01.01
Seorang pria berlari tunggang-langgang di jalanan sepi Kota Denia. Tubuhnya penuh dengan luka. Bahkan tangan kirinya sudah tidak berada di tempat semula.
Suasana meriah festival harus ditangguhkan karena perintah mendadak Wali Kota sehingga kebanyakan warga harus tidur lebih awal. Mulai Dari jalan utama hingga gang belakang dipenuhi oleh personil militer. Sebuah keajaiban pria ini masih belum bertemu satu pun dari mereka.
"Sial!" umpatnya terus menerus.
"Harusnya ku coba bom tempat lain dulu. Pak tua itu ... Sial semua."
Identitas orang ini tidak lain dan tidak bukan adalah penjahat bintang lima, Pembom Gila, Kila King.
Seperti kata pepatah, "Seni adalah ledakan."
Hidup dengan ledakan, mati dengan ledakan.
Sepanjang hidupnya bisa diringkas dengan kalimat, bom ini, bom itu, ledakan tempat ini, ledakan benda itu.
Sejak kecil ia sudah digunakan oleh masyarakat dunia bawah karena kemampuan uniknya ini. Ketika berusia sepuluh tahun jumlah orang yang menjadi korbannya sudah mencapai tiga digit angka.
Bahkan setelah meledakan orang-orang yang mengeksploitasinya itu, ia tidak berhenti dari kegiatannya ini, malahan dirinya semakin menjadi-jadi.
Kali ini dia membuat kesepakatan dengan pak tua yang menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Tujuannya sederhana, yaitu untuk menjadi orang pertama yang berhasil menggetarkan pondasi umat manusia, Kota Pahlawan Denia. Tak tanggung-tanggung ia melangkah lebih jauh untuk membom markas besar Aliansi Petualang.
Dia sudah menyusun rencana secara matang. beberapa hari sebelumnya ia menanam banyak bom di dalam gedung Aliansi. Bahkan dia sampai membawa 100 boneka peledak untuk menyerang markas Aliansi.
Dan beginilah hasilnya. Lari kocar-kacir demi keberlangsungan hidup. Sepanjang hidupnya hal seperti ini baru pertama kali terjadi.
Ledakan yang seharusnya bisa menghancurkan gedung sepuluh lantai sama sekali tidak bisa menggores ubin markas Aliansi. Dia sangat tercengang, sekiranya bahan apa yang digunakan untuk membuat tempat ini. Ketahanannya sungguh gila.
Pertempuran selanjutnya dengan para petualang menjadi pembantaian satu sisi. Para petualang ternyata sedikit lebih kuat dari dugaannya. Itu sendiri tidak terlalu masalah. Masalahnya adalah keberadaan seorang wanita yang dia temui beberapa kali sebelumnya saat berkunjung ke markas Aliansi.
"Ja@@ng itu. Bukankah dia seorang resepsionis? Tidak kusangka ada orang segila itu menjaga markas Aliansi."
Biasanya wanita itu selalu memiliki senyum anggun dan menawan, membuat siapapun terpana melihatnya. Namun kali ini senyum yang sama itu merangsang bulu kuduknya berdiri. Instingnya yang sudah sangat terasah menjerit memperingatkan tanda bahaya.
Untungnya wanita itu tidak bertarung secara langsung. Meski demikian, kemampuan penyembuhannya terlalu kuat. Petualang yang sekarat sedetik lalu bisa langsung sembuh total detik berikutnya.
"Sial. Sial."
Dia bisa merasakan keberadaan beberapa orang sedang membuntutinya.
Dengan kondisinya saat ini tidak mungkin baginya untuk bertarung.
"Sial. Kenapa sangat sepi di sini."
Dia butuh orang lain untuk dijadikan amunisi. Tapi sayangnya jalanan sangat sepi. Terlalu sepi hingga terasa sangat aneh.
Dia berjalan dan terus berjalan. Kondisinya semakin memburuk. Petualang-petualang sialan itu masih dengan sabar membuntutinya.
"Kalau mau membunuhku maka cepat lakukan!" pekiknya dalam hati.
Bukannya dia tidak mengetahui niat mereka. Kemungkinan besar mereka berharap untuk menemukan penjahat lain yang bekerja sama dengannya.
Sayangnya bagi mereka, penjahat tidak mempercayai siapapun terutama penjahat lain. Walau di sebut kerja sama tapi masing-masing dari mereka bertindak sesuai penilaian sendiri.
Apapun itu situasinya masih berbahaya. Bahkan jika petualang memilih untuk tetap diam dan mengamati, ada kemungkinan besar ia akan mati lebih dahulu akibat luka di tubuhnya.
Untungnya Tuhan masih menyayanginya. Itupun kalau Tuhan benar-benar ada.
Tidak jauh dari sini ia merasakan adanya kerumunan orang di sebuah pub. Tanpa ragu tubuh aslinya berlari menuju tempat itu.
Itu benar, selama ini yang sedang diamati para petualang hanyalah boneka pengganti. Sedangkan tubuh aslinya bersembunyi di dekatnya. Sekali lagi ia merasa beruntung mengetahui sikap tunggu dan lihat petualang.
Dia dengan kasar membuka pintu Pub. Pelanggan di dalam kebanyakan adalah pedagang.
