Chapter 7 - Bab 7 : Liar

Zen perlahan membuka kedua matanya, ia masih merasa tubuhnya lemas akibat kehabisan energi Ability. Zen menggerakkan tangannya menyentuh kepala yang masih terasa sedikit pusing.

"Zen? Sudah sadar?" Zen menoleh ke arah suara yang tak jauh darinya.

"Myra? ..." Zen terdiam sebentar mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Zen terkejut karena ia bersama Myra, bukankah Zen harusnya bersama Rai?

"Rai! Myra, di mana Rai? Apakah dia baik-baik saja?" tanya Zen. Myra menutup buku yang sedang ia baca kemudian mengangguk. "Dia baik-baik saja dan aku sudah menghapus ingatannya tentang Angelus Athena yang sempat menyerangnya," jawab Myra membuat Zen menghela napas lega.

Zen mengusap mata kanannya yang telah dibalut perban. Zen masih mengingat rasa sakit yang menyerangnya kemarin. Setelah sekian lama ia tidak menggunakan Abilitynya, akhirnya hati di mana ia harus menggunakannya lagi pun tiba.

"Mantra 'anti-ability' yang sebelumnya tertanam di tubuhmu sudah tidak ada karena Haru sudah lenyap. Kenapa kau memaksa menggunakan Abilitymu?! Aku tidak habis pikir jika kau berani melawan mantra yang ada di tubuhmu." Myra menggelengkan kepalanya. "Aku terpaksa. Aku tahu aku tidak bisa mengalahkannya hanya dengan Chronos. Jadi aku terpaksa menggunakan Abilityku dan mengambil risiko ini."

"Ngomong-ngomong, kau tidak berangkat ke sekolah? Kau sudah pingsan selama 3 hari, itu artinya kau sudah membolos selama 3 hari." Zen terkejut. "3 Hari?!!" Zen langsung bergegas menuju aprtmentnya untuk mengganti seragam dan langsung menuju sekolahnya. Myra yang melihat Zen buru-buru seperti itu hanya bisa tertawa kecil.

Myra senang pertarungan Zen dan Haru berakhir baik. Meskipun pertarungan dirinya dan Athena juga berakhir baik, tapi ia tidak mungkin bisa membunuh Athena, ada suatu perasaan yang menahannya untuk membunuh wanita itu. Myra terpaksa meninggalkan Athena dalam keadaannya yang sudah sekarat. Perasaan Myra saat ini bercampur aduk. Entahlah harus senang atau sedih.

°°°

Zen berlutut menumpu seluruh badannya, berusaha mengatur napasnya yang masih tersenggal. Lelaki itu kini berada tepat di depan pintu kelasnya. Setelah melalui hukuman yang sangat membuatnya sekarat, akhirnya Zen berhasil sampai pada posisinya saat ini.

Ini melelahkan, bahkan gurunya tidak peduli dengan perban yang menutupi mata kanannya dan tetap memberikan hukuman yang berat. Seharusnya sang guru tahu jika Zen sedang tidak dalam kondisi yang sehat, bukan?

Setelah ia berhasil menetralkan napasnya, lelaki itu sedikit membenarkan posisi dasinya yang miring kemudian melangkahkan kakinya memasuki kelas.

Seluruh netra teralihkan kepada pintu kelas yang terbuka, Zen masuk setelahnya. Zen menundukkan badannya kemudian lelaki itu meminta maaf kepada sang guru yang tengah mengajar.

Tidak mempermasalahkan hal itu, sang guru memberikan izin kepada Zen untuk mengikuti pembelajaran. Netranya sempat bertemu dengan milik Rai, tatapan perempuan itu seolah mengatakan kekhawatiran yang sangat besar. Zen tersenyum seraya mengatakan ia baik-baik saja.

"Zen!! Apa yang terjadi dengan matamu? Apa kau terluka?!" Rai menghampiri Zen tepat setelah sang guru meninggalkan kelas. Zen tersenyum kecil dan menggeleng.

"Aku hanya terkena radiasi dan dokter menyarankan untuk menutup ini sementara waktu. Itu bukan masalah besar, aku baik-baik saja, Rai," jawabnya berbohong. Benar, Zen harus berbohong. Entah berapa banyak kebohongan yang harus ia ciptakan untuk membuat Rai berpikir bahwa ia baik-baik saja.

Rai tersenyum lega, "Syukurlah ... aku pikir sesuatu yang buruk terjadi padamu." Zen hanya membalasnya dengan gelengan kecil.

Tiba-tiba saja pundaknya terasa berat seolah menopang suatu beban. "Berhenti melakukan itu sebelum aku menghentikan hidupmu." Fudo yang mendengar itu hanya terkekeh kecil, Zen hanya bergurau, Fudo tahu itu.

"Bagaimana rasanya membolos 3 hari? Aku bertaruh kau merasakan surga, bukan?" Zen melepaskan tangan Fudo pada pundaknya kemudian berdecak kecil, "Aku hanya sakit, bukan mati, bodoh!"

Rai yang melihat keduanya tertawa hanya bisa mengunggingkan senyum kecilnya, berharap moment yang ia saksikan ini tidak akan berlalu dengan cepat.

Sungguh pemikiran yang amat mengharukan.

°°°

Zen melangkahkan kakinya menuju kediaman Astaroth-Myra, rumahnya yang usang-ia menyadari harus membahas rencananya untuk jauh kedepan. Mengingat ancaman-ancaman yang telah dilewati, membuat Zen tersadar banyak ancaman yang lebih besar di depan menantinya.

