"Ersa, koq ruangan ini mirip villa kita, tapi…," kata Andre
Ersa melihat kalender. "Ya… kita ada di tahun 1943. Jaman Jepang."
Andre berkeliling villa mencari Vero dan Rachel. Di sana, mereka bertemu Rachel.
"Rachel, …," panggil Ersa dengan suara lirih.
Rachel menoleh. "Ersa, Andre… kita di mana?" tanya Rachel.
"Kita terjebak di dunia pararel. Ini dunia ghaib," kata Andre.
Andre dan Ersa berpandangan sejenak.
"Sudah, kita tak ada waktu lagi, Ersa. Kita harus cari teman-teman sebelum dua jam," kata Andre.
Ersa hanya diam mengangguk. Mereka mencari ke sekitar villa. Setelah lama berkeliling, mereka tak menemukan teman-temannya. Pencarian pun di lanjutkan ke hutan. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Dewi. Andre yang pernah melihat Dewi tak menaruh curiga.
"Dewi?" sapa Andre.
"Uhm … kamu …." Dewi menatap Andre keheranan.
"Iya, kamu ingat kan dengan benda ini? Aku cari kamu buat kembalikan cermin ini," kata Andre memberikan cermin tua itu.
Dewi menerimanya. "Terima kasih," kata Dewi singkat.
"Uhm … Dewi. Kamu lihat teman-temanku?" tanya Andre.
Dewi mengernyitkan dahi. Andre keluarkan handphonenya, dan dia tunjukkan foto teman-temannya pada Dewi.
"Kalo yang ini, aku lihat di dekat hutan," kata Dewi menunjuk foto Frans.
"Lalu, lainnya?" tanya Andre.
"Aku tak tahu. Andre, cepatlah ke sana. Di hutan sangat berbahaya," kata Dewi.
"Baiklah, aku akan ke sana," kata Andre.
Dewi mengantar Andre dan Ersa mencari Frans ke hutan. Sesampainya di hutan, mereka berteriak memanggil. Frans.
"Frans … Reza … Dimana kamu?" teriak Andre.
"Frans … Reza … Di mana kamu?" teriak Ersa.
Mereka bertiga berkeliling hutan. Sementara, Frans dan Reza yang terpencar terus berkeliling hutan. Dilihatnya hutan tersebut begitu gelap dan berkabut. Frans mendadak mendengar suara Andre dan Ersa.
"Andre, Ersa?" Barhinnya. Frans mencari sumber suara itu.
"Andre … Ersa … , teriak Frans.
Perlahan, Ersa mendengar sayup-sayup suara. Dia mendengar seaeorang memanggil nama Frans.
"Ndre, aku dengar suara Reza," kata Ersa.
"Di mana?" tanya Andre.
"Ssst… coba tenang," kata Ersa.
Andre pasang kuping, dan benar dia mendengar suara Reza. Mereka memanggil Reza.
"Reza!!! … ," teriak Ersa dan Andre.
Reza terkejut mendengar suara Amdre. Dia balas teriakan itu. "Aku di sini, Ndre," balas Reza.
Mereka bertiga segera mendatangi asal suara itu. Setelah agak lama, akhirnya Reza di temukan. Reza dalam kondisi terluka di kakinya.
"Reza, kamu baik-baik saja?" tanya Andre.
"Ugh!! Kakiku tadi terkesa sesuatu. Frans… kemana Frans?" tanya Reza.
"Belum tahu. Kemana Frans? Apa kamu tahu?" Andre balik bertanya.
"Tadi dia bersamaku. Hanya saja, ketika aku dan dia tahu-tahu terdampar disini, kita tak bisa keluar. Jalan selalu berputar" kata Reza.
Dari jauh, terdengar semacam suara kuda lumping, dan suara sinden bernyanyi. Reza begitu khawatir. "Ndre, cepat keluar dari sini. Cepat," kata Reza.
Andre membantu Reza untuk bangun. "Tapi, bagaimana Frans?" tanya Andre.
