Setengah jam kemudian sedan tua milik papanya Evan memasuki basement Orchid Plaza.
Sepanjang perjalanan menuju Orchid Plaza Evan tidak banyak bicara, dia hanya diam seperti sedang memikirkan sesuatu. Sesekali dia melirik kepada Lena yang terlihat ceria dan bahagia.
Evan tidak menyangka kalau perempuan yang saat ini duduk di sampingnya begitu cantik dan feminim. Dia merasa grogi duduk berduaan di dalam mobil dengan Lena.
Evan ingin sekali memegang tangan Lena dan mencium pipinya, tapi dia segera mengurungkan niatnya. Jantungnya berdebar-debar, ia seperti anak abg saja saat itu.
Tiba di Orchid Plaza jantung Lena juga semakin berdebar-debar. Dia menunggu Evan menggandeng tangannya lagi, walaupun dia tahu kalau sekarang status mereka masih berteman.
Mereka berdua keluar dari mobil lalu berjalan ke arah lift yang berada di dekat tempat parkir motor. Evan melangkah di belakang Lena sambil memperhatikan perempuan tersebut dengan seksama.
Dia benar-benar terpesona dengan penampilan Lena malam itu. Di dalam lift, Lena tiba-tiba bertanya kepada Evan yang terlihat sedang melamun.
"Van, lo mau makan malam di mana?"
Evan tidak menggubris pertanyaan Lena, dia asyik melamun sendiri.
"Vaann ... lo lagi ngelamun, ya?" Lena menepuk bahu Evan.
"A--apa, Len? Lo manggil gua?" Evan gelagapan.
"Iya. Mau ke lantai berapa? Cari makan dulu atau langsung ke bioskop?" tanya Lena sedikit kesal.
"Ke foodcourt dulu aja, gua lapar nih." Evan memegangi perutnya.
"Oke deh, gua juga lapar." Lena menekan tombol lantai 2 tanpa melihat pada Evan.
Tidak sampai 5 menit, mereka berdua keluar dari lift lalu berjalan menuju foodcourt. Sebelum memilih-milih menu makanan yang terdapat di situ, Lena merasa kepalanya sangat pening. Dia menghentikan langkah lalu cepat-cepat duduk di kursi kosong di dekat gerai masakan sunda.
Spontan Evan terkejut melihat Lena tiba-tiba duduk di kursi rotan sambil menyentuh dahinya. Dia segera menarik kursi lain kemudian duduk di samping Lena.
"Lo kenapa? Kok tiba-tiba duduk di sini? Lo pusing, Len?"
"Vertigo gua kumat nih. Lo pesen makan aja dulu, nanti gua susul." Dia menelungkupkan wajahnya di atas meja.
"Gak bisa gitu dong, masa gua ninggalin lo sendiri di sini? Lo bawa obat vertigonya?" tanya Evan cemas.
"Gak tahu, gua lupa. Tolong cariin di dalem tas gua, Van. Gua pusing banget."
Segera Evan mengambil tas Lena yang tergeletak di meja lalu mencari obat yang dimaksud. Beberapa saat kemudian, dia mengeluarkan setengah strip obat vertigo dan memberikannya pada Lena.
"Ini obatnya, gua beli minum dulu ya," ujar Evan.
Lena tidak membalas ucapan Evan, dia merasa tubuhnya lemas dan berkeringat dingin. Sementara Evan membeli sebotol minuman di sebelah gerai masakan sunda tadi.
"Untung di sini jual air mineral, sebenernya dia sakit apa sih?" gumam Evan.
Evan kemudian kembali ke tempat Lena duduk, dia menarik tubuh Lena yang lemas dan menyandarkannya di kursi. Dia terkejut ketika melihat wajah Lena yang pucat.
"Ya ampun, muka lo pucet banget. Habis minum obat kita pulang ya. Lo harus istirahat," ucap Evan khawatir.
"Iya ... maaf ngerepotin lo," balas Lena lirih.
"Obatnya diminum dulu, nanti kalau udah agak enakan gua beli makanan buat lo." Evan menyodorkan obat dan minuman kepada Lena.
"Sebenernya lo sakit apa? Adik gua juga punya vertigo kayak lo, tapi gak sampai lemes dan pucet gitu." Evan duduk di samping Lena, dia mendekatkan wajahnya pada Lena.
"Hmm ... gua vertigo udah dari jaman kuliah. Gua pikir penyebabnya dari lambung," jelas Lena pelan sehabis minum obat.
"Makanya jangan sering telat makan. Gua sayang sama lo, Len."
"Apa hubungannya sayang sama telat makan? Gak ngerti." Lena segera mengalihkan pandangan dari Evan, dia takut kalau Evan bisa membaca pikirannya.
"Ya adalah, gua sayang sama lo. Kalau lo sering telat makan terus sakit, gua gak ada temen curhat lagi dong." Evan terkekeh melihat Lena salah tingkah.
"Tau dari mana kalo gua sering telat makan? By the way, temen curhat atau sahabat?" tanya Lena penasaran.
"Maunya gimana? Temen atau sahabat?" Tatapan Evan sangat dalam.
Gua maunya jadi pacar elo, Evan. Mana ada sahabat atau teman curhat tapi mesra kayak gini.
"Jujur ya, gua belum pernah sedeket ini sama cowok yang baru kenal satu minggu," ungkap Lena.
"Maaf, kalau lo jadi gak nyaman sama sikap gua selama ini." Evan memegang tangan Lena dengan hangat.
"Lho kok pegang-pegang tangan gua, sih? Cukup, Van! Gua muak sama semua sikap dan tingkah laku lo!" Lena hendak beranjak dari kursi namun dia masih merasa agak lemas.
"Oke! Besok di Lembang gua mau ngomong sesuatu sama lo! Sekarang gua beli makanan dulu buat kita, lo tunggu di sini." Evan segera bangkit dari duduknya lalu pergi menuju gerai masakan chinese food.
"Van! Tunggu!" teriak Lena.
Evan tidak menggubris teriakan Lena, dia merasa kesal karena Lena tiba-tiba marah saat tangannya dipegang Evan tadi.
Kenapa dia semarah itu waktu gua megang tangannya? Gua kan sayang sama dia, memang salah kalo gua pengen deket sama dia?
Di gerai Chinese Food, Evan membeli dua gelas teh panas, cumi goreng mentega serta udang asam manis untuk mereka berdua.
Tidak berapa lama sesudah membeli teh dia kembali menghampiri Lena yang nampak kesal dan bingung.
"Minum dulu nih tehnya, sambil nunggu pesanan datang." Evan menyodorkan gelas itu kepada Lena.
"Makasih buat tehnya. By the way maafin gua karena tadi marah-marah sama lo," sesal Lena.
"Gak apa-apa, gua ngerti perasaan lo," balas Evan.
"Tadi beli makanan apa di sana?" Lena menunjuk ke arah gerai Chinese Food.
"Beli udang asam manis buat gua sama cumi goreng mentega buat lo. Doyan, kan?" Evan tersenyum lembut.
"Doyan," jawab Lena lalu meminum teh panas sedikit demi sedikit. Evan juga melakukan hal yang sama dengan Lena.
Lima belas menit kemudian, makanan yang dipesan Evan pun datang. Seorang pelayan memakai kemeja berwarna merah menghampiri mereka di meja sambil membawa dua bungkus makanan berisi udang dan cumi.
"Ini Pak, pesanannya. Terimakasih sudah memesan makanan dan minuman di gerai kami," ucap pelayan ramah.
"Sama-sama, Mas. Terimakasih kembali," balas Evan.
Setelah berbasa-basi sedikit dengan pelayan tersebut, Evan bangkit berdiri dan menggandeng tangan Lena. Sebenarnya dia merasa agak risih waktu Evan menggandeng tangannya, namun karena masih lemas Lena pun tidak menolak.
"Kita pulang, ya," ajak Evan pada Lena.
"Bentar, tadi pas di rumah gua lo bilang mau ngomong sama gua. Mau ngomong apa, Van?"
"Gak jadi ngomongnya, besok aja di Lembang, ya," jawab Evan.
"Kenapa gak jadi?" Lena penasaran.
"Sekarang belum tepat waktunya buat ngomongin itu, lagian lo juga gak enak badan, kan?" Perasaan Evan agak kacau saat ditanya oleh Lena tadi.
"Gua udah mendingan, kok." Lena tetap ingin tahu apa yang hendak diucapkan Evan padanya.
"Udah besok aja, ok?"
"Iya, deh." Lena pun berdiri lalu mengikuti langkah Evan dengan gontai.
"Nanti sampe rumah, makan terus istirahat biar besok badan lo lebih fit." Evan tampak cemas dengan Lena yang masih agak lemas dan pucat.
Lena berjalan di sebelah Evan dengan berbagai pertanyaan di kepalanya. Sebenarnya dia belum ingin pulang, tapi mau bagaimana lagi? Evan malah menyuruh dia untuk istirahat karena besok pagi mereka akan pergi ke Lembang.
Kira-kira apa yang akan diucapkan Evan besok pagi di Lembang?
*****