TIK... TOK... TIK... TOK.... Bunyi jam dinding semakin membuatku tidak nyaman. Meskipun aku dapat mendengar musik klasik di antara bunyi jam dinding itu, semuanya tidak bisa mengalahkan suara detak jantungku sendiri. Sambil pelan-pelan meminum kopi, sekali lagi kuperhatikan sekelilingku. Berada di dalam ruangan ini mengingatkanku akan butik-butik yang ada di Rodeo Drive.
Hah... kayak aku pernah masuk saja ke butik-butik itu.
Aku hanya pernah melihatnya ketika menonton acara The Osbournes di MTV. Walaupun begitu, yang jelas segala sesuatunya tentang ruangan ini meneriakkan kata MAHAL dan SUKSES. Mulai dari karpet tebal warna putih yang terhampar di kakiku hingga sofa modern warna merah darah yang aku duduki. Meja kaca dengan kaki warna putih di hadapanku dipenuhi dengan majalah-majalah fashion edisi terbaru. Wajah Jessica Alba, Angelina Jolie, Nicole Kidman, dan artis Hollywood lainnya menghiasi sampul majalah-majalah itu. Seorang wanita bernama Kirsten duduk di belakang meja kaca berbentuk seperti angka delapan. Di hadapan Kirsten terdapat papan bertuliskan RECEPTION. Kirsten tersenyum ramah kepadaku. Aku pun membalas senyumannya dengan canggung.
Aku masih tidak percaya bahwa aku ada di sini, lebih-lebih lagi di tempat ini. Selama ini aku selalu berpikir bahwa wanita yang memerlukan jasa blind date adalah tipe wanita yang:
1. Berwajah jelek, hidung seperti nenek sihir, mata jereng atau terlalu besar
seperti ikan mas koki, atau gigi gingsul mirip vampir.
2. Berpenampilan buruk, termasuk tidak tahu cara memilih pakaian yang sesuai
dengan bentuk tubuh sehingga terlihat seperti lemper.
3. Tidak memiliki tata krama, misalnya suka berbicara dengan mulut penuh
makanan.
4. Terlalu tua sehingga pilihannya jadi sangat terbatas.
5. Dipaksa orangtua untuk menikah secepatnya.
6. Senang menggoda, dan hanya menginginkan laki-laki untuk hiburan mereka.
Aku tidak memiliki satu pun karakteristik itu. Pertama, aku tahu bahwa aku tidak cantik seperti bintang film atau supermodel, tetapi aku cukup menarik dengan rambut agak ikal dan wajah oval. Tubuhku cukup proporsional dengan tinggi 155 sentimeter dan berat badan 52 kilogram. Kulitku meskipun tidak kuning langsat, masih tetap menggambarkan kulit wanita Asia pada umumnya, yaitu kuning kemerah-merahan. Kedua, banyak orang mengatakan selera bajuku patut ditiru karena aku selalu bisa memilih pakaian yang akan menonjolkan fisikku dan menyempurnakan penampilanku sebagai wanita Asia yang sukses hidup dan bekerja di Amerika. Ketiga, umurku masih 27 tahun, masih cukup muda. Keempat, orangtuaku tidak pernah memaksaku untuk menikah secepatnya, mereka bahkan terkesan tidak peduli apakah aku akan menikah atau tidak. Terakhir, meskipun aku tidak pernah mengalami masalah untuk mendapatkan laki-laki yang aku mau, aku bukan tipe wanita penggoda karena aku lebih memilih hubungan yang serius daripada one night stand.
Jadi, mengapa aku ada di sini? Aku ada di sini karena usahaku coba mencari calon suami sendiri selama dua bulan tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya, aku harus mengaku kalah dan datang ke tempat ini. Aku menemukan www.MyBlindDate.com dari Didi, adikku yang sedang menyelesaikan studi doktornya di bidang psikologi di Washington D.C. Ia fans berat acara Oprah Winfrey. Di salah satu episodenya seminggu yang lalu, Oprah membahas mengenai blind date, dan selebriti berkulit hitam paling sukses di Amerika itu sangat merekomendasikan MyBlindDate atau MBD sebagai salah satu perusahaan kencan buta terbaik bagi wanita-wanita sibuk untuk bertemu calon suami. Usut punya usut, ternyata MBD mempunyai cabang di Greensboro, North Carolina, kota terdekat dengan tempat tinggalku. Setelah memberanikan diri menelepon MBD beberapa hari yang lalu dan membuat janji, Sabtu pagi ini aku bela-belain berkendaraan menempuh jarak selama 45 menit dari Winston-Salem.