"Ndre, dia benar. Makhluk jahat menuju kemari. Cepat, kita keluar. Nanti kita cari Frans," kata Dewi.
Mereka akhinrnya keluar dari hutan, dan kembali ke dalam villa. Reza tampak syok. Mori memberi Reza air putih.
"Reza, kamu tunggu di sini. Ruangan ini sudah aku beri pembatas," kata Mori.
Mori memandang tajam pada Dewi.
"Andre, dia adalah salah satu makhluk itu," kata Mori pada Andre.
Andre terkejut. "De--Dewi?"
"Iya, Andre," kata Mori singkat. Dia menatap tajam Dewi. "Hei, kamu. Mengapa kau bantu Andre?"
"Saya membantunya karena saya mengetahui di mana rekan dia," jawab Dewi.
Mori hanya diam. Dia dan Dewi saling bertatapan. Dewi hanya diam, namun dia mengeluarkan selendang biru dan memberikannya pada Mori.
Mori mengangguk. Dia kembali berkata pada Andre dan Ersa. "Andre, Ersa. Salah satu dari kalian harus berjaga disini. Kita tak ada waktu. Waktu kita semakin tipis. Perisai ini pun semakin melemah."
Andre menyadarinya. Dia berkata pada Ersa.
"Sa, kamu temani Reza. Biar aku cari Frans," kata Andre.
"Baiklah, Sayang. Hati-hati," kata Ersa.
Mori melingkarkan selendang biru itu di lengan Andre. "Ini sebagai kamuflase saja, supaya makhluk halus mengira kamu adalah kaum mereka," kata Mori.
Sementara di hutan, Frans berusaha menembus kabut. Dilihatnya sebuah bangunan megah ada di depannya. "Loh, perasaan tadi aku ada di hutan. Ini bangunan apa ya?" tanya nya dalam hati.
Frans keheranan, namun rasa keheranannya itulah yang membuatnya masuk ke bangunan misterius itu. Frans menuju ke pintu depan, dan ternyata tak terkunci. Dilihatnya sebuah ruangan semacam ballroom yang cukup luas.
"Hmm, mumgkin aku bisa istirahat sejenak, tapj kenapa rumah sebesar ini tak ada orang?" bathinnya.
"Permisi, apakah ada orang disini?" teriak Frans.
Frans pasang kuping. Ternyata tak ada yang menyahut. "Permisi… apakah ada orang disini?" teriaknya sekali lagi.
Frans heran. "Mengapa tak ada jawaban?" Karena penasaran, Frans pun masuk. Dia kembali berteriak. "Permisi!! Apakah ada orang disini? Halooo ... ," teriaknya lebih lantang. Ketika dia masuk, tiba-tiba pintu tertutup sendiri.
Frans terkejut. Dia coba membuka pintu, namun pintu seperti terkunci. "Tolong!! Tolong!! Buka pintunya!" Frans mencoba membuka pintu, namun tak berhasil.
Sayup-sayup, Frans mendengar sebuah piano di mainkan. "Piano?" katanya dalam hati.
Frans berjalam menuju ke arah suara itu. Dan di ruang tengah, tampak seorang wanita yang asyik memainkan piano. Frans menyapanya. "Maaf, saya ingin menumpang," sapa Frans.
Perempuan itu tak menghiraukan. Dia terus memainkan pianonya. Frans merasa ada yang salah. Dan perasaannya terbukti, ketika dia menghentikan permainannya, ruangan itu berubah menjadi sangat mengerikan. Semuanya tampak menjadi seperti ruangan usang, dan penuh dengan darah. Wajah wanita itu begitu seram. Wajahnya hancur.
"Sial!!' kata Frans dalam hati.
Frans begitu kaget melihat wajah mengerikan wanita itu.
"Hihihi… kamu harus mati sekarang!" kata wanita itu menyeringai.
Kuku tangan dan taringnya memanjang. Lidahnya menjulur dan air liurnya menetes. "Anak muda… aku ingin darahmu!"
