Chereads / The Promise : Cursed of Astaroth Mansion / Chapter 4 - Bab 4 : Saito Akio.

Chapter 4 - Bab 4 : Saito Akio.

Di waktu yang bersamaan, Dunia Iblis.

Athena memapah Risu yang sudah babak belur. Athena memasuki Kastil besar kuno. Kastil ini sudah menjadi tempat tinggal para Pilar dan Angelusnya sejak ratusan tahun yang lalu. Athena membantu Risu menuju kamarnya yang ada di lantai 3, lantai khusus tempat tinggal Angelus.

Setiap Pilar sendiri memliki Angelusnya masing-masing. Entah berapa jumlahnya, Athena tidak terlalu mengetahuinya. Untuk miliknya sendiri hanya ada 2, Risu dan satu orang lelaki yang sepertinya sedang berburu mangsa.

"Aku tinggal dulu, sebaiknya kamu segera mengobati lukamu." Risu mengangguk kemudian memasuki kamarnya.

Athena terlihat berjalan dengan tergesa-gesa. Langkahnya membawa perempuan iblis itu menuju sebuah singgasana merah darah. Lampu gantung juga menghiasi ruangan itu. Terlihat sangat hangat namin terasa sedikit mencekam.

Athena menghentikan langkahnya dihadapan seorang lelaki yang sangat dihormati oleh seluruh iblis di dunia ini, Lucifer.

Athena menundukkan badannya seolah memberi hormat kepada lelaki itu. Lelaki dengan wajah dingin dan tatapan tajam itu mengangkat satu alisnya seolah berkata "Apa yang ingin kamu katakan?"

Athena menegakkan kembali badannya dan menatap Lucifer. Tatapan mengintimidasi itu membuat Athena merasa seluruh bulu kuduknya merinding. Dengan cepat perempuan itu mengatakan tentang kejadian yang baru saja ia alami dan kembalinya Astaroth ke dunia iblis.

Setelah mendengar seluruh cerita Athena, Lucifer menarik satu sudut bibirnya.

"Berita yang sangat bagus, Athena. Sepertinya penghianat itu sudah berani menunjukkan taringnya kembali," ucap Lucifer dengan senyum jahatnya.

"Apa yang kamu rencanakan, tuan?" Lucifer berdiri dari singgasananya.

"Aku tidak merencanakan apa pun. Athena, tetap awasi dia. Aku akan menyuruh Pilar lainnya untuk melakukan sesuatu." Athena mengangguk kecil.

"Laksanakan."

Athena mengangkat kakinya meninggalkan singgasana merah darah itu. Athena menggunakan telepati untuk berbicara dengan Angelus miliknya yang lain.

"Apa kamu sudah selesai berburu? Aku ingin kamu melakukan sesuatu. Datanglah ke kastil dan segera temui aku!"

"Saya akan segera kembali, nona Athena."

Athena memutuskan telepati mereka. Athena menatap langit merah, jika Lucifer sendiri yang memintanya melakukan tugas itu, maka akan ia lakukan sebaik mungkin. Karena identitas Risu sudah terbongkar, ia tidak bisa memerintahkan Risu untuk kembali ke dunia manusia. Hanya lelaki itu yang bisa ia andalkan saat ini.

***

Rai menguap kemudian meletakkan kepalanya di atas meja. Pelajaran pertama hari ini sungguh membuat kepalanya panas, untunglah bel istirahat pertama berbunyi dengan cepat. Kalau tidak, Rai tidak tahu apa yang akan terjadi padanya nanti.

Rai terkejut ketika ia merasakan dingin di sekitaran pipinya. Perempuan itu mengangkat kepalanya dan mendapatkan seorang lelaki dengan senyum kecilnya sambil membawa sebotol minuman dingin.

"Kamu terlihat gelisah, jadi aku membawakan sebotol air untukmu." Rai menerima sebotol minuman itu dengan ragu. Ia kenal dengan lelaki itu, namun tidak terlalu dekat. Rai tersenyum kecil.

"Terima kasih, Akio. Tumben sekali, biasanya kamu selalu diam saja saat istirahat," balas Rai kemudian meneguk sebotol minuman dingin itu. Ah, rasanya pikirannya langsung jernih. Rai juga melirik kanan dan kiri berharap menemukan Zen, namun sepertinya Zen masih belum kembali dari kantin.

