Kiara menatap nanar ATM card yang berada ditangannya kini. ATM card itu sudah tidak ada gunanya karena sudah terblokir.
Siang ini Kiara berniat untuk menarik uangnya, tapi begitu ditempat, ternyata ATM card_nya sudah terblokir. Jelas itu ulah sang Papa.
Segitu bencinya kah mereka sama Kiara sampe memblokir ATM card wanita itu? Entah bagaimana sekarang perasaan Kiara, yang jelas campur aduk jadi satu.
Ada rasa sakit hati, dendam, kesal, jadi satu. Entah ke siapa dirinya bisa melampiaskan kekesalannya. Kiara segera beranjak pulang dari pada disini seperti orang gila. Gadis itu memesan taxi online. Tak butuh waktu banyak, taxi-nya datang. Kiara segera naik dan duduk anteng.
Tangannya membuka dompetnya. Begitu melihat isi dompetnya hanya ada pecahan seratus ribu dua lembar membuatnya mendesah kesal. Lalu bagaimana kehidupannya kedepannya?
Meminta kepada Algi?
Itu mungkin solusi yang tepat. Mungkin setelah Algi pulang Kiara bisa memintanya. Tidak mungkin dirinya tida punya uang sama sekali bukan?
******
Malamnya, Kiara tidak melihat adanya tanda-tanda Algi akan pulang membuatnya kesal sendiri. Bukan karena matre, tapi wanita itu tidak tau kan siapa tau nanti ada tagihan listrik atau apa.
Matanya melirik jam, yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sejak kepergiannya tadi malam, sampai sekarang pria berstatus suaminya itu belum menunjukkan batang hidungnya.
Sungguh, pernikahan yang sangat buruk.
Karena sudah lelah menunggu, Kiara akhirnya masuk kedalam kamar miliknya. Mungkin dengan menidurkan diri bisa membuat pikirannya tenang dan jernih.
Jadi begini rasanya jadi istri yang harus mengatur keuangan? Ah, sial! Kiara kan belum disuruh membagi uang. Terlalu percaya diri.
Sudah hampir setengah jam Kiara merebahkan tubuhnya di tempat tidur, namun belum ada tanda-tanda matanya akan tidur membuatnya kesal sendiri.
Kiara kembali duduk. Pikirannya berputar saat masih remaja dulu. Dimana sang Papa yang sering memberikan dirinya perhiasan untuk dipakai agar orang tau bahwa dirinya orang berada, namun Kiara tolak begitu saja. Baginya, memakai perhiasan itu sana saja seperti memberikan nyawa kepada para pencuri.
Dan sekarang Kiara menyesal menolaknya. Andai dulu dirinya mau menerima perhiasan itu, mungkin sekarang Kiara tidak akan pusing memikirkan uang pegangannya.
"Algi gila!"
*****
"Pagi mbak," sapa Kiara dengan ramah.
Pagi ini, setelah sarapan. Kiara akan kerumah orang tuanya untuk meminta agar ATM card-nya tidak diblokir. Mungkin saja sang Papa mau kan.
"Pagi neng. Sarapan dulu neng."
Kiara tersenyum kecil dan duduk dimeja makan. Tangannya meraih satu roti, lalu mengolesnya dengan selai coklat. Begitu selesai, Kiara mulai menyantap sarapannya.
"Mbak, Algi kok nggak pulang ya?" tanya Kiara dengan mulut mengunyah roti.
Mbak Lilis yang sedang mencuci piring menoleh. Kemudian tersenyum kepada majikannya itu.
"Sabar atuh neng. Bapak teh udah biasa gini. Mungkin kerjaannya banyak."
Entah kenapa, Kiara sedikit tidak percaya dengan kalimat penenang itu. "Mungkin sih Mbak."
Kiara menenggak air putih, lalu berdiri. "Mbak, aku pergi dulu ya. Cuma bentar kok. Mbak hati-hati dirumah ya."
Mbak Lilis mengangguk. Kiara segera berjalan keluar dari rumah mewah itu. Kakinya berjalan menuju halte, yang jaraknya lumayan jauh dari komplek perumahan Algi. Kakinya terus berjalan menyusuri jalanan. Kiara tidak memiliki uang lebih lagi, jadi terpaksa dirinya naik angkot saja untuk menghemat.
Di halte, ada beberapa orang yang mungkin juga menuggu angkot. Kiara tersenyum singkat kepada beberapa orang yang tersenyum padanya.
"Nunggu angkot mbak?"
Kiara mengalihkan matanya kearah kiri, dimana seorang wanita yang menggandeng tangan anak nya yang Kiara taksir berumur 5 tahunan.
"Iya mbak." Jawab Kiara dengan sopan. Matanya menyipit saat tersenyum kepada wanita itu.
"Hati-hati diangkot mbak. Banyak copet."
Kiara mengangguk sebagai jawaban. "Makasih mbak."