Berdasarkan informasi yang telah aku kumpulkan melalui internet, MBD didirikan sejak tahun 1985 atas dasar pengalaman wanita bernama Tracy Kelly dari Chicago, yang bernasib sama denganku. Jumlah klien mereka sudah mencapai ribuan. MBD memberikan pernyataan bahwa hampir setiap hari mereka menerima berita pertunangan ataupun pernikahan dari klien-klien mereka. Jadi, aku memiliki cukup keyakinan akan kesuksesannya.
Tidak lama kemudian seorang wanita bule berambut pirang dengan tinggi hampir 1.80 meter menghampiriku sambil tersenyum lebar. Otomatis aku langsung merasa cocok dengan wanita ini. Wajahnya mengingatkanku akan Reese Witherspoon, yang menurutku menggambarkan keramahan dan persahabatan.
"Hi, I'm sorry that you have to wait. I'm Sandra," ucap wanita bule itu.
Aku mengangguk, lalu berdiri dan menjabat tangannya. Tanpa basa-basi lagi Sandra langsung menggiringku ke ruangannya. Kutinggalkan cangkir kopiku yang masih setengah penuh di meja lobi. Ruang kerja Sandra ternyata tidak berbeda dengan lobi yang baru aku tinggalkan. Semua perabot yang ada di dalamnya terlihat modern dan berteknologi canggih. Setelah mempersilakan aku duduk, Kirsten datang menyerahkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tanganku di atasnya. Kertas itu berisi informasi mengenai diriku dan tipe laki-laki yang aku inginkan.
Setelah Kirsten keluar ruangan, Sandra lalu duduk di belakang meja dan terlihat menyimak lembaran-lembaran kertas itu selama beberapa menit, kemudian tersenyum kepadaku.
"Titania Larasati. Apakah saya mengucapkannya dengan benar?" tanya Sandra.
"Yes," balasku, sambil tersenyum juga.
"Nama yang bagus."
"Terima kasih. Orangtua saya tergila-gila pada titanium."
Sandra tertawa mendengar komentarku.
"Oke, kalau Anda tidak keberatan saya akan membacakan kembali apa yang Anda sudah tuliskan mengenai persyaratan yang Anda inginkan dari pasangan date Anda. Kami hanya ingin memastikan agar tidak terjadi salah paham." Sandra terdengar serius, meskipun wajahnya masih tersenyum ramah.
Aku mengangguk.
"Anda menulis bahwa Anda ingin pasangan date Anda tingginya antara 165 hingga 180 sentimeter?"
"Ya, apakah itu akan bermasalah?" tanyaku ragu. Aku memang tidak suka laki-laki yang terlalu tinggi karena mereka akan membuatku merasa seperti kurcaci. Dengan ukuranku yang bisa dibilang kecil kalau dibandingkan dengan wanita Amerika pada umumnya, aku merasa lebih nyaman dengan laki-laki yang tingginya antara 165 hingga 180 sentimeter.
"Nggak, ini nggak akan bermasalah. Hanya saya pikir Anda memerlukan laki-laki yang lebih tinggi dari 165 sentimeter. Apakah Anda mengenakan sepatu hak sewaktu Kirsten mengukur tinggi Anda?" tanya Sandra.
"Nggak, sepatu saya lepas," jawabku.
Sandra lalu berdiri dan melepaskan sepatu haknya. "Tinggi saya 160 sentimeter, dan tinggi Anda tidak jauh dari saya."
Aku lalu ikut berdiri dan mengukur tinggiku di samping Sandra. Benar juga, ucapku dalam hati.
"Benar, kan?" Sandra tersenyum kepadaku.
"Mmmhhh... Saya selalu berpikir bahwa saya lebih pendek dari ini," gumamku.
Sandra tertawa mendengarku. "Kebanyakan wanita lupa kalau mereka lebih sering pakai sepatu hak daripada tidak." Sandra mencoba menenangkanku. "Saya rasa akan lebih baik bila Anda mengubah tinggi minimum pasangan Anda menjadi 170 sentimeter."
Aku menyetujui saran itu.
"Untuk umur, Anda memilih antara 26 hingga 40. Betul?"
