu hanyalah sekadar khayalan belaka," monolog Zen pada dirinya sendiri.

"Kau harus cepat beradaptasi, Zen. Kita akan sering masuk ke dunia ini mulai sekarang untuk mengumpulkan informasi. Kau cukup pakai Ability milikmu saat aku menyuruhmu."

"Aku harus memakai Abilityku?" tanya Zen balik.

"Cukup saat aku menyuruhmu. Ability milikmu sangat dibutuhkan di sini."

Ketika Myra mulai kembali melangkah, seseorang melesat dengan kecepatan penuh dari arah depan. Myra merasakan aura yang sangat mengerikan dari orang itu. Dia bukan pilar, jelas Myra tahu, namun mengapa auranya sangat menakutkan?

Perlahan kabut yang mengelilingi sosok itu mulai menghilang. Menampakkan seorang wanita dengan tombak dan sepasang tanduk kecilnya.

Zen menatap wanita itu dari atas sampai bawah. Zen tidak mungkin salah. wanita dengan surai sepunggunya, Ia kenal dengan wanita itu. Tatapan keduanya bertemu. Wanita itu terlihat sinis dan seakan-akan tidak mengenali Zen.

"Ri ... su?"

"Apa kau kenal dengan wanita itu?" Zen mengangguk kecil.

"Dia adalah teman sekelasku. Penampilannya terlihat sangat berbeda."

Risu mengarahkan ujung tombaknya ke arah Myra dan Zen. Wanita itu mengucap sebuah mantra yang sangat Myra tahu. Myra mendorong Zen menjauh.

"Menghindar!"

Sebuah cahaya keluar dari ujung tombak Risu setelah ia selesai membacakan sebuah mantra. Sayangnya Zen dan Myra berhasil menghindar dengan arah yang berbeda. Zen ke kiri, sementara Myra ke kanan.

Risu berdecih kemudian mengarahkan ujung tombaknya ke kiri, lebih tepatnya ke arah Zen.

"Matilah, Tanaka Zen." Cahaya itu kembali keluar, namun kali ini Myra berhasil melindungi Zen dengan Ability miliknya.

"Penghianat yang menyedihkan. Lagi-lagi kau membantu manusia seperti saat itu. Gelar Astaroth sangat tidak cocok untukmu. Tuan Lucifer akan sangat marah jika mengetahui semua ini."

"Aku tidak peduli dengan apa yang kamu ucapkan. Hadapi aku dan tunjukkan siapa sebenarnya kamu! Kamu memiliki aura yang sangat berbeda dengan iblis lainnya. Kamu bukan iblis biasa, namun kamu juga bukan Pilar. Siapa kamu sebenarnya?"

Risu menarik satu sudut bibirnya. Wanita itu tersenyum miring.