"Oh, kau datang sangat cepat hari ini? Bahkan kau tidak mengganti seragammu, kau merindukanku?" Zen berdecih kecil. "Aku hanya merasa kita butuh banyak membahas rencana kedepannya. Kemenangan kali ini pasti hanyalah keberuntungan, aku harus menjadi lebih kuat!" tekadnya.

Myra menyuguhkan segelas minuman kemudian tersenyum kecil, "Lebih kuat ... ya?"

Myra mendaratksn bokongnya di hadapan Zen, menatap sang lelaki dengan lekat seolah ia akan membicarakan hal yang sangat serius. Zen menenggak ludahnya kasar seraya membalas tatapan iblis di depannya.

"Kenapa kau menyembunayikan Ability mu?" Zen mengalihkan tatapannya. "Tidak ada alasan khusus, aku hanya berpikir teman-temanku akan menjaga jarak denganku karena Ability yang tidak masuk akal ini." Myra mengangguk mengerti dengan alasan yang Zen berikan.

"Maka sembunyikanlah. Lindungi kehidupanmu," ucap Myra perempuan itu masih menatap seraya mengangkat satu sudut bibirnya, "Memang Ability yang sangat tidak masuk akal. Ah ... aku jadi mendambakannya." Zen menggedikkan seluruh badannya.

"Tolong jangan menatapku seperti itu, ... kau menakutkan." Setelahnya Myra tertawa dengan kata-kata yang Zen lontarkan.

"Jadi, apakah kau sudah memikirkan sesuatu?" tanya Zen membuat tawa Myra perlahan menghilang, digantikan dengan tatapan seriusnya lagi.

"Haru telah lenyap, artinya Athena hanya memiliki satu Angelus. Itu bukan masalah besar kita bisa menghadapinya. Itu bukan masalah utamanya, kita akan masuk ke pembahasan inti. Aku akan kembali ke dunia itu untuk bertemu Hades, aku akan pastikan Hades berada di kubu kita. Itu akan mempermudah rencana kita menemukan kedua orang tuamu." Zen mengernyitkan dahinya.

"Hades?" tanya Zen. "Hades, iblis penguasa dunia kematian. Seharusnya ia tahu sesuatu, kita benar-benar membutuhkan dia untuk menjakankan rencana dengan lancar," jawab Myra. Zen mengangguk mengerti.

"Kenapa kau bisa sangat yakin bisa menjadikannya berada di kubu kita? Bukankah semua iblis benci terhadap penghianat?" Myra membuang napasnya kasar.

"Itu benar, tapi Hades berbeda. Saat itu, semua Pilar iblis melalukan perdebatan untuk memutuskan hukuman penghianat. Namun Hades terdiam dan tidak melakukan apapun saat itu, Hades juga tidak menatapku rendah di saat iblis lain menatapku dengan penuh penghinaan," jelasnya.

"Kita akan kembali ke dunia itu?" Myra menggelengkan kepalanya. "Bukan kita, tapi aku." Zen membulatkan kedua matanya terkejut. Myra akan pergi sendiri? Ke dunia yang mencekam itu? Zen menggelengkan kepalanya mantap.

"Tidak! Kenapa kamu harus pergi sendirian? Dunia itu sangat menyeramkan, dunia itu yang menyudutkanmu, bagaimana kamu bisa ke sana sendirian?" Myra menatap Zen dengan sendu seolah mengatakan dirinya akan baik-baik saja. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi.

"Percayalah padaku, Zen. Aku akan membawa kabar baiknya padamu." Zen membuang napasnya kasar, dasar iblis yang keras kepala. Myra tersenyum kecil.

"Oh, bagaimana dengan teman perempuanmu? Apakah ia mengatakan sesuatu yang aneh tentang kejadian itu?" tanya Myra seraya meneguk minumannya yang sedari tadi ia abaikan.

"Tidak ada, kurasa memang benar-benar terhapus dari ingatannya. Rai terlihat khawatir dengan mataku, namun aku berbohong padanya. Aku mengatakan jika ini hanya kecelakaan kecil," balas Zen, lelaki itu menyentuh mata kanannya yang masih terbalut perban. Masih dapat Zen rasakan sakitnya ketika ia memaksa menggunakan Ability-nya saat sedang terkena 'anti-ability'.

Keputusan yang baik, namun tindakan yang ceroboh.

"Baguslah, kau dapat mencari alasan yang logis." Zen tersenyum kecut. "Apakah aku harus selalu berbohong kepada Rai? Bagaimana jika suatu saat ia mengetahui segalanya? Kejadian saat itu ... bahkan Ability milikku."

"Kadang berbohong adalah jalan terbaik, Zen. Jika kita membiarkan segalanya, maka tatanan dunia ini akan rancu. Aku memutuskan menghapus ingatan perempuan itu juga karena aku tidak ingin mengganggu kehidupan yang damainya. Bukankah tujuanmu juga seperti itu, Zen?" Zen terdiam sebentar sebelum pada akhirnya mengangguk.

Benar, itu keputusan yang benar. Berbohong untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi. Zen tidak ingin jauh dari Rai, Zen tidak ingin Rai berpikir ia adalah orang yang menakutkan. Zen menundukkan kepalanya.

"Maaf, ... Rai."