"Tidak! Aku tak mau mati di sini!" bathin Frans.
Dia hendak berlari ke depan, namun sudah banyak zombie yang menyerbunya. Beberapa diantarnya tubuhnya hanya sebagian yang berdaging. Wajahnya mereka begitu pucat dan busuk.
"Darah… darah … ," teriakan para zombie yang berjalan pelan mendekati Frans.
Zombie zombie itu terus mendekat, dan wanita itu mencoba mencengkeram bahu Frans, namun dia berhasil melepaskan cengkramannya dan memukul wanita itu. Frans berlari menghindari zombie-zombie itu. Dia berlari memasuki suatu ruangan, dan memblokadenya dengan benda berat.
"Uh… sial!! Kenapa harus begini?" kata Frans dalam hati.
Nafasnya terengah-engah. Di kala itu, Ada sebuah tangan yang menyentuh bahunya. Frans reflek menoleh ke belangkang. "Kyaaa!!" teriaknya, namun segera di bungkam oleh orang itu.
"Sst!! Jangan berisik!" kata Rachel berbisik.
Frans bernafas lega. Rachel memberi isyarat pada Frans untuk tenang.
"Rachel? Kamu koq disini? Bikin kaget aku aja," kata Frans berbisik.
"Frans, Vero sedang di bawa oleh hantu pemilik Villanya Andre. Hantu itu mengira dia anaknya," kata Rachel.
Tak lama kemudian, terdengar pintu di dipukul dengan keras. Suara para zombie terdengar. Mereka terus memukul pintu untuk masuk.
"Frans, ayo cepat keluar dari tempat ini. Aku tahu jalan keluarnya," ajak Rachel.
Frans tak berkata-kata. Dia langsung menuruti Rachel. Mereka berdua segera keluar melalui sebuah ruangan di kamar itu. Dengan menjebol sebuah pintu, akhirnya Frans dan Rachel berhasil keluar, dan mereka kembali ke hutan.
Mereka berjalan melewati hutan. Ketika tengah berjalan, Rachel mendadak terpeleset. Sebuah akar menariknya ke jurang. Rachel berusaha memegang apapun di depannya.
"Frans, tolong!!!" teriaknya.
Frans yang berjalan di belakangnya berlari mengejar Rachel. Akar itu menyeretnya begitu cepat, hingga Rachel berada di bibir jurang. Rachel nyaris terjatuh
Di bibir jurang, dia berpegangan pada batu dan akar pohon yang menjulur keluar.
Dengan sigap, Frans memegang tangan Rachel. "Rachel, aku akan menarikmu. Jangan lepaskan tanganku!" kata Frans.
Dengan sekuat tenaga, Frans menarik Rachel. Dengan kedua tangannya, Frans berusaha menarik Rachel ke atas.
"Ughh… ahh… bertahanlah, Rachel…. Hiaaah!" Frans mengerahkan seluruh tenaganya.
Namun, tarikan akar itu sangat kuat. Frans mulai kelelahan. Dengan berlinang air mata, Rachel berkata,"Frans, larilah. Tinggalkan aku. Please...Aku mencintaimu, Frans."
Rachel berusaha melepas cengkraman Frans. "Rache, bertahanlah!! Jangan kau lepaskan tanganku," kata Frans dengan nda khawatir.
Dengan sekuat tenaga, Frans memperkuat cengkramannya. Namun, Rachel yang menyerah melepas satu tangannya. Rachel berusaha tersenyum. "Frans, hiduplah demi aku, please… ,"
Rachel melepas paksa gemggaman Frans dengan tangan satunya. Rachel mencakar tangan Frans, dan akhirnya Rachel jatuh ke dalam jurang. "Racheeeel!!" teriak Frans yang melihat Rachel jatuh ke jurang.
Frans tak kuasa menahan tangisnya. Dia terduduk lemas di tepi jurang, menatap tubuh Rachel yang termpas di dalam jurang. "Rachel, mengapa kau lepaskan penganganku?" teriak Frans di tengah tangisnya.