10 menit kemudian, angkot datang. Kiara segara naik disusul dengan wanita tadi. Mungkin dirinya akan terbiasa hidup seperti ini.
*****
Kiara berlari kecil menuju pos satpam rumahnya. Di dekat gerbang, satpam rumah Kiara dulu terlihat sedang bersantai. Wanita itu tersenyum melihat itu.
"Pak!" panggilnya membuat pria tua yang tengah bersantai itu menoleh.
"Eh, neng Kiara."
Tanpa menunggu lama, satpam itu segera membuka gerbang agar Kiara bisa masuk. Senyum Kiara masih sama cerahnya seperti tadi.
"Papa dirumah?"
"Iya neng."
"Yaudah. Aku masuk dulu ya Pak. Bapak lanjut aja ngopinya."
Kiara segera berlari kecil memasuki rumahnya. Untungnya pintu rumah mereka itu terbuka, membuatnya jadi mudah masuk.
Kaki jenjang milik wanita itu menuntun nya me uju ruang makan. Karena masih terlalu pagi untuk pergi ke kantor. Harapan Kiara hanya satu, semoga Dean sudah pergi. Tepatnya kembali ke luar negeri.
Namun baru memasuki ruang makan, matanya sudah disuguhkan dengan pemandangan yang sangat mencekik hatinya.
Disana, Papa, Abang, dan Vio terlihat bahagia. Mereka terlihat tertawa, yang Kiara tidak tau entah membahas apa. Terlihat bahagia, tanpa beban sedikit pun.
Kiara mendekat perlahan, mengabaikan hatinya yang menjerit sakit melihat itu.
"Pa." panggilnya dengan nada suara bergetar.
Ketiga manusia itu menoleh, membuat Kiara memasang senyum lebarnya seperti biasa.
"Ck! Ngapain sih kesini!" cibir Dean langsung.
Kiara menunduk, tidak berani menatap wajah abangnya. Kemudian mendekati sang Papa yang menatapnya datar tanpa ekspresi.
"Pa," panggilnya lagi. Vio yang melihat itu mendesis kesal.
"Papa dipanggil." Celetuknya membuat Dion menatap Vio dengan senyuman.
"Iya Vio."
Menyesal sudah!
Kiara menyesal datang kerumah ini! Lihat, bahkan Papanya membalas kata-kata Vio dengan lembut serta senyuman, sementara Kiara?
"Pa, aku mau ngomong." Tukas Kiara dengan pelan. Sangat tidak nyaman dengan tatapan sinis abangnya.
"Ya?"
Kiara tsrsenyum saat Papanya merespon. Walaupun singkat, tapi setidaknya di respon.
"Pa, aku nggak punya uang lagi. Papa kenapa blokir ATM--"
"Karna kamu bukan anak Papa lagi." Celetuk Dean memotong kalimat Kiara.
Tidak Kiara pungkiri, hatiny berdenyut sakit saat abangnya mengucapkan kalimat itu dengan frontal. Tanpa peduli dengan mental dan hatinya.
"Ta-tapi aku nggak punya uang lagi." lirih Kiara pelan dengan kepala menunduk.
"Itu deritamu sendiri sih." Sahut Dean lagi. Kiara semakin menundukkan kepalanya.
"Kamu butuh berapa?"
Kiara mengangkat kepalanya dan tersenyum cerah. Itu, itu suara Papanya. Benar kan, Papanya tidak membenci dirinya. Kata-kata kemarin hanya omong kosong!
"Aku nggak butuh banyak Pa. Cuma buat pegangan."
Dion membuka dompet tebal miliknya, dan mengeluarkan uang berwarna merah beberapa lembar. Kemudian meletakkannya didepan Dean.
"Kamu kasih Dean, tapi suruh dia jangan injak rumah ini lagi kedepannya."
Usai mengatakan itu, Dion beranjak dan pergi dari sana. Mata Kiara berkaca-kaca mendengar kalimat menyakitkan itu.
Dean melemparkan yang itu tepat kearah Kiara, membuat uang itu berhamburan kesana kemari.
"Ambil! Sekali matre bakalan matre! Besok jual diri aja!"
Dean berdiri dan akan pergi dari sana. Namun seolah ada yang tertunggal, dirinya berbalik lagi dan meraih gelas yang berisi sisa susu miliknya.
Begitu gelas berisi susu itu ditangannya, Dean menyiramkannya tepat ke wajah adiknya tanpa bekas kasihan.
"Bonus." Ujarnya dan pergi dari sana.
Kiara meloloskan tangisannya begitu abangnya pergi dari ruang makan yang kini menyisakan Kiara dan Vio.
Kakinya melemah, berangsur luruh kelantai. Harga dirinya tidak ada dirumah ini. Apakah kelahiran Kiara suatu kesalahan?
"Makanya kalau nggak mau disakiti, jangan kesini!" desis Vio dengan nada tajam.
Kiara hanya diam, meresapi sakit hatinya yang terus berlanjut.
"Sok tegar!"
******