Aku mengangguk. Didi telah mengingatkanku agar memilih laki-laki di atas umur 30 tahun karena menurutnya laki-laki yang belum mencapai usia kepala tiga kurang dewasa. Aku tidak terlalu setuju dengan pendapatnya, mengingat pengalaman kedua orangtuaku. Usia bapakku lebih muda dua tahun dari ibuku, dan pernikahan merkea berjalan lancar-lancar saja. Umurku akan menginjak 28 beberapa bulan lagi, aku yakin laki-laki berumur 26 tahun sudah cukup dewasa untuk dipertimbangkan sebagai prospek suami.
"Itu juga tidak akan bermasalah. Kami ada banyak klien laki-laki yang masuk dalam kategori umur tersebut."
Sandra kemudian menambahkan, "Anda terbuka dipasangkan dengan laki-laki dari berbagai ras. Sekali lagi, itu akan membuat kami lebih mudah menemukan pasangan date untuk Anda." Sandra mengedipkan matanya kepadaku sambil tersenyum.
Aku tertawa melihat ekspresinya. Didi berkata kepadaku bahwa laki-laki dari Amerika Selatan cenderung sangat mencintai istrinya, meskipun mereka juga paling sering selingkuh. Laki-laki bule kebanyakan akan menjadi botak kalau sudah tua. Hal ini mengingatkanku akan Bruce Willis, yang kepalanya sudah dibiarkan botak selama sepuluh tahun terakhir untuk menutupi kenyataan dia sudah kehilangan rambutnya pada usia yang cukup dini. Laki-laki Asia biasanya kurang menghargai istri, sedangkan laki-laki African American malah justru kalah terhadap perempuan. Sebenarnya, aku tidak tahu mengapa aku mendengarkan Didi, padahal Didi sama sekali tidak berpengalaman dalam berpacaran.
"Anda mengharuskan pasangan date Anda single dan unattached. Apakah Anda bersedia dating dengan laki-laki yang statusnya baru pisah dari istri mereka?" tanya Sandra.
Tanpa berpikir aku langsung menjawab, "Nggak. Saya ingin mereka single se-single-single-nya. Tidak duda cerai, dan terutama tidak laki-laki yang secara hukum masih terikat pernikahan, meskipun mereka mengatakan mereka sudah pisah."
Ini adalah salah satu persyaratan yang sempat kubahas panjang-lebar dengan Didi. Aku dan Didi setuju, aku sebaiknya tidak melayani laki-laki beristri yang masih senang "belanja", tidak peduli apa pun alasan yang mereka kemukakan. Pendapat kami agak berbeda mengenai duda cerai. Menurut Didi, laki-laki yang sudah pernah bercerai bukan berarti laki-laki yang tidak bisa menjadi suami yang baik. Ada begitu banyak faktor yang bisa menjadi penyebab perceraian. Walaupun begitu, aku tidak mau mengambil risiko. Kami juga membahas mengenai duda yang ditinggal mati istrinya, baik duda yang tidak mempunyai anak maupun ada anak. Akhirnya, kami setuju bahwa aku harus menghindari duda jenis apa pun juga.
Sandra mengangguk. "Anda mencentang boks untuk area North Carolina saja," lanjut Sandra.
"Saya rasa akan lebih baik bagi saya mulai dengan laki-laki yang tinggal cukup dekat dengan saya, tetapi saya bisa mengubahnya nanti kan kalau misalnya saya tidak bisa menemukan pasangan yang cocok setelah enam bulan?" Aku mencoba menjelaskan alasanku mencentang pilihan itu.
"Oh, Anda tidak perlu khawatir soal itu. Saya cukup yakin Anda akan menemukan pasangan yang cocok dalam waktu enam bulan." Sandra terdengar yakin.
"Oh, ya?" tanyaku bingung dan kaget.
Sandra mengangguk. "Anda adalah tipe wanita yang biasanya dicari laki-laki dalam suatu relationship."
"Oh," adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulutku. Aku merasa terlalu ge-er untuk menanggapi pernyataan Sandra dengan kata lain, meskipun kalau aku mau jujur dengan diriku sendiri aku tahu itu memang kenyataannya. Aku memang tidak pernah mengalami masalah untuk menggaet laki-laki, tetapi mendengar seseorang mengkonfirmasikan sesuatu yang aku hanya bisa rasakan, masih tetap
membuatku canggung.
Sandra tertawa melihat reaksiku.
"Anda tidak perlu menjawab pertanyaan berikut ini, tetapi kalau Anda bisa itu akan sangat membantu kami lebih memahami Anda dan menemukan pasangan yang paling cocok untuk Anda."