Ketika itulah, Andre yang kembali ke hutan bersama Dewi mendengar teriakan Frans. Mereka segera mendatanginya.
"Frans?" sapa Andre.
Frans menoleh. "Andre… " kata Frans sambil terdengar isak tangisnya.
Frans memeluk erat Andre. "Ndre, Rachel terjatuh. Rachel meninggal," kata Frans sambil menangis di pelukan Andre.
"Apa?! Rachel meninggal?" Andre terkejut.
"Iya, dia terjatuh di jurang," kata Frans.
Andre sedih. "Ini semua gara-gara surat brengsek itu!"
Dewi berusaha menenangkan Andre.
"Sudah, ayo kita segera keluar dari sini. Di sini terlalu berbahaya," ajak Dewi.
Mereka bertiga segera keluar dari hutan itu. Dengan bantuan Dewi, akhirnya mereka berhasil keluar dari hutan, dan sampai di villa dengan selamat. Namun, Frans tak dapat menahan kesedihannya. Dia hanya diam. Andre berkata pada Ersa.
"Ersa, Rachel meninggal. Dia terjatuh di jurang," kata Andre.
"Apa?? Rachel sudah …," kata Ersa seolah tak percaya.
Frans hanya diam. Dia memandangi gelang Rachel yang tertinggal di tangannya. Air matanya kembali menetes. Ersa mencoba menenangkannya. "Frans, aku turut berduka dengan apa yang menimpa Rachel," kata Ersa memegangi pundak Frans.
Frans terdiam. Dia menghela nafasnya. "Terima kasih, Ersa. Tapi, ada satu permasalahan yang lebih parah. Vero. Vero tengah di bawa oleh penghuni Villa ini. Vero di tawan, dan Rachel tak berhasil menyelamatkannya," kata Frans di sela isak tangisnya.
Frans akhirnya menceritakan kejadian ketika dia bertemu dengan Rachel.
Dia menceritakan sebuah bangunan megah yang berubah menjadi sangat mengerikan, hingga kejadian di hutan yang merenggut nyawa Rachel.
Andre dan Mori mendengarkan dengan seksama. Mori sejenak memejamkan matanya.
Dia tahu keberadaan Vero.
"Ndre, aku tahu di mana Vero," kata Mori.
Mori menceritakan sebuah tempat di mana Vero berada. Semuanya mendengarkan perkataan Mori.
"Tempat itu adalah tempat di mana biasa di sebut dengan beranda neraka. Di sana, para arwah penasaran terbelenggu di dunia ini, karena berbagai hal. Vero, berada di tempat korban perang tentara Nippon. Dia terbelenggu di sana," kata Mori.
Dia memandang pada Dewi. "Kamu ingin tenang di alam mu?" tanya Mori.
"Iya, aku tak ingin terjebak di dunia ini," kata Dewi.
"Baiklah, bantu Andre menyelamatkan Vero. Jika kamu berhasil, ikutilah lorong bercahaya putih, dan masuklah ke sana," balas Mori.
Dewi mengangguk. Mori berkata pada Andre. "Baiklah. Sekarang kalian berdua ikut aku," ajak Mori.
Mereka berjalan ke belakang Villa. Di situ, ada sebuah gudang tua. Mori membaca sebuah mantra, dan membuka pintu itu.
"Nanti setelah di buka, kalian jangan pernah memandang ke belakang. Aku akan membimbing kalian dari dalam, dan ikuti cahaya putih. Ingat, jangan menoleh, dan jangan berhenti. Kalian harus fokus selamatkan Vero," kata Mori.
"Baiklah, aku mengerti," kata Andre.
Mori membuka pintu, dan tampaklah cahaya kemerahan memancar dari dalam gudang itu. Andre dan Dewi segera masuk, dan Mori kembali menutup pintu itu. Dia mengikatkan pita merah di gagang pintu itu.