Lelaki yang dipanggil Akio itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ah, itu, sendiri itu memang tidak enak. Kupikir Rai selalu tersenyum dan sangat mudah diajak berteman. Kebetulan sekali tadi aku melihatmu sedang gelisah. Aku berinisiatif untuk membantumu, kupikir itu bisa membuatku berteman denganmu," jelasnya membuat Risu tertawa kecil.

"Tidak perlu canggung. Jika ingin berteman, boleh saja, kok, kita kan satu kelas. Tidak masalah." Akio tersenyum lebar kemudian mengangguk.

"Terima kasih, Rai."

"Akio? dan ... Rai?" Rai berdiri dari duduknya kemudian memeluk lengan Zen.

"Zen!! Lama sekali, aku sudah menunggumu sedari tadi, tahu!" Zen memasang ekspresi datarnya sambil memperhatikan Akio yang sedang tertawa melihat tingkah Rai.

Tumben sekali mereka mengobrol, pikir Zen.

"Ah, Zen, ini Akio, kamu pasti mengenalnya, kan? Dia teman sekelas kita." Zen mengangguk kecil tanpa membalas apa pun. Seperti biasa terlihat dingin dan cuek.

"Dia baru saja membantuku. Kami memutuskan untuk berteman!" heboh Rai. Akio mengeluarkan senyum canggungnya.

"Berteman? Oh ...," balas Zen acuh. Rai memukul pipi Zen pelan dengan telapak tangannya.

"Ayolah, Zen. Sampai kapan kamu mau bersikap seperti es batu? Akio sekarang juga temanmu!" Zen membuang napas beratnya kemudian mengangguk. Fudo yang masih berdiri di samping Zen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Rai dan Zen yang sudah seperti sepasang kekasih.

Akio, salah satu siswa di kelas Zen yang memiliki kepribadian pendiam dan sama sekali tidak memiliki teman, sekarang sudah terlihat sangat dekat dengan Rai, Zen merasa sedikit aneh. Tapi, yasudahlah, toh, dia hanya ingin berteman. Rai dan Akio juga terlihat senang karena obrolan mereka selalu sejalan. Zen bersama Fudo kemudian melanjutkan langkah mereka menuju tempat duduk.

"Kalau tahu mengobrol denganmu seasik ini, lebih baik kita berteman lebih cepat. Selama aku berteman dengan Zen, lelaki itu tidak pernah asik jika diajak mengobrol. Dasar lelaki es batu!" Rai membuat satu sisi pipinya menggembung, terlihat sangat menggemaskan.

"Rai, kamu terlihat lucu jika seperti itu." Akio tertawa kecil. Rai berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya. Rai salah tingkah dan tidak tahu ingin mengucapkan apa.

Zen kadang-kadang melirik keduanya yang sedang tertawa bersama. Fudo menyunggingkan senyum miringnya ketika mendapati Zen yang memperhatikan Rai terus-menerus.

"Zen, apa kau cemburu dengan Akio?" Zen langsung menatap Fudo tajam.

"Tidak. Mana mungkin ada perasaan semacam itu, bodoh sekali." Fudo tertawa kecil melihat Zen yang masih menatapnya dengan tajam.

"Cukup tertawanya. Selesaikan makanmu, sebentar lagi bel masuk akan berbunyi," lanjut Zen diangguki Fudo.

***

Seluruh siswa dan siswi mulai meninggalkan kelasnya masing-masing untuk kembali ke rumahnya. Begitu juga dengan Zen dan Rai yang bersiap. Namun ketika Rai ingin menghampiri tempat duduk Zen, Akio menahan perempuan itu.

"Itu, Rai, Apa aku boleh mengantarmu?" Rai mengeluarkan senyum canggungnya kemudian menyatukan kedua telapak tangannya di depa dada.

"Maaf, Akio. Aku hari ini pulang bersama Zen. Lain kali saja, ya," balas Rai langsung menghampiri Zen dan meninggalkan Akio yang terdiam.

Zen mengantarkan Rai sampai ke rumahnya. Zen merasa ia harus menemui Myra untuk menanyakan beberapa hal, jadi lelaki itu tidak langsung kembali ke apartmentnya melainkan ke rumah milik orang tuanya yang sudah tidak layak huni, tentunya luarnya saja, dalamnya terlihat sangat mewah karena Myra mengubahnya.

Jam masih menunjukkan pukul 17.00 dan Zen sudah berada di kediaman Myra. Myra menatap Zen aneh, biasanya lelaki itu selalu hampir terlambat. Namun kali ini ia datang lebih cepat dari pada hari-hari sebelumnya.

"Ada apa? Tumben sekali kamu mengunjungiku sebelum malam tiba," ucap Myra menyandarkan tubuhnya di sofa merah miliknya.

"Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal tentang Chronos yang masih tidak ku mengerti," balas Zen sambil mengeluarkan kedua pedang bercahaya itu.

"Apa kamu bisa melihatnya? Sebuah benang tipis berwarna merah itu. Sepertinya itu terhubung dengan dirimu. Apa fungsinya?" tanya Zen.

"Ah, itu adalah benang yang berfungsi mengalirkan energi Ability. Energi Ability itu diperlukan Chronos untuk mengaktifkan seluruh kekuatannya. Karena aku adalah iblis yang menjalin kontrak denganmu, maka Chronos akan mengambil energi Abilityku untuk mengaktifkan seluruh kekuatannya. Namun, itu saat kita berdekatan saja. Kalau kita ada di jarak yang sangat jauh, maka Chronos akan mengambil energi Ability milikmu." Zen terdiam menatap kedua pedang di tangannya itu.

"Jadi itu kenapa tadi malam mataku terasa sangat sakit. Setiap Ability memiliki efek samping saat kamu menggunakannya secara berlebihan, bukan? Apa kamu tidak merasakan efek samping jika Chronos ini mengambil energi Ability milikmu?" Myra menarik satu sudut bibirnya.

"Aku ini iblis, dan kamu manusia. Energi Ability milik kita berdua sangat jauh berbeda. Bukan masalah besar jika Chronos mengambil sedikit energi Ability milikku," balasnya sambil berjalan menuju kulkas untuk mengambil sebuah minuman dingin.

"Sedikit, ... kah?" Zen sekarang merasa jika iblis memang sangat menakutkan. Yang seperti itu pun dibilang sedikit, Zen saja sudah sangat merasa sakit dibuatnya. Sepertinya memang mereka berada di tingkat yang berbeda.

Myra memberikan Zen sebotol minuman. sambil tertawa kecil.

"Ini untukmu. Bukankah kamu adalah lelaki yang dingin dan acuh? Mengapa ketika kita bersama aku justru merasa kamu banyak berbicara?" Zen membuang wajahnya.

"Itu karena aku ingin segera bertemu dengan kedua orang tuaku. Aku masih membutuhkan banyak informasi."

"Kita tidak akan ke sana malam ini. Sepertinya Athena sudah melaporkan semuanya pada Lucifer. Untuk sementara kita akan tetap di dunia manusia sampai Lucifer mengira jika Athena hanya mengada-ngada."

"Bagaimana jika Athena yang ke dunia manusia untuk mengawasi kita? Mungkin dia menggunakan wajah orang lain agar tidak dicurigai dan bisa berbaur dengan manusia yang lainnya." Ucapan Zen barusan menghentikan pergerakan Myra. Perempuan itu menghampiri Zen dan mengacak-acak rambut Zen.

"Athena tidak mungkin segegabah itu. Aku sudah mengenalnya sejak ratusan tahun yang lalu. Kamu tenang saja, Athena tidak ada di dunia manusia karena aku tidak mencium bau iblis yang lain di dunia ini," balas Myra sambil terus mengacak surai Zen.

Zen mencengkram tangan Myra yang masih Setia di kepalanya. Lelaki itu menundukkan wajahnya.

"Sampai kapan kamu mau mengacak rambutku, bodoh?" Myra tersenyum canggung kemudian menarik tangannya. Sial, Myra terlalu menyukai surai Zen karena terasa lembut di telapak tangannya.

"Maaf, aku tidak menyadarinya." Zen memutar tubuhnya menghadap pintu dan membelakangi Myra.

"Aku tidak ada pertanyaan lagi. Jika kita tidak akan ke dunia iblis, aku akan pulang. Terima kasih untuk penjelasannya tadi," final Zen kemudian melangkahkan kakinya keluar dari mansion itu.

"Sepertinya ... dia marah padaku," monolog Myra setelah punggung Zen tak lagi terlihat.

Setelah dirasa sudah jauh dari kediaman Myra, Zen mengusap wajahnya yang terasa memanas tadi. Zen menundukkan wajahnya dan membalikkan tubuhnya karena ia tidak ingin Myra melihat dirinya yang salah tingkah. Salah tingkah? Entahlah Zen tidak mengerti dengan hal seperti itu.

Hanya saja tadi terasa sedikit ... nyaman.