"Go ahead," ucapku, mengizinkan Sandra menyampaikan pertanyaannya.
"Apakah yang membuat Anda datang ke MBD?"
Aku tertawa sebelum menjawab. "Saya baru putus dari hubungan yang cukup serius beberapa bulan yang lalu. Setelah melakukan makeover, termasuk memotong pendek rambut saya, membeli baju baru dengan warna yang lebih cerah, saya memutuskan melanjutkan hidup dan datang ke MBD."
"Well said," balas Sandra penuh pengertian. "People should quote those words that you just told me and turned it into a movie or something."
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar komentarnya. Kini aku memang bisa menertawakan keadaanku, tetapi tidak tiga bulan yang lalu. Aku tidak menceritakan kejadian sebenarnya bahwa aku melihat Brandon, pacarku selama tiga tahun, selingkuh dengan asistennya. Aku ingat betul kejadian pada akhir bulan Mei lalu itu. Aku baru saja sampai di apartemen pukul enam hari Jumat sore ketika
Brandon menelepon untuk menunda date kami karena dia harus lembur. Dia berjanji akan menelepon kembali setelah pekerjaannya selesai. Aku tentunya tidak berkeberatan, aku justru senang karena pacarku begitu tekun dengan pekerjaannya. Beberapa minggu ini memang Brandon sering pulang malam karena salah satu klien terbesarnya sedang terkena kasus. Sebagai salah satu pengacara termuda di kantornya, aku justru merasa bangga karena para partner di kantornya melibatkan pacarku untuk menyelesaikan kasus itu sehingga aku sama sekali tidak curiga akan jam kerjanya yang tiba-tiba berubah.
Aku lalu menyempatkan diri membuatkan pasta jamur kesukaannya karena aku tahu dia pasti akan datang dengan wajah kelaparan, seperti biasanya. Akan tetapi, setelah menunggu hingga pukul tujuh malam dan Brandon masih belum telepon juga, akhirnya aku pun menghubungi kantornya. Anehnya tidak ada yang mengangkat. Aku lalu menghubungi telepon selularnya, tapi panggilanku langsung
masuk ke voicemail. Dengan pemikiran bahwa aku akan memberikannya kejutan jika aku muncul di kantornya dengan membawa makan malam untuknya, aku menempuh jarak 30 menit untuk tiba di bangunan kantornya yang terlihat sepi kecuali bagian lobinya.
"Hello, Miss Titania, coming to see Mr. Brandon?" tanya Leonard, satpam kantor Brandon. Ia tersenyum ramah dan aku bisa melihat deretan giginya yang putih, kontras sekali dengan kulitnya yang berwarna ebonit.
"Yes, is he still here? Saya bawakan dia makan malam," balasku tidak kalah ramahnya. "Apakah kamu sudah makan malam?"
"You are a sweet woman. Ya, saya sudah makan sekitar satu jam yang lalu, thanks for asking."
Aku tersenyum mendengar jawaban Leonard. Itulah salah satu sebab mengapa aku menyukai North Carolina, orang-orangnya sangat ramah.
"Mr. Brandon masih di atas dengan Miss Bella. Sebentar, saya telepon beliau dulu untuk memberitahu bahwa Anda ada di sini," ucap Leonard lagi. Ia lalu mengangkat telepon.
Aku mengangguk. Rupanya memang kasus yang Brandon hadapi cukup serius karena bahkan Bella, asistennya, juga harus lembur.
"Tidak ada yang menjawab." Leonard terlihat sedikit bingung. "Mari, saya antar Anda ke ruangannya," ucap Leonard. Aku tahu bahwa di kantor Brandon apabila ada nonpegawai yang ingin masuk ke dalam, maka ia harus ditemani oleh salah
satu pegawai.
Leonard mengiringiku ke lift dan mengantarku ke ruangan Brandon di tingkat delapan. Ketika pintu lift terbuka, lantai itu terlihat sepi dan redup. Leonard kemudian berjalan menyeberangi ruangan yang dipenuhi dengan meja-meja yang dipisahkan oleh beberapa sekat, tempat para asisten duduk pada siang hari. Aku tidak melihat Bella di mana pun juga. Aku hampir tidak mengenali ruangan ini. Terakhir kali aku ada di dalam ruangan ini ketika Brandon membawaku untuk dikenalkan kepada kolega-koleganya hampir dua tahun yang lalu, dan pada saat itu semuanya terlihat sibuk, bahkan ramai.
"Sepi sekali," gumamku. Aku masih belum curiga ada sesuatu yang aneh dengan keadaan ini.
Leonard hanya mengangkat bahunya, dan terus berjalan menuju ruangan yang berseberangan dengan lift. Kami berdiri di depan pintu kayu berwarna cokelat tua yang tertutup. Jendela sepanjang dua meter, yang terletak di sebelah pintu, juga tertutup oleh kerai kayu horizontal. Ada sinar terang yang menembus ke luar, menandakan masih ada orang di dalamnya. Leonard bersiap-siap mengetuk pintu itu, tetapi aku berbisik perlahan.
"Biar saya yang melakukan.
Saya ingin membuat kejutan untuknya." Leonard menyeringai, dan berjalan kembali menuju lift. Aku tersenyum melihat wajah Leonard. Dalam hati aku berjanji akan membuatkan kue cokelat untuknya, yang bisa dibawa Brandon pada hari Senin. Setelah menarik napas aku pun membuka pintu itu perlahan-lahan, sebisa mungkin tidak mengganggu konsentrasi Brandon apabila dia sedang bekerja. Akan tetapi, apa yang kulihat cukup membuatku ternganga. Pacarku dan Bella dalam posisi "doggy style". Pakaian mereka masih cukup lengkap di bagian atas, tetapi tidak ada sehelai pakaian pun dari pinggang ke bawah.
Aku mendengar suara orang berteriak kaget, dan aku baru sadar bahwa suara itu adalah suaraku. Otomatis dua pasang mata langsung mengarah kepadaku. Mata Brandon langsung melebar ketika melihatku.
"Excuse me," ucapku, dan buru-buru lari menuju lift. Aku tidak berhenti berlari hingga sampai di dalam mobil. Aku bahkan tidak menghiraukan Leonard, yang menanyakan apakah ada masalah ketika melihatku berlari melewati lobi bagaikan dikejar setan. Aku tidak bisa berkata-kata, bahkan tidak mampu menangis. Aku masih shock.
Untung saja aku selalu menolak tinggal bersama Brandon selama kami berpacaran sehingga aku masih punya tempat tinggal setelah kejadian itu. Walaupun begitu, aku merasa apartemenku tidak bisa memberikan kenyamanan dan keamanan yang aku inginkan. Selama dua minggu aku terpaksa tinggal dengan Didi di Washington D.C. untuk menghindar dari Brandon, yang setelah kutemukan sedang ML dengan asistennya selalu meneleponku, mendatangi apartemenku, bahkan menggangguku di kantor untuk meminta maaf. Setelah tahu aku tidak akan pernah memaafkannya, Brandon berubah menjadi seorang stalker. Ia meneleponku siang dan malam hanya untuk menutup kembali telepon itu apabila aku mengangkatnya. Dengan rasa kesal akhirnya aku meneleponnya untuk mengajaknya bertemu dan memutuskan hubunganku dengannya selama-lamanya.
Aku mengajaknya bertemu pada hari Minggu siang di tempat yang ramai untuk mencegah pertemuan itu berubah menjadi sebuah konfrontasi yang akan melibatkan kekuatan fisik. Selama tiga tahun kami bersama-sama, Brandon memang sama sekali tidak pernah berbuat kasar terhadapku. Akan tetapi, Brandon laki-laki dan secara fisik dia lebih kuat daripada aku. Apalagi Brandon sedang terluka, dan aku tahu orang yang dalam kondisi seperti ini akan memiliki kecenderungan mudah kalap kalau keinginannya tidak dipenuhi.
Brandon sedang duduk sendiri di meja favorit kami di restoran yang dia pilih ketika aku datang. Sekali lagi aku harus mengakui Brandon adalah laki-laki paling ganteng yang pernah aku pacari. Kemeja biru yang dikenakannya menempel dengan sempurna pada bahunya yang tegap. Kedua lengannya yang berotot ditutupi oleh sedikit bulu berwarna cokelat muda. Dia tersenyum dan aku kembali ke realita. Didi pernah berkata bahwa senyum Brandon selalu terlihat palsu dan tidak tulus. Aku tidak pernah mengerti apa yang dimaksud Didi hingga saat itu. Senyum itu terlihat licik.
"Let's get this over with," ucapku tegas, lalu duduk di kursi di hadapan Brandon.
Brandon terlihat kaget mendengar nadaku, tetapi ketika melihatku duduk dia pun menatapku dengan penuh harap. Dia masih tersenyum, kemudian pandangannya tertuju ke dua kantong besar dari Old Navy yang ada di genggamanku dan senyumnya langsung hilang dalam sekejap mata.
"Do you want anything to eat?" tanyanya.
Seorang waiter mendatangiku, tetapi aku tidak memesan apa-apa. Aku tahu, aku
tidak akan mampu berlama-lama duduk berhadapan dengan Brandon tanpa merasa ingin menamparnya.
"Aku ke sini untuk memberitahu kamu agar berhenti menggangguku. Aku tidak ingin ada hubungan apa-apa lagi dengan kamu sampai kapan pun juga."
Aku lalu berdiri dan menyerahkan dua kantong yang tadi aku bawa kepadanya. "Aku sudah membereskan barang-barang kamu yang masih ketinggalan di apartemenku. Semuanya ada di dalam kantong-kantong ini. Have a nice life," ucapku, lalu berdiri dan melangkah meninggalkannya. Brandon menatapku dengan mulut terbuka.
Kemudian tanpa kusangka-sangka Brandon juga berdiri dan menarik lenganku. "Apakah kamu bahkan tidak ingin tahu mengapa aku melakukan itu?" tanyanya. Matanya menatapku dalam. Aku melihat ada kemarahan dan kebencian di situ.
"Oh, aku tahu alasannya," jawabku.
Aku tahu alasan utama mengapa Brandon selingkuh, tidak lain karena seks. Selama ini aku sangat bersyukur karena telah menemukan Brandon, laki-laki yang berbeda dari pacar-pacarku sebelumnya. Dia memahami prinsipku yang tetap ingin menjadi perawan hingga aku menikah. Aku bahkan tidak pernah menyangka Brandon selingkuh karena dia tetap selalu perhatian terhadapku sampai Didi
menempelkan ide itu di kepalaku ketika aku menceritakan tentang perselingkuhan Brandon.
"Cara Brandon memperlakukan Mbak kayak dia sedang menebus dosa. Dia terlalu perhatian."
Kata-kata Didi itulah yang membuatku mencoba mengingat-ingat, apakah aku bisa melihat ada perubahan dalam diri Brandon selama beberapa bulan terakhir? Aku baru sadar Brandon jadi semakin sering mengajakku ke luar makan malam dan memberiku hadiah-hadiah romantis dan mahal. Awalnya hanya bunga mawar putih setiap kali dia muncul di apartemen, tapi kemudian dia muncul dengan gelang dari Tiffany‟s atau syal dari Burberry.
"Tolong jawab satu hal ini. Apakah dia satu-satunya atau ada perempuan lain
sebelum dia?" desisku.
Brandon tidak menjawab, tetapi dari sorot matanya aku tahu ternyata dugaan Didi benar. Aku harus menarik napas dalam dan menahan diriku tidak mengguyurkan satu pitcher bir yang ada di meja kami ke kepalanya. Bagaimana mungkin aku bisa sebuta ini? Bagaimana mungkin Didi, adikku yang dua tahun lebih muda dariku dan juga masih perawan dan rekor dating-nya sangat minim, bisa lebih punya intuisi membaca gelagat Brandon daripada aku?
Kulepaskan cengkeraman Brandon dari lenganku dan bergegas melangkah ke luar restoran. Aku tidak memedulikan tatapan beberapa orang di dalam restoran yang cukup padat itu. Sinar matahari yang terik langsung menyambutku. Kukenakan kembali kacamata hitam yang tadi aku gantungkan di kerah kausku.
Tiba-tiba kudengar pintu restoran terbuka dengan bantingan yang cukup keras, dan kulihat Brandon sedang menuju ke arahku. Wajahnya seperti badai, penuh dengan kemarahan. Aku tahu bahwa aku hanya akan mengundang masalah apabila tidak menjauh darinya saat itu juga, tetapi aku penasaran ingin tahu apa yang ingin dia katakan kepadaku sehingga membuatnya terlihat seperti itu.
"Apakah kamu tahu bagaimana rasanya tidak mendapatkan seks selama dua tahun?!" teriaknya kepadaku.
Kukerutkan keningku, mencoba mengingatkannya bahwa kami sedang berada di tempat umum dan tingkah lakunya yang seperti orang kesurupan menarik perhatian semua orang yang ada di teras restoran. Kemudian aku tersadar oleh kata-kata terakhir Brandon. Dia ternyata sudah tidak jujur terhadapku selama setahun terakhir ini.
"Jadi, kamu sudah selingkuh selama setahun terakhir ini, ya?" tanyaku santai.
"Ya, kamu terlalu sibuk dengan hidup kamu sendiri sehingga kamu nggak pernah memperhatikan aku. Ada empat perempuan lain sebelum dia, dan we did it everywhere. Termasuk di atas tempat tidurku." Brandon menutup penjelasannya.
Luapan kemarahan yang sudah aku coba tahan naik ke permukaan. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan aku terlalu sibuk dengan kehidupanku sehingga tidak memperhatikan dia? Selama tiga tahun dia pikir aku sedang berbuat apa?
"Apakah itu alasannya mengapa kamu keluar dari restoran sambil marah-marah? Untuk mempermalukan diri kamu sendiri dengan mengumumkan perselingkuhan kamu kepada seluruh Winston-Salem?" Meskipun darahku sudah mendidih, anehnya suaraku masih terdengar tenang.
Aku mendengar seseorang berteriak, "Laki-laki itu perlu ditampar."
"Setuju...," sambut beberapa orang lainnya.
Seakan-akan baru sadar bahwa tidak hanya aku yang baru saja mendengar pengakuannya, Brandon menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan hal itu. Ketika sadar apa yang telah dilakukannya, Brandon terlihat semakin marah dan berjalan mendekatiku. Baru saja dia berjalan dua langkah, dua laki-laki berbadan tinggi besar mencengkeramnya dan mendorongnya untuk menjauhiku. Salah satu
dari mereka berambut cokelat, dan yang satu lagi mengenakan topi baseball berlogo Wake Forest University.
"Walk away, man," ucap laki-laki yang mengenakan topi Wake Forest University itu.
Brandon kemudian berjalan menjauhiku, tetpai sebelumnya dia berteriak, "Kamu lihat saja, tidak akan ada laki-laki yang mau dengan kamu! Tidak akan ada laki-laki yang bisa tahan berhubungan dengan kamu! Akulah satu-satunya laki-laki untuk kamu!"
Sepanjang sejarah aku tidak pernah dihina oleh siapa pun juga seperti Brandon baru saja menghinaku. Aku sudah berniat menampar Brandon saat itu, tetapi terlambat orang lain telah melakukannya untukku. Laki-laki yang berambut cokelat telah melayangkan kepalan tinjunya ke sisi kanan wajah Brandon, dan aku mendengar bunyi "crack" yang cukup keras.
Kulihat Brandon mundur beberapa langkah karena terkejut dengan serangan tiba-tiba itu. Darah segar mulai menetes dari pelipisnya, yang kini ditandai garis warna merah yang cukup panjang tepat di samping alisnya.
"That's not the way to talk to a lady," geram laki-laki yang baru melayangkan kepalan tinjunya.
Brandon terlihat ingin melakukan serangan balik ke laki-laki itu. Aku yakin dia akan bisa mengalahkan laki-laki berambut cokelat itu karena Brandon jelas-jelas lebih tinggi dan tubuhnya lebih gempal. Akan tetapi, ketika ia melihat laki-laki yang mengenakan topi Wake Forest itu sedang bertolak pinggang, Brandon berpikir dua kali sebelum meluncurkan serangannya. Untuk pertama kalinya aku menyadari
bahwa meskipun laki-laki bertopi itu lebih kurus daripada Brandon, kedua lengannya terlihat kekar. Cukup kekar untuk mencekik Brandon sampai dia kehabisan napas. Setelah memberikan tatapan ganas kepadaku, Brandon kemudian melangkah pergi yang diikuti oleh teriakan "booooo" dari beberapa orang yang menonton kejadian itu.
"Ma'am... are you alright?" tanya laki-laki bertopi itu lagi, sambil berjalan ke arahku. Aku tidak bisa betul-betul melihatnya karena wajahnya tertutup oleh bagian luar topi tersebut.
Aku mengangkat tangan dengan telapak menghadap ke arah laki-laki bertopi tersebut, dan mengangguk. "Thank you for that," ucapku. Laki-laki bertopi itu mengerti sinyalku, dan menghentikan langkahnya.
"It was our pleasure," balas laki-laki yang berambut cokelat, yang setelah aku perhatikan mengingatkanku akan seekor Panda. Mungkin karena senyumnya yang sumringah, tatapannya yang bersahabat, atau matanya yang dalam. Temannya yang bertopi menyentuh ujung topinya.
Aku lalu berjalan menuju mobil, dan meluncur pulang. Malam itu juga aku berangkat ke Washington D.C.
Pertanyaan Sandra menarikku kembali ke masa kini. "Jadi, Anda mencentang 'Looking for a serious relationship' sebagai pilihan Anda. Betul?"
Ya. Saya sudah 27 tahun, dan sekarang tampaknya waktu yang tepat untuk mulai suatu hubungan yang superserius," jelasku. Ada beberapa alasan lain tentunya, tetapi aku tidak akan menceritakannya kepada Sandra. Dia adalah agen kencan butaku, bukan seorang psikolog.
Sandra tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasanku. "Saya mengerti maksud Anda. Pokoknya, Anda tidak perlu khawatir. Banyak klien laki-laki kami yang menginginkan hal yang sama."
Aku mengangguk. Justru yang aku khawatirkan adalah tidak ada satu pun dari laki-laki yang sesuai dengan kriteriaku itu bersedia menjalin hubungan serius denganku. Selama tiga bulan berulang kali kuputar percakapan terakhirku dengan Brandon. Entah mengapa, tetapi kata-katanya, "Kamu lihat saja, tidak akan ada laki-laki yang mau berhubungan dengan kamu. Tidak akan ada laki-laki yang bisa tahan berhubungan dengan kamu," semakin hari semakin menggangguku. Apakah ada yang salah denganku? Apakah memang benar tidak ada laki-laki lain yang akan mau berhubungan denganku? Kalau saja aku mendengar ucapan seperti ini tiga tahun yang lalu sebelum aku mengenal Brandon, aku akan tertawa terbahak-bahak karena jelas-jelas itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Entah bagaimana, tampaknya selama tiga tahun aku bersama Brandon tanpa aku sadari lambat laun aku sudah kehilangan jati diri dan kepercayaan diriku.
Berulang kali Didi memastikan aku bahwa Brandon hanyalah laki-laki idiot yang tidak bisa menghargai diriku, dan Didi memintaku melupakan semua kata-kata yang pernah diucapkan Brandon kepadaku. Terutama kata-kata yang menyakitkan hatiku.
"Oke, pertanyaan terakhir." Suara Sandra lagi-lagi menyelamatkanku dari mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu itu. "Untuk body type, Anda menulis 'Athletic, I dont' mind chubby but not obese'."
Aku tertawa mendengar tulisanku dibaca kembali oleh Sandra. "Oh.... man, I sound so shallow now that you are reading it back to me."
Sandra pun ikut tertawa. "Nggak... jangan khawatir tentang itu. Kalau itu
memang pilihan Anda, kami akan berusaha sebaik mungkin menemukan pasangan yang cocok untuk Anda."
Aku sangat berharap MBD tidak akan mengecewakanku karena sejujurnya inilah satu-satunya jalanku bisa menunjukkan kepada Brandon bahwa aku bisa menemukan laki-laki yang menginginkanku, bahwa mungkin mencintaiku.
Setelah selesai interview, Sandra lalu menjelaskan perjanjian yang harus aku tanda tangani. Garis besar perjanjian itu berisikan tentang hak-hakku sebagai klien, dan beberapa peraturan yang sebaiknya dipatuhi oleh setiap klien. Beberapa peraturan itu adalah:
1. Untuk setiap kencan pertamaku, MBD akan mengaturnya untukku. Jika aku menemukan kecocokan dengan date-ku maka mereka memberiku kebebasan mengatur kencanku selanjutnya sendiri.
2. Aku harus makan di restoran yang telah dipilih oleh mereka untuk setiap kencan pertamaku karena ini salah satu cara MBD menjaga keselamatanku.
3. Aku diwajibkan menelepon MBD jika akan terlambat lebih dari 15 menit untuk kencanku agar date-ku tidak harus menunggu lama atau apabila kencanku harus dijadwal ulang.
4. Setiap klien wajib membayar makanan mereka masing-masing. Awalnya aku agak bingung dengan peraturan ini, tetapi kemudian aku dapat memahami logikanya. Tentu saja MBD tidak akan membebankan setiap makan malam atau makan siang kepada klien laki-laki.
Setelah kutandatangani perjanjian itu, kukeluarkan American Express-ku untuk membayar biaya jasa mereka sebesar dua ribu dolar. Hal ini akan mengikat MBD denganku selama enam bulan ke depan. Sandra kemudian memastikan semua pertanyaanku sudah terjawab, lalu menggiringku ke luar ruangannya dan mengantarku hingga ke mobil. Dia berjanji akan menghubungiku lagi secepatnya untuk mengatur jadwal kencanku.