Jam menunjukkan pukul 20.00, Zen tadi memutuskan untuk langsung kembali ke apartmentnya. Zen mengusap mata kanannya yang sudah tidak lagi berdenyut.
Zen terkejut karena tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu apartmentnya. Seharusnya ia tidak punya janji dengan siapapun. Zen berjalan kemudian membuka pintu apartmentnya. Zen menaikkan satu alisnya ketika mendapati Myra dengan wajah tidak enaknya.
"Myra? Apa ada sesuatu yang mau di bicarakan? Tumben sekali," ucap Zen, namun Myra mengabaikannya dan masuk ke apartmennya begitu saja.
"Myra?" Myra menatap Zen dengan wajah marahnya. Kali ini Zen menaikkan kedua alisnya. Lelaki itu tidak tahu apa yang membuat Myra marah.
"Tentu saja ada yang mau aku bicarakan, bodoh! Kenapa kau tidak datang ke mansionku? Padahal aku sudah menunggumu!" omelnya membuat Zen terdiam sebentar.
"Bukankah kita tidak perlu ke dunia iblis untuk sementara waktu? Kamu yang bilang seperti itu kemarin," balas Zen membela dirinya sendiri.
"Awalnya memang itu tujuanku, namun sepertinya Athena sudah mengerahkan salah satu angelusnya ke dunia ini. Aku akan mengganti rencanaku, kita akan menyerangnya sekarang dan memaksanya mengatakan di mana keberadaan angelusnya sekarang."
"Apa kamu yakin? Aku merasa mata kananku tidak baik-baik saja. Jika seperti ini, aku tidak akan bisa menggunakan Ability milikku. Apa kamu bisa memeriksanya sebelum kita berangkat?" Myra mengangguk kemudian menyuruh Zen untuk duduk di depannya, mereka berhadapan sekarang.
Myra menghela napasnya kemudian mengucap sebuah mantra yang sukses membuat Zen merintih kesakitan. Melihat reaksi Zen yang seperti itu, sepertinya Myra mengetahui penyebab rasa sakit di mata kanan lelaki itu.
"Zen, maaf, tapi aku harus mengatakan ini. Untuk sementara kamu tidak akan bisa menggunakan Abilitymu, sepertinya ada seseorang yang menyerangmu diam-diam dan menggunakan mantra 'anti-ability' padamu. Meskipun itu adalah mantra terlarang, banyak iblis yang sudah mempelajarinya.
"Menyerang diam-diam? Mungkinkah itu bawahannya Athena?" Myra meletakkan tangannya di dagu selayaknya orang yang sedang berpikir.
"Aku tidak bisa bilang jika itu bawahannya Athena. Kamu tenang saja, ini hanya bertahan 24 jam. Kita akan tetap menemui Athena. Walaupun kamu tidak bisa menggunakan Abilitymu, kamu masih memiliki Chronos. Kita berangkat sekarang."
Keduanya melewati portal yang sudah Myra buka di mansionnya. atmosfer yang dirasakan Zen langsung berubah sepenuhnya. Setiap kali memasuki dunia ini, entah kenapa Zen selalu merasa seperti itu.
"Jadi kalian sudah sampai, ya?" Myra dan Zen menoleh secara bersamaan.
"Athena! beritahukan di mana angelusmu berada sekarang, atau kami akan membunuhmu!" Athena tertawa ketika mendengar ancaman yang Myra berikan padanya.
"Kamu tidak perlu mengancamku seperti itu, Astaroth. Jangan terburu-buru," balasnya santai.
"Cukup basa-basinya, Athena! Jika kamu tidak mau membuka mulut, aku akan menyerangmu sekarang juga!"
"Dasar anak yang keras kepala. Ini kan yang kalian mau ...?" Athena menjentikkan jarinya, muncullah sebuah layar yang menunjukkan di mana posisi angelusnya saat ini. Zen membulatkan kedua matanya ketika mengetahui di mana angelus milik Athena berada.
"Rai ...?" Myra menoleh ke arah Zen.
"Temanmu?" Zen mengangguk kecil.
"Aku harus kembali, Myra! Aku harus melindungi Rai! Buka portalnya!" Myra melakukan apa yang Zen perintahkan. Zen berlari menuju portal yang sudah terbuka lebar.
"Tidak akan semudah itu, manusia!" Athena menarik busurnya kemudian menembakkan anak panah cahayanya ke arah Zen.
"Protego Horribilis!" Myra menciptakan sebuah pelindung sebelum anak panah Athena berhasil mengenai Zen. Zen menghentikan langkahnya kemudian menatap Myra yang tersenyum lega.
"Serahkan Athena padaku, kamu fokus saja melindungi temanmu. Jika kamu tidak bisa mengalahkan angelus milik Athena, setidaknya kamu harus membuatnya mundur. Aku mengandalkanmu, Zen!" Zen mengangguk tegas.
"Aku akan menunggumu dan kabar baiknya. Terima kasih, Myra."
°°°
Zen berlari sekuat tenaga menuju rumah Rai. Yang ada di pikiran Zen saat ini hanya melindungi dan menyelamatkan Rai. Meskipun Abilitynya saat ini masih tersegel, Zen akan berusaha melakukan apa pun untuk melindungi Rai.
Sesampainya di kediaman Rai, Zen langsung mendobrak pintu depannya, Zen tahu jika kedua orang tua Rai selalu bekerja dan jarang ada di rumah, oleh karena itu Zen tidak ragu sedikit pun untuk menerobos masuk.
"RAI!!" pekik Zen mengharapkan jawaban dari sang perempuan. Beberapa menit Zen menunggu, masih tidak ada jawaban dari Rai.
Zen mengepalkan tangannya. Tiba-tiba saja terdengar suara gaduh dari lantai dua, lantai di mana kamar Rai berada. Zen yang menyadari itu langsung berlari menaiki tangga dan membuka paksa pintu kamar Rai.
"RAI--
Zen terkejut saat melihat Rai yang tidak sadarkan diri di sebuah kursi. Zen mengepalkan tangannya kemudian mengalihkan pandangannya pada seorang lelaki yang sedang bersandar di tembok.
"Ternyata firasat yang belakangan ini ku rasakan tidak salah. Sandiwara yang kau mainkan akan aku akhiri di sini, AKIO!!" pekik Zen seraya memanggil sepasang pedangnya.
Akio menarik satu sudut bibirnya, lelaki itu tersenyum miring. "Kalau begitu tujuan kita sama, mengakhiri sandiwara yang membosankan ini. Tapi perlu kau ingat, aku bukanlah Akio. Seseorang yang kau sebut "Akio" itu sudah tidak ada di dunia ini, aku adalah Haru, salah satu angelus nona Athena. Jangan lupakan itu, manusia!" balasnya.
Haru menghembuskan napasnya, sementara Zen sudah siap dengan kuda-kudanya. "Set!"
Zen tertegun ketika melihat wujud Haru yang perlahan berubah, ia sudah tidak menggunakan wujud Akio lagi. Wajah pucat ditambah dengan sepasang tanduk merah darah, serta sebuah katana khas Jepang yang sudah digenggamnya.
Haru menatap tajam ke arah sepasang pedang yang digenggam Zen.
"Chronos? Apa Astaroth memberikannya padamu? Ah, aku lupa jika kamu tidak bisa menggunakan Ability saat ini." Zen mengeratkan genggamannya.
"Jadi kamu ... kamu yang telah menggunakan 'anti-ability' padaku? Cara yang licik! Sayang sekali aku tidak akan mengalah hanya karena aku tidak bisa menggunakan Abilityku."
Zen menutup kedua matanya, berusaha mengalirkan seluruh energi Ability ke tangannya. Ketika Zen sudah siap untuk melancarkan serangannya, lelaki itu membuka kedua matanya secara spontan. "Salvicus Hexia!"
Haru tertegun, lelaki itu spontan mengaktifkan mantra pelindungnya.
"Protego Horribilis."
Zen berdecih karena serangannya tidak berhasil mengenai Haru dengan telak, hanya memberikan beberapa luka kecil. Sepertinya Haru berhasil mengaktifkan pelindungnya di saat yang tepat meskipun tidak terlalu sempurna.
Haru mengusap luka gores di pipinya. Lelaki itu menatap Zen tajam kemudian langsung melesat secepat kilat, menghantam Zen menggunakan katananya. Sayangnya, Zen bisa menahan katana itu dengan kedua pedangnya. Zen mendorong Haru, membuat lelaki itu mundur beberapa langkah.
Zen menoleh ke arah Rai yang masih terlelap. Zen tersenyum lalu berlari ke arah jendela kamar Rai, lelaki itu keluar melalui jendela dan terus berlari menjauhi rumah Rai diikuti Haru yang mengejar di belakangnya. Zen tidak ingin membuat kerusakan lebih dari itu.
Haru mempercepat larinya, kini keduanya sejajar dan saling melemparkan tatapan tajam.
"Nona Athena mengatakan padaku jika kau memiliki Ability yang patut di waspadai. Bukankah itu artinya kau memiliki Ability yang luar biasa?" tanya Haru sambil terus berlari mengikuti kemanapun Zen pergi.
Keduanya berhenti di sebuah pabrik industri yang sudah terbengkalai.
"Itu tidak luar biasa," balas Zen acuh.
"Kalau begitu aku akan membunuhmu dan merebut Ability milikmu."
"Apa maksudmu?" tanya Zen. Haru tertawa kecil.
"Menurutmu, bagaimana caraku mendapatkan Ability Telekinesis?" Zen tertegun.
"Mendapatkan ...? Jangan-jangan---
Sebelum Zen menyelesaikan perkataannya, Haru memaksa mereka untuk beradu pedang. Haru mengayunkan katananya sambil tersenyum miring. Haru terus-menerus menghantarkan katananya dengan brutal, untungnya Zen dapat menahan segala serangan Haru, hanya memberikannya beberapa luka gores.
Haru mundur beberapa langkah, menciptakan jarak dengan Zen. Napas keduanya tersengal-sengal, itu karena mereka sudah beradu pedang sangat lama.
"Apa kau sudah menyadarinya? Yup, kau betul, Ability milikku adalah 'lisveto', Ability yang mampu merampas Ability milik orang lain yang telah tiada di tanganku, itu mengharuskanku untuk membunuh orang lain. Memang Ability yang kejam, tapi begitulah kenyataannya. Aku telah membunuh Akio dan merampas Abilitynya, aku juga akan melakukan hal yang sama padamu, Zen!"
Zen tahu itu bukan hanya kalimat gertakan, Zen tahu jika iblis dihadapannya ini begitu serius ingin membunuhnya, dan Zen tahu jika ia tidak bisa mengalahkan seorang iblis. Zen tahu, karena itu ia akan melalukan suatu hal yang gila, bahkan bisa mengancam nyawanya.
Fajar mulai terbit, Zen menghela napasnya. Setidaknya ia masih bisa melihat Fajar untuk terakhir kalinya ... mungkin?
Zen membuang sepasang pedangnya, kini lelaki itu tidak memiliki senjata apa pun lagi. Hal itu tidak membuat Haru menurunkan senjatanya, lelaki itu justru merasa lebih was-was dengan apa yang akan Zen lakukan selanjutnya.
Zen mengatur napasnya, menutup kedua matanya, mengalirkan sisa-sisa energi Albility yang ia punya menuju mata kanannya. Sakit, Zen sangat merasa terhambat karena 'anti-ability' yang masih mengikatnya, namun Zen tetap bersikeras mengalirkan energinya.
"Argh!" Zen merasakan sesuatu mengalir keluar dari mata kanannya. Itu bukan air mata, melainkan darah. Zen terlalu memaksa, hingga membuat mata kanannya mengeluarkan darah.
Haru terkejut, lelaki itu kembali mundur. Haru kembali mengaktifkan pelindungnya.
"Tidak mungkin! Bukankah 'anti-ability' itu masih mengikatnya?!" ucapnya panik seraya meningkatkan ketahanan pelindungnya.
Ketika Zen sudah merasa mengalirkan cukup banyak energi Ability, lelaki itu membuka kedua matanya. Zen memusatkan pandangannya tepat di mata Haru. Sakit sekali, ingin rasanya berhenti. Namun Zen tidak menyerah.
"Berikan jiwamu padaku dan segeralah menuju keabadian, Alderon ... de almash!"
Haru merintih kesakitan seakan ada serangan besar yang mengenainya. Teriakan lelaki itu perlahan mulai menghilang, Zen menatap tubuh Haru yang tergeletak tepat di depannya.
"Jika Ability milikmu adalah Ability yang kejam, lalu akan kau sebut apakah Ability milikku ini?"
°°°
Zen berjalan tertatih-tatih kembali ke rumah Rai, Zen harus memastikan kondisi Rai meskipun kondisinya sekarang bisa dibilang sekarat. Luka di setiap sisi, mata kanan yang yang sangat kritis, serta energi Ability yang hampir terkuras abis.
Meskipun begitu, Zen tetap menghampiri Rai. Lelaki itu lega masih merasakan napas Rai, itu artinya Rai baik-baik saja.
Sial, pandangan Zen mulai kabur, tubuhnya sudah tidak bisa bergerak lagi. Apakah ia akan mati karena kehabisan darah?
Zen terjatuh lemas tepat di depan kursi di mana Rai masih terlelap. Zen tersenyum kecil dan perlahan pandangannya mulai gelap.