Jujur saja mereka bukanlah jenis favoritnya. Untuk dapat berkeliaran di dunia yang berbahaya ini diperlukan tingkat keamanan tertentu. Hal ini membuat Kebanyakan pedagang agak kuat, khususnya mereka yang menjajakan di wilayah utara.
Jika memungkinkan dia lebih suka penduduk biasa untuk dijadikan amunisi.
Tapi biarlah. Pengemis tidak diizinkan untuk pilih-pilih.
"Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian!"
Seluruh perhatian segera berbalik ke arahnya.
"Tolong. Matilah."
02:18
Malam itu Clara bermimpi.
Di padang bunga warna-warni, dia berlarian ke sana kemari. Sangat ringan dan tanpa beban. Seolah ada sepasang sayap yang tumbuh di punggungnya.
Lalu suatu ketika Clara melihat punggung seorang wanita berjalan membelakanginya. Tanpa sadar matanya mulai basah, tapi dia berusaha untuk menahannya. Dia mulai berlari menghampiri wanita itu. Namun, tidak peduli seberapa keras Clara berusaha, punggung itu terasa semakin menjauh dan menjauh hingga akhirnya tidak lagi terlihat.
Akhirnya bendungan air matanya hancur. Dalam kekesalannya dia meneriakkan sesuatu, sebuah nama, atau mungkin panggilan, mungkin? Memintanya untuk tidak pergi.
Namun orang yang dipanggilnya sama sekali tidak mendengarkan.
Clara menangis sangat kencang. Sekencang-kencangnya.
Pada saat hatinya sedang hancur itu, Clara merasakan seseorang memeluknya dengan erat. Seolah tidak ingin membiarkannya pergi. Orang itu terus menerus menghibur Clara dengan berkata,
"Jangan menangis."
"Aku akan selalu di sisimu. Aku janji."
"Tersenyum, tertawa, hiduplah dengan bahagia."
Tangisan Clara berubah menjadi isakan, perlahan mulai berhenti.
Suara dan kehangatan ini juga sesuatu yang sangat ia rindukan. Clara bukanlah anak cengeng, tapi entah mengapa dalam mimpi ini dia selalu ingin menangis. Dengan wajahnya yang berlumuran ingus Clara berbalik menghadap pria itu.
"Aya ... AAAAAHHHH!"
"Ba~."
Sesuatu yang seharusnya adalah ayahnya telah berubah menjadi makhluk aneh mirip kelinci tapi bukan kelinci. Dia tidak memiliki mata ataupun mulut dan sebagai gantinya memiliki coretan seperti gambar anak-anak sebagai fitur wajahnya. Ia adalah makhluk yang nyata namun juga tidak nyata. Seperti objek tiga dimensi di dalam dunia dua dimensi.
Clara segera menyadari identitas makhluk ini. Dengan segenap jiwa dan raganya Clara menghajar makhluk itu.
"Raph bodooh!"
Dan dengan itu mimpi Clara malam ini berakhir.
Ketika dia membuka mata, hal pertama yang masuk dalam pandangan Clara adalah langit berbintang dengan bulan purnama sebagai pusatnya.
"Cantiknya."
Tapi hal ini tidak berlangsung lama. Karena Clara tahu, ini akan menyakitkan kalau dibiarkan lebih lanjut apa adanya. Jadi dengan teknik akrobatik yang indah gadis itu menyesuaikan posisinya di udara, menyiapkan titik pendaratan, dan akhirnya berhasil menginjak tanah dengan selamat.
Penonton yang menyaksikannya memberi tepuk tangan.
Clara mulai menilai situasi. Posisinya saat ini tidak diketahui. Lebih lagi kenapa dia bisa ada di sini masih menjadi misteri.
Di dekatnya juga ada sekelompok orang asing dengan perlengkapan siap tempur, sepertinya petualang. Tatapan Clara berhenti pada seorang pria tertentu dalam barisan petualang. Orang itu adalah pria yang baru ditemuinya belum lama ini.
Dengan perlengkapan seorang pemburu. Memiliki mata setajam elang serta kumis dan janggut yang tertata rapi. Siapa lagi kalau bukan Pedro.
Clara mencoba mengingat kejadian baru-baru ini tapi tidak berhasil. Hal terakhir yang dia ingat adalah dia sedang berduet dengan paman beruang. Clara sekarang mengerti arti dari perkataan alkohol menghancurkan hidupmu.
"Waa! Clara! Betapa bodohnya dirimu," batin Clara.
Awalnya dia hanya ingin mencoba sedikit karena penasaran. Tapi siapa sangka berubah menjadi seperti itu. Tindakannya sangat ceroboh. Sebagai gadis kecil yang imut, lucu, dan tak berdaya, sungguh suatu keberuntungan dia bisa mencapai titik ini dengan sehat walafiat.
Kepalanya saat ini penuh dengan pertanyaan. Tapi dia segera mengesampingkannya untuk saat ini. Semua akan terjawab pada waktunya.
Mungkin?
"Yah, terserahlah," pikir Clara.
Clara memutuskan untuk menghampiri grup petualang dahulu.
Ia mencoba berjalan tapi mungkin karena efek alkohol belum sepenuhnya hilang, ia oleng dan akhirnya jatuh tersungkur. Rasanya sakit, tentu saja. Tapi perasaan malunya lebih tak tertahankan.