Chereads / KIARA's / Chapter 9 - 008

Chapter 9 - 008

008

Kiara mematut dirinya didepan kaca kamar miliknya. Wajahnya terlihat polos natural tanpa riasan, dan tubuhnya sudah di balut kebaya yang diantarkan Vio kemarin. Tidak ada MUA yang bertugas menghias pengantinnya, Kiara hanya mengenakan baju kebaya tanpa riasan wajah sedikitpun membuat wajah itu sedikit pucat karena tidak tidur satu malam. 

Ini bukan seperti pernikahan sungguhan. Kiara sangat sakit hati dengan perilaku setiap manusia yang berada disekitarnya. Tidak ada lagi Kiara yang percaya diri dengan pakaian mencoloknya. Tidak ada lagi Kiara yang suka menebar senyum, julid, dan lainnya. Hari ini, Kiara yang dulu sudah berubah jadi Kiara yang baru. Dimana sifatnya lebih pendiam dan menunduk. Rasa percaya dirinya sudah hilang semenjak Papanya mengatakan bahwa dirinya tidak di anggap anak lagi. 

Lalu apa harapan Kiara?

Calon suaminya?

Bahkan pria itu pun Kiara belum tau wajahnya secara jelas, apalagi sifatnya. 

*****

" ... Aamiin ya rabbal alaamiin ..."

Penghulu mengakhiri ijab qobul, yang berarti status Kiara sudah berubah jadi seorang istri, bukan anak gadis lagi. 

Sungguh, ini memang bukan pernikahan yang Kiara inginkan. Lihatlah, bahkan ruangan tidak dihias, dan tidak ada tamu. Yang menghadirinya hanya kedua keluarga yang bersangkutan, serta penghulu dan dua saksi. Tidak ada jamuan, tidak ada resepsi, dan tidak ada kado-kado serta cindra mata yang indah. 

Jauh di dalam hati Kiara, hatinya teramat sakit apalagi saat sang Papa pergi meninggalkan acara begitu selesai ijab qobul. 

"Silahkan pasang cincin kawinnya." 

Kiara menatap Algi yang berada disebelahnya. Kemudian mengulurkan tangannya untuk mendapatkan dipasangkan cincin. 

Kiara akui, memang suaminya sangat tampan dan dewasa. Ah, umurnya saja Kiara tidak tau berapa. Begitu selesai, Kiara masangkan cincin ke tangan pria yang berstatus suaminya itu. 

Tidak ada adegan salaman atau cium kening. Hanya seperti itu acaranya. Kiara menunduk, meratapi nasibnya yang sangat buruk ini. 

Perlahan, orang-orang disana meninggalkan tempat acara ijab qobul, begitu juga penghulu. Kiara berharap setidaknya sang Papa tau kesakitan yang Kiara alami. 

Tapi seolah pria tua itu menutup matanya. 

Suara grasak-grusuk dari sebelahnya membuat wanita itu menoleh. Algi berdiri dan segera berjalan menjauh dari tempat itu tanpa sepatah katapun, yang kini hanya tersisa Kiara, Alfi, dan Vio. 

Ketiganya hanya diam dengan pikiran sendiri. Kiara tidak tau harus berbuat apa sekarang. Semua seolah Abu-abu dimatanya.

"Kak." 

Kiara mengalihkan matanya kearah gadis yang bernama Alfi itu. Gadis itu terlihat cantik dengan kebaya goldnya. 

"Kata Mama, kakak sama aku."

Kiara hanya mengangguk. Tidak paham maksud gadis itu, tetap saja mengangguk mengiyakan. 

"Selamat ya Kia." 

Kiara menatap Vio dengan datar. Mungkin hingga mati sekalipun Kiara akan sangat membenci Vio. 

"Semoga dikasih momongan cepat. Nggak sabar jadi Tante." 

Kiara tetap diam saja. Matanya menatap Vio yang berdiri dengan angkuh. 

"Doain, aku nyusul sama Gavin."

****

Seperti yang dibilang Alfi tadi, Kiara ikut bersama dirinya yang ternyata ke rumah  yang Kiara datangi bersama Papanya, Dean, dan Vio beberapa hari yang lalu. Mungkin ini rumah keluarga Algi. 

"Kak." 

Kiara menatap Alfi yang diam masih berdiam diri di stir mobil. Sementara dirinya menunggu Alfi keluar duluan. 

"Ini rumah Kak Algi." 

Kiara mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

Alfi menunduk. Seperti ada beban berat yang di pendam gadia SMA itu. 

"Aku minta Maaf sama Kakak perilaku Mama aku. Juga perilaku Kak Algi kedepannya nanti. Aku harap Kakak tahan sama Bang Algi." lirihnya pelan. 

Kiara sangat tidak paham maksud dari kata-kata Alfi barusan. 

"Kakak bakalan tinggal disini, bukan dirumah keluarga aku. Itu keputusan Mama. Sekarang kak Vio udah sering kerumah, makanya mama nggak mau kakak sakit hati mungkin. Aku nggak suka juga sih sama Kak Vio karena udah sering diperhatiin sama Mama sekarang. Masih kayak dulu, suka caper."

Kiara terkekeh mendengarnya. Apakah itu termasuk kalimat penenang? Hanya untuk sementara. Tapi, kalimat terakhir Alfi sangat menganggu pikiran Kiara.

"maksudnya kalian udah kenal dari kecil?"

Alfi mengangguk. "Kak Vio dulu sahabatan sama Abang karena rumah kita tetanggan waktu di London. Dia egois kak. Suka monopoli Abang sama dirinya sendiri. Apalagi Mama."

Kiara masih saja tidak paham. Tapi walaupun begitu, dirinya mengelus punggung Alfi dengan pelan.

"Sama. Aku juga nggak suka dia Fi. Dia emang egois."

"Aku sukur banget kak, bang Algi nggak jadi sama dia."

Kiara tersenyum hangat. Mungkin kedepannya Alfi bakalan jadi teman curhat dan bercurahnya. 

"Aku juga minta maaf Kakak harus kesini bukan kerumah." 

Kiara hanya mengangguk. Tidak terlalu protes dengan itu. 

"Gapapa Fi. Santai aja."

Alfi mengangguk singkat dan segera keluar dari mobil disusul Kiara.

"Ayo aku bantuin angkatin kopernya kak." 

Kiara tersenyum mendengar. Lalu segera membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper-koper miliknya yang berisi pakaiannya. 

"Banyak juga baju kakak." 

"Panggil Kak Kia aja Fi."

Alfi mengangguk dan menggerek satu koper, sementara Kiara menggerek dua koper. 

Keduanya masuk kedalam rumah. Alfi berhenti tepat di ruang tamu.

"Aku pulang dulu ya kak. Aku anternya sampe disini aja. Soalnya mama abis ini ada arisan."

Kiara mengangguk singkat. "Hati-hati ya."

Setelah mengangguk Alfi langsung ngacir keluar rumah. Berbeda dengan Kiara yang tampak bingung dengan rumah mewah ini. 

"Eh, udah datang Neng? Mari saya antar ke kamarnya."

Kiara mengalihkan matanya ke arah pembantu rumah. Dengan senyum tipis, Kiara mengikuti langkah pembantu itu.

*****

Kiara selesai menata barang-barangnya. Hari ini cukup melelahkan. Tapi setidaknya Kiara akan merasa tenang disini tanpa adanya adegan percaperan seperti dirumahnya dulu. 

Sedikit merasa aneh, karena di kamar ini hanya ada barang-barang Kiara, tidak ada barang-barang Algi sedikitpun. 

Setelah selesai berberes, kini Kiara mandi. Acara mandinya hanya memakan 10 menit, dan segera bersiap-siap untuk makan sore ini. Bagaimana tidak, Kiara bahkan belom memasukkan satu suap nasi ke dalam perutnya, membuat perut itu berbunyi. 

Wanita itu tersenyum kecil melihat pembantu rumah tangga Algi sedang duduk sambil memotong sayuran.

"Hai mbak." sapa Kiara dengan senyum tipis. Kiara memanggilnya mbak karena dilihat dari usianya masih muda. Mungkin umur 30 tahunan.

"Eh, eneng. Mau makan? Ini teh, saya masih masak." 

Kiara mengangguk. Kemudian ikut duduk disebelah si Mbak. Tangannya meraih satu kentang. 

"Biar aku bantuin ya mbak."

Tertawa didepan orang lain? Mungkin cukup bagus untuk menutupi luka dihatinya. Setidaknya orang tidak perlu tau dengan luka hatinya. Cukup Kiara saja. 

"Nggak usah atuh neng " 

"Aku bisa masak kok mbak."

"Tapi neng.."

"Nama mbak siapa? Biar enak gitu."

"Lilis neng."

Kiara manggut-manggut mendengarnya. Tangannya sibuk mengupas kentang. Mungkin Mbak Lilis juga bisa dijadikan teman.

"Nama yang bagus mbak."

"Ah, Eneng teh. Bisa aja."

Kiara tertawa mendengarnya. Apa itu? Mbak Lilis malu? 

Usai mengupasnya, Kiara segera memotong-motong kentang itu jadi beberapa bagian. Lalu menyerahkannya kepada Mbak Lilis. 

"Mbak disini tinggal berdua sama Algi?" tanya Kiara. Pasalnya hanya ada pembantu rumah tangga dirumah ini dari awal Kiara tiba hingga sekarang. Satpam hanya satu, itupun menjaga kompleks perumahan Algi ini. Kiara jadi heran ...

"Iya neng. Tapi bapak teh jarang pulang. Paling pulang sekali seminggu." 

Kiara menghentikan tangannya yang menggoreng kentang. Matanya menatap Mbak Lilis dengan kening berkerut. 

"Maksudnya mbak Algi jarang dirumah?" 

Mbak Lilis mengangguk. Kiara tersenyum samar mendengarnya. Harusnya dirinya senang, tidak bertemu Algi kan. Karena pasti pria itu sangat tidak nyaman dengannya mungkin karena belom kenal dekat. 

Saat keduanya sedang asik berceloteh ria, suara klakson mobil terdengar hingga kedapur. Mbak Lilis segera mencuci tangannta buru-buru. Kiara bingung melihatnya. 

"Eh, mau kemana mbak?"

"Bapak pulang. Saya buka gerbang dulu."

Kiara mencekal tangannya. "Biar aku aja mbak."

Tanpa mendengar jawaban Mbak Lilis, Kiara segera berlari kecil untuk membukakan gerbang rumah. Gerbang itu sangat tinggi dan berat. Kiara mendorongnya dengan susah payah. Begitu gerbangnya terbuka lebar, barulah mobil hitam milik Algi memasuki pelataran rumahnya. 

Begitu mobil mewah itu sudah masuk, Kiara segera menutup gerbang itu kembali. Kakinya berlari kecil mengejar Algi. Dirinya harus beradaptasi dengan suaminya itu. Bagaimanapun mereka suami istri bukan?

"Ah, tunggu!" pekik Kiara dengan nada setengah berteriak.

Pria bernama Algi itu berhenti, tanpa menoleh kearah Kiara. Kedua tangannya berada di dalam saku. Kemejanya masih sama seperti ijab qobul tadi. 

"Kamu sudah tau namaku?" tanya Kiara berbasa-basi, memulai pendekatannya. Setidaknya harapannya Algi dapat menerima dirinya. Tidak ada gunanya marah, toh sudah berlalu. 

Kiara akan berusaha mencintai pria itu, karena pernikahan dalam kehidupan Kiara hanya 1 kali. 

"Saya tidak peduli anda siapa."

*****