Chereads / The Promise : Cursed of Astaroth Mansion / Chapter 5 - Bab 5 : Premonition.

Chapter 5 - Bab 5 : Premonition.

Sesampainya di Rumah, Zen membilas wajahnya dengan air. Zen menatap jam dinding kemudian memutuskan untuk beristirahat malam ini. Sepertinya besok ia akan menjemput Rai, oleh karena itu Zen harus bangun lebih pagi dari biasanya.

Di waktu yang bersamaan, Dunia Iblis.

Athena menundukkan wajahnya di hadapan Lucifer. Tatapan dingin milik lelaki itu terlalu menusuk untuk Athena.

"Bagaimana dengan Astaroth, Athena?" Athena mengangkat wajahnya, memberanikan diri untuk menyampaikan laporannya.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya telah mengirim Haru untuk mengawasi mereka." Lucifer tersenyum kecil.

"Bagus. Kamu boleh pergi." Athena melangkah meninggalkan singgasana Lucifer. Wanita itu kemudian memasuki kamarnya dan berusaha menghubungi Haru melalui telepati. Athena harus menanyakan hasil pengawasannya hari ini.

"Haru? Apa kamu bisa mendengarku?"

"Terdengar jelas. Ada apa menghubungiku di malam hari, nona?" Athena menyandarkan tubuhnya di kursi yang saat ini ia duduki.

"Bagaimana pengawasanmu hari ini? Berjalan lancar?"

"Tidak ada masalah. Aku akan segera melaporkan jika aku mendapatkan informasi yang penting, nona." Athena tersenyum kecil.

"Baik. Aku tunggu hasil pengawasanmu, Haru. Terima kasih." Athena memutus telepatinya dengan Haru.

"Apa belum cukup pengkhianatanmu kepada kami, Astaroth? Jika memang keputusanmu untuk membantu manusia itu sudah bulat, maka aku tidak perlu ragu untuk membunuhmu. Aku yakin bukan hanya aku yang akan menjadi lawanmu, tapi Pilar yang lainnya juga. Meski begitu, apa kamu sanggup bertahan, Astaroth?" monolognya.

°°°

Rai membuka pintu rumahnya setelah beberapa kali mendengar ketukan dari luar. Perempuan itu menyambut Zen dengan senyumannya yang cerah. Zen dan Rai kemudian berjalan bersama menuju sekolah. Di tengah perjalanan, Zen memecahkan keheningan diantara keduanya.

"Rai, apa menurutmu sikap Akio tidak aneh kemarin?" Rai menaikkan satu alisnya.

"Aneh? Aku tidak merasa seperti itu, kok. Wajah saja jika dia mau berteman, kan? Hanya karena dia tidak pernah berbicara denganku kemudian tiba-tiba mau berteman denganku menurut kamu itu aneh?" Zen terdiam kemudian melirik Rai yang berjalan di sampingnya.

"Tidak, mungkin itu hanya firasatku saja," jawab Zen lalu keduanya kembali terdiam.

Sesampainya di koridor sekolah, Rai dan Zen berpapasan dengan Akio yang sudah menyambut keduanya dengan senyuman.

"Pagi, Rai, Zen," sapanya. Rai tersenyum seperti biasanya.

"Pagi, Akio," jawabnya. Rai menoleh ke arah Zen yang melewati Akio begitu saja.

"Zen! Mana jawabanmu? Tidak baik mengabaikan orang seperti itu, Zen." Zen menghentikan langkahnya.

"Pagi, Akio. Aku titip Rai padamu, ada sesuatu yang harus kulakukan pagi ini," balas Zen tanpa menatap keduanya.

Akio dan Rai terdiam. Aneh sekali, padahal tadi Zen terlihat biasa saja, Entah kenapa sekarang terlihat sangat dingin. Apakah Zen sangat tidak suka dengan kehadiran Akio? Sepertinya Rai harus meyakinkan lelaki itu bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang Akio.

"Maaf, Rai. Sepertinya Zen tidak begitu menyukai kehadiranku," ucapnya sambil berjalan menuju kelas bersama dengan Rai.

"Tidak masalah. Urusan Zen serahkan saja padaku, anak itu memang keras kepala!" Akio tertawa kecil.

"Ngomong-ngomong, aku tidak mengetahui Ability milikmu. Kalau boleh tahu, Ability kamu apa?"

"Bukan sesuatu yang luar biasa, kok. Ability milikku adalah Telekinesis," jawab Akio membuat Rai kebingungan, nama yang sangat asing.

"Telekinesis?" Akio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ah, itu ... seperti ini," lanjutnya kemudian merentangkan satu tangannya ke depan, ke arah sebuah kursi tunggu di koridor. Beberapa detik kemudian kursi itu melayang di udara kurang lebih selama 2 menit, setelahnya kursi itu kembali ke tempatnya semula.

Mata Rai berkilau, tampak sangat takjub dengan apa yang baru saja ia lihat. Rai menoleh, baru saja akan berteriak namun ia urungkan karena melihat Akio yang kelelahan. Rai tersenyum kecil.

"Itu luar biasa, Akio. Apa itu membuatmu sangat kelelahan?" Akio menggeleng kecil.

"Aku sudah biasa. Telekinesis adalah kemampuan untuk membuat benda melayang di udara, bahkan tanpa menyentuh benda itupun aku masih tetap bisa membuatnya melayang. Semakin berat dan besar benda itu, semakin besar pula energi Ability yang aku gunakan. Jadi, itu sedikit membuatku lelah. Tapi, ini tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan Telekinesis," jelasnya membuat Rai mengangguk paham.

°°°

Zen membuka sebuah minuman kaleng yang baru saja ia beli. Bukannya Zen tidak menyukai Akio, hanya saja berada di dekat lelaki itu terasa sangat tidak nyaman, seperti ada sesuatu yang janggal. Tapi Zen tidak menemukan apa pun, dia seperti Akio yang biasanya, hanya saja sekarang lebih dekat dengan Rai. Jika memang ia ingin berteman dengan Rai, Zen tidak akan melarang itu. Tapi firasatnya mengatakan ini bukanlah hal yang harus dibiarkan begitu saja.

Zen terdiam saat seseorang menyentuh bahunya dari belakang. Zen menoleh dan mendapatkan Fudo di belakangnya.

"Tumben sekali ada di kantin pagi-pagi begini. Ada masalah?" Zen meneguk minuman kalengnya kemudian menggeleng tegas.

"Bukan masalah besar. Hanya masalahku dengan diriku sendiri. Sudah hampir memasuki jam pertama, sebaiknya kita segera memasuki kelas," balas Zen. Tanpa menunggu jawaban Fudo, lelaki itu langsung melangkahkan kakinya meninggalkan kantin.

Sepanjang jam pelajaran, Zen merasa kepalanya memutar dan sangat berat. Apa ini efek karena meminum minuman kaleng di pagi hari? Sepertinya tidak begitu, sebelumnya Zen sama sekali tidak merasa seperti ini.

Zen merasakan jika mata kanannya berdenyut. Itu tidak menimbulkan rasa sakit, hanya saja mengganggu konsentrasi Zen saat belajar. Zen mengepalkan tangannya kemudian memukul mejanya pelan, namun guru yang sedang menjelaskan dapat melihat gerak gerik aneh Zen.

"Zen? Apa ada masalah? Ibu lihat dari tadi kamu sangat gelisah," tegur guru yang sedang menjelaskan. Zen terkejut karena semua mata tertuju padanya. Zen kemudian menggeleng kecil.

"Tidak ada masalah apapun, bu. Silahkan dilanjutkan materinya." Sang guru mengangguk kemudian melanjutkan penjelasannya. Semua mata kembali berfokus kepada papan tulis, kecuali sepasang mata milik Rai. Rai menatap Zen dengan wajah khawatirnya.

Zen terus berusaha menahan sesuatu yang mengganggu ini. Zen berhasil menahannya hingga jam istirahat datang, lelaki itu merasa lega.

Rai berlari ke arah meja Zen kemudian meletakkan telapak tangannya di kening Zen.

"Zen, apa kamu sakit? Wajah kamu terlihat sangat pucat," sambar Rai. Zen menggeleng kecil lalu menghembuskan napasnya panjang.

Akio menghampiri Rai yang masih Setia berdiri di samping tempat duduk milik Zen.

"Zen ... apa kamu baik-baik saja?" tanyanya seraya terus mendekat. Baru saja Zen akan menjawab, tiba-tiba saja denyutan di mata kanannya terasa lebih kencang saat Akio di dekatnya. Zen berusaha menyembunyikannya.

"Aku ... baik-baik saja. Aku permisi." Zen berlari meninggalkan kelasnya.

Setelah denyutan di mata kanannya terasa lebih pelan, Zen menghentikan langkahnya kemudian mengatur napasnya kembali.

Zen yakin itu bukan sekadar firasat belaka, tapi ia benar-benar merasakan ketika Akio di dekatnya, mata kanannya akan berdenyut lebih cepat. Aneh sekali, padahal tadi matanya baik-baik saja. Tapi Zen tidak mau berburuk sangka kepada orang lain. Zen akan melihat dulu kedepannya bagaimana, tentunya ia juga akan meminta pendapat Myra.

°°°

"Zen, apa keadaanmu sudah baikan? Aku khawatir karena kamu meninggalkan kelas begitu saja tadi. Maaf kalau memang Akio mengganggumu, aku akan bil--

"Bukan itu, Rai. Akio sama sekali tidak menggangguku. Aku punya masalah dengan diriku sendiri yang tidak bisa aku bicarakan dengan siapa pun. Maaf, Rai." Rai menggeleng kemudian tersenyum kecil.

"Jika kamu berkata seperti itu, aku akan percaya! Lagi pula setiap orang memiliki masalahnya masing-masing, bukan?" Zen mengangguk.

"Terima kasih, Rai."

"Kalau begitu kamu bisa pulang duluan, Zen. Aku ada janji dengan seseorang hari ini." Zen menaikkan satu alisnya.

"Baiklah. Jangan lupa waktu, jika sudah larut segera kembali ke rumahmu," balas Zen.

"Aku, mengerti. Lagi pula aku hanya berkeliling dengan Akio. Tidak akan lama." Zen terdiam kemudian tersenyum.

"Kalau begitu aku duluan." Rai menatap punggung lebar Zen yang perlahan mulai menjauh.

Rai melangkahkan kakinya menghampiri Akio yang sudah menunggunya di gerbang Utara sekolah. Rai meminta maaf karena kedatangannya yang terlambat, ia juga mengatakan alasannya. Akio memaklumi hal itu. Kedua berjalan beriringan dengan Rai yang terus bercerita dan berbicara.

"Ah, ngomong-ngomong, kenapa dulu kamu sangat pendiam? Apakah ada alasan tertentu?" Akio tertegun lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Aku hanya tidak terbiasa bersosialisasi. Sudah dari SMP kepribadianku seperti ini, susah sekali mengubahnya. Saat melihat kamu yang begitu ceria, aku sangat iri. Aku bertanya-tanya apakah aku bisa menjadi seperti sosok Rai? Aku bahkan tidak berani untuk berbicara denganmu," jelas Akio panjang lebar. Rai tertawa kecil.

"Sepertinya jawaban dari pertanyaanmu tadi sudah terjawab, ya. Sekarang kamu sudah berani untuk berbicara dengan orang lain, bahkan dengan diriku." Akio tersenyum canggung.

"Terima kasih, Rai. Kamu sudah mau meluangkan waktu denganku, bahkan membiarkan Zen pulang sendirian." Rai menaikkan satu alisnya.

"Tidak masalah, kan? Lagi pula Zen tidak keberatan dengan keputusanku. Walaupun dia adalah lelaki yang keras kepala, Zen selalu menghargai apapun keputusanku. Aku hampir tahu semua tentang Zen kecuali Ability miliknya. Jika aku membahas hal itu, Zen akan mengalihkan topik pembicaraannya. Menyebalkan!" Rai menghentakkan kakinya membuat Akio tertawa karena melihat Rai yang begitu menggemaskan.

"Mungkin dia memang sengaja menyembunyikannya. Setiap orang memang memiliki rahasianya masing-masing, kita tidak bisa memaksanya," balas Akio membuat Rai tertegun.

"Aku terkejut, ternyata kamu bisa bijak juga." Akio terkejut kemudian menyembunyikan wajahnya yang panas.

"Bagaimana setelah berkeliling, aku mengantarmu pulang?" tanya Akio mengalihkan pembicaraannya.

"Boleh, kok. Lagi pula rumahku tidak jauh dari sini." Akio mengangguk.

Jam sudah menunjukkan pukul 18.10, Akio dan Rai memutuskan untuk pulang. Seperti janjinya, Akio akan mengantarkan Rai ke rumahnya. Tidak terlalu jauh, cukup 20 menit berjalan kaki saja sudah sampai.

"Baiklah, kalau begitu aku pamit pulang dulu. Sampai ketemu besok, Rai." Akio melambaikan tangannya.

"Iya. Hati-hati di jalan, Akio." Rai membalas lambaian tangan Akio kemudian memasuki rumahnya.

Akio menundukkan wajahnya, menatap sepasang sepatunya, kemudian lelaki itu menarik satu sudut bibirnya.

"Target sudah ditentukan, ini sandiwara yang sangat membosankan